Kesepakatan
Nuklir Iran di Ujung Tanduk
Tri Aryadi ; Kepala Subbidang Isu-Isu Kemanusiaan Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri RI
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Maret 2017
KESEPAKATAN Joint
Comprehensive Plan of Action (JCPOA) adalah salah satu peninggalan
terbaik Obama dalam upaya mencegah perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah.
Kesepakatan Nuklir Iran tersebut tercapai pada Juli 2015 antara Iran, Amerika
Serikat (AS), Rusia, Tiongkok, Inggris, Prancis, Jerman, dan Uni Eropa
bertujuan menghentikan pembuatan senjata nuklir oleh Iran dengan imbalan
pencabutan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Iran sejak 2002.
Obama paham betul bahwa jika Iran dibiarkan memiliki
persenjataan nuklir, perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah tidak akan
bisa dihindari. Alih-alih mengambil kebijakan intervensi militer untuk
menghancurkan instalasi nuklir Iran, Obama memandang opsi diplomasi jauh
lebih baik mengingat peluang Iran untuk bekerja sama lebih besar jika dibandingkan
dengan penaklukan militer yang akan memakan banyak jiwa dan biaya. Di samping
itu, ekonomi AS yang morat-marit membuat Obama berpikir ulang untuk menempuh
jalan konfrontasi. Penilaian Obama hingga hari ini terbukti benar. Laporan
Badan Energi Atom Internasional IAEA terakhir membuktikan bahwa setelah
hampir 2 tahun semenjak penandatanganan JCPOA, Iran selalu mematuhi aturan
dalam kesepakatan tersebut.
Sikap kooperatif yang ditujukan Iran tersebut telah
membuat JCPOA pantas menjadi salah satu pilar pembentukan Timur Tengah yang
stabil dan bebas dari senjata pemusnah massal. Namun, menjaga kekukuhan pilar
tersebut ke depannya tidaklah mudah. Terdapat beberapa faktor yang berpotensi
memperlemah kekuatan pilar tersebut, di antaranya pertama, terpilihnya Donald
Trump menggantikan Barack Obama sebagai Presiden AS. Dalam berbagai
kesempatan, Trump selalu menyatakan bahwa JCPOA ialah sebuah kesepakatan yang
buruk. Trump bahkan berniat membawa AS mundur dari kesepakatan tersebut.
Namun, ironisnya Trump tidak juga menawarkan solusi pengganti untuk
menghentikan program pengembangan senjata nuklir Iran itu.
Kedua, sikap paranoia Israel yang akan memberikan ancaman
kepada keberlangsungan JCPOA. Menurut Arms Control Association, Israel saat
ini memiliki 80 hulu ledak nuklir aktif dan menjadikan satu-satunya negara di
Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir aktif. Sejarah pendirian negara
Israel yang penuh dengan warna kekerasan membuat para politikus Israel selalu
diliputi paranoia terhadap negara-negara tetangganya. Israel tidak pernah
percaya bahwa kesepakatan dalam bentuk apa pun akan dapat menghentikan Iran
memperoleh senjata nuklir. Dalam konferensi pers bersama Trump, Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan dengan lantang menegaskan adanya
rencana Iran menghancurkan Israel dengan peluru kendali. Bahkan, JCPOA pernah
membuat aliansi kuat AS–Israel berada pada titik rendah.
Ketiga, kompleksitas hubungan Iran dengan negara-negara
Arab yang kental diwarnai permusuhan sektarian Syiah-Sunni yang sudah berumur
ribuan tahun. Negara-negara Arab Sunni yang dimotori Arab Saudi melihat Iran
tidak hanya mengancam dengan senjata nuklirnya, tapi juga mengancam dominasi
Sunni sebagai rezim penguasa di negara-negara Teluk. Kompleksitas itu
mengakibatkan intensitas hubungan mereka sering diwarnai pendekatan zero sum
game. Melalui kacamata tersebut, JCPOA akan terus dilihat sebagai kesepakatan
yang hanya menguntungkan Iran sehingga memberikan justifikasi kepada
negara-negara Arab agar terus memperkuat diri secara militer dalam
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan masa depan.
Ketiga faktor tersebut bisa membuat JCPOA berada di ujung
tanduk. Padahal, JCPOA merupakan alternatif solusi di tengah melemahnya rezim
internasional pelarangan senjata nuklir seperti kesepakatan internasional
antipenyebaran senjata nuklir Non-Proliferation Treaty (NPT) yang gagal
menghasilkan dokumen pada Konferensi Review terakhir pada 2015 serta
kesepakatan internasional pelarangan uji coba senjata nuklir Comprehensive
Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) yang tidak juga berlaku walau sudah diadopsi
sejak 1996. Selain itu, kesuksesan JCPOA bisa menjadi pendorong kuat bagi
pembentukan kesepakatan global pemusnahan senjata nuklir yang saat ini sedang
gencar diwacanakan di forum PBB.
Apabila JCPOA kemudian gagal, secara otomatis Iran akan
kembali mengaktifkan program senjata nuklirnya. Hal ini tidak pelak akan
memantik perlombaan senjata nuklir yang kemudian bisa berujung kepada
instabilitas Timur Tengah. Oleh karena itu, Indonesia wajib menjaga agar JCPOA
ini tetap hidup mengingat Indonesia ialah salah satu negara pendukung
penghapusan senjata nuklir secara global. Hal ini sesuai dengan amanat
konstitusi yang mewajibkan Indonesia turut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Terlebih
Indonesia memiliki kaitan historis, sosial budaya, serta ekonomi yang kuat
dengan Timur Tengah yang menjadikan Indonesia memiliki kepentingan agar Timur
Tengah bisa menjadi kawasan yang stabil dan damai.
Langkah nyata yang bisa dilakukan Indonesia saat ini ialah
terus memperkuat upaya menjadi penengah antara Saudi dan Iran. Hal ini
disebabkan perseteruan kedua negara ini bisa menjadi sangat tajam dan
berbahaya apabila JCPOA pada akhirnya benar-benar kandas di tengah jalan.
Kedua negara tersebut membutuhkan pihak ketiga yang bisa dipercaya dan mampu
menjembatani keinginan keduanya. Dengan politik luar negeri bebas aktif,
Indonesia selalu menjaga hubungan baik dengan Saudi maupun Iran.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia,
Indonesia merupakan magnet bagi kedua negara tersebut. Selain itu, Indonesia
juga memiliki pengalaman membentuk kawasan bebas senjata nuklir di Asia
Tenggara. Dengan modal itulah Indonesia bisa memiliki peran aktif sebagai the
honest broker dalam perseteruan Saudi dan Iran. Perdamaian Saudi dan Iran
akan menjadi pilar yang kuat dalam menjaga keberlangsungan JCPOA serta bisa
mencegah kemungkinan-kemungkinan terburuk apabila JCPOA memang ditakdirkan
sebagai percobaan yang gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar