Realokasi
Kursi DPR
Sidik Pramono ; Pengajar
di FISIP Universitas Budi Luhur
|
KOMPAS, 17 Desember
2016
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia
diakui sebagai salah satu yang paling kompleks di dunia. Perekayasaan sistem
pemilu (election system engineering)
lewat beragam varian perangkat teknis pemilu, seperti besaran daerah
pemilihan (district magnitude),
ambang batas (threshold), daftar
calon, dan cara konversi suara menjadi kursi, telah secara signifikan
dicobakan setidaknya sejak Pemilu 1999.
Namun, impian untuk mendapatkan sistem
pemerintahan presidensial yang kuat ataupun sistem multipartai yang terbatas
belum sepenuhnya terwujud.
Parameter indeks sistem kepartaian
(effective number of parliamentary parties) yang meningkat dari 4,72 pada
Pemilu 1999, menjadi 7,07 pada Pemilu 2004, dan 8,16 pada Pemilu 2014
memperlihatkan bahwa penciutan daerah pemilihan dan peningkatan ambang batas
terbukti tidak mampu menghasilkan konsentrasi partai politik yang efektif.
Kompleksitas sistem terbukti telah
menyulitkan peramalan dan/atau pengukuran efek dari perangkat teknis pemilu
yang diterapkan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa,
terutama di negara demokratis yang belum mapan, sebuah sistem pemilu
merupakan akumulasi kompromi dari beragam kelompok-kepentingan.
Perulangan
persoalan
Salah satu faktor yang harus diperhitungkan
terkait dengan tidak efektifnya perekayasaan perangkat teknis tersebut adalah
alokasi kursi DPR yang tidak sepenuhnya taat pada prinsip utama proporsionalitas,
kesetaraan, dan derajat keterwakilan yang tinggi.
Prinsip one
person one vote one value (OPOVOV) dengan keharusan memperhitungkan
perolehan kursi yang seimbang dengan jumlah penduduk tidak sepenuhnya
diterapkan sejak Pemilu 2004 dan terus terbawa sampai Pemilu 2014.
”Malapraktik” dalam alokasi kursi (malapportionment) DPR menjadikan
adanya provinsi yang tidak memperoleh kursi perwakilan semestinya (underrepresented) ataupun sebaliknya,
ada provinsi yang alokasi kursi DPR-nya berlebih (overrepresented).
Pada Pemilu 2004, persoalan muncul akibat
inkonsistensi penerapan aturan terkait alokasi kursi DPR untuk Provinsi
Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan juga Aceh. Saat itu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditugaskan untuk menetapkan alokasi kursi DPR.
Pada Pemilu 2009, ketika ketentuan alokasi
kursi DPR menjadi bagian lampiran dari Undang-Undang Pemilu, salah satu
persoalan yang mengemuka adalah alokasi kursi DPR untuk Provinsi Sulawesi
Selatan yang tidak diakumulasikan dengan Provinsi Sulawesi Barat sebagai
provinsi hasil pemekaran. Akibatnya, dengan 24 kursi DPR yang dimilikinya,
Sulawesi Selatan masuk kategori wilayah dengan kuota kursi yang ”murah”.
Pada Pemilu 2014, alokasi kursi DPR pun
tidak diperhatikan serius. Kealpaan memperhitungkan pertumbuhan jumlah
penduduk semakin tegas terlihat pada alokasi kursi DPR untuk Provinsi
Kepulauan Riau dan Riau. Alhasil, kuota kursi DPR dari Kepulauan Riau menjadi
yang termahal, yaitu sekira 631.000 penduduk untuk setiap kursi atau 140
persen dari rerata kuota kursi DPR secara nasional.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, naskah
Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu kembali tidak memuat perubahan
berarti mengenai alokasi kursi DPR jika dibandingkan dengan ketentuan pada
Pemilu 2014.
Praktis perubahan hanya terjadi pada
alokasi kursi DPR untuk Provinsi Kalimantan Timur yang berkurang menjadi 5
kursi, dengan 3 kursi DPR dialokasikan untuk Provinsi Kalimantan Utara
sebagai daerah baru hasil pemekaran. Kondisi tersebut jelas akan mengulang
kembali persoalan lama soal representasi dan proporsionalitas.
Teknis
ke politis
Lantas, bagaimana mengoreksi kesalahan pada
masa lalu itu? Jawaban pertanyaan itu dimulai dengan jumlah kursi DPR yang
bakal diperebutkan (assembly size).
Secara teoretis, besar-kecilnya ukuran
parlemen harus merujuk pada fungsi perwakilan yang mengharuskan setiap
anggota parlemen berkomunikasi intensif dengan konstituen di daerah
pemilihannya dan juga fungsinya di parlemen untuk berinteraksi dengan anggota
parlemen yang lain.
Parlemen yang terlalu ramping menjadi
relatif kurang representatif, terutama untuk mengakomodasi persoalan
menyangkut minoritas, keterwakilan perempuan, dan juga masalah perbedaan
generasi, terutama pada kondisi Indonesia dengan kompleksitas demografis dan
geografis.
Mengutip Rein Taagepera (2002), jumlah
anggota parlemen biasa merujuk pada dalil matematika (cube law), di mana
besaran parlemen di negara yang sudah mapan dan juga negara industri maju
adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk.
Sebagian ahli pemilu lain memperhitungkan
jumlah penduduk ”aktif”, yakni penduduk yang masuk usia kerja dan yang melek
huruf. Rumusan itu secara empiris terbukti, nyaris tidak ada negara yang
besaran parlemennya dua kali lipat ketimbang prediksi.
Dalam konteks Indonesia, sejak tahun 1955,
jumlah anggota DPR cenderung terus bertambah. Jika merujuk pada rumusan
Taagepera di atas, dengan jumlah penduduk Indonesia, jumlah kursi parlemen
Indonesia masih mungkin ditambah menjadi 605 kursi.
Jika kursi DPR bertambah, dengan sendirinya
koreksi alokasi kursi DPR bisa dilakukan lebih leluasa. Daerah-daerah yang
underrepresented bisa mendapatkan tambahan kursi tanpa harus menggeser kursi
DPR dari daerah lain.
Namun, harus diakui bahwa faktor politis
kerap menjadi lebih dominan dalam penentuan jumlah kursi parlemen. Akan
selalu muncul dilema dalam menentukan besar-kecilnya lembaga perwakilan. Jika
kursi parlemen ditambah, pandangan miring soal pemborosan dan inefisiensi
pasti akan mencuat. Penilaian minor atas kinerja DPR selama ini berpotensi
dijadikan alasan untuk menolak usul penambahan itu.
Sebaliknya, jika kursi DPR tetap
dipertahankan 560 kursi, konsekuensi dari koreksi alokasi kursi DPR itu
adalah akan ada provinsi yang alokasi kursi DPR- nya terpaksa dikurangi.
Tentu hal ini bukan pekerjaan yang mudah secara sosial-politik. Namun,
konsekuensi keputusan itu adalah para elite partai politik harus bersama-sama
menjelaskan dan memberi pengertian kepada konstituennya. Prinsip untung-rugi
dalam kerangka jangka pendek sudah semestinya dikesampingkan.
DPR dan pemerintah bakal berkejaran dengan
waktu untuk memastikan UU Penyelenggaraan Pemilu bisa selesai sesuai target
pada April 2017.
Apa pun keputusan yang diambil terkait
alokasi DPR, antara menambah ataupun mempertahankan jumlah 560 kursi seperti
saat ini, semua pihak tentu berharap DPR bersama pemerintah terlebih dulu
sependapat bahwa prinsip alokasi kursi DPR yang proporsional harus ditegakkan
dalam UU Penyelenggaraan Pemilu nanti.
Kesalahan masa lalu harus dikoreksi demi
menghindarkan perulangan perdebatan yang tidak perlu. Bukan pekerjaan yang
mudah, melainkan juga tidak mustahil untuk dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar