Menyelisik
Kesahihan
Iwan Pranoto ; Guru
Besar ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS, 06 Desember
2016
Dengan semakin banyak tabir kehidupan dan rahasia semesta
disingkap, institusi pendidikan jadi merasa perlu berlomba memperbanyak
pengetahuan yang harus "disiramkan" ke benak pelajar.
Akibatnya, pada satu sisi, institusi pendidikan hari ini jadi
sangat fokus membuat pelajar menyerap banyak pengetahuan. Namun, di sisi
lain, kegiatan menyelisik kesahihan argumen yang merupakan fondasi
pengetahuan tadi justru dikorbankan karena dianggap tak penting.
Alhasil, pengetahuan ilmiah hari ini diajarkan sebagai kumpulan
fakta yang cukup diserap pasif dan diyakini teguh pelajar sebagai kebenaran
mutlak, layaknya mantra sakral. Menghafal dalil Pitagoras menjadi lebih
diutamakan-karena akan ditanyakan di ujian-ketimbang menyelisik kesahihan
rangkaian argumen yang menurunkan dalil itu.
Menghadapi keadaan seperti di atas, porsi kegiatan menyelisik
kesahihan perlu dikembalikan ke dalam ruang kelas. Dengan pendekatan ini,
pelajar bukan saja dapat mengembangkan kebiasaan berakalnya, melainkan juga
mengembangkan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesahihan
Kesahihan tak sama dengan kebenaran. Kesahihan merupakan nilai
pada struktur pernyataan. Fokusnya pada kepaduan rangkaian argumen dalam
menurunkan simpulan akhir. Secara ketat, suatu pernyataan dikatakan sahih
jika dan hanya jika setiap inferensi atau penurunan satu argumen dari argumen
sebelumnya selalu mengikuti penalaran deduktif.
Adapun kebenaran merupakan nilai pada suatu pernyataan yang
memerlukan rujukan kenyataan. Secara ringkas, suatu pernyataan dinilai benar
jika pernyataan tersebut berkorespondensi atau bersesuaian dengan kenyataan
(Popper, 2009).
Akibatnya, membuktikan atau menyangkal kebenaran suatu
pernyataan membutuhkan waktu dan percobaan. Bagaimana membuktikan pernyataan
"esok Matahari terbit dari utara" itu? Namun tidak demikian dengan
menilai kesahihan suatu pernyataan, yang tak memerlukan dan tak mungkin
dilakukan melalui percobaan. Misalnya, mustahil ada hasil percobaan
laboratorium seakurat apa pun yang dapat membuktikan atau menyangkal dalil
Pitagoras.
Khususnya karena matematika sebuah seni bernalar deduktif, maka
kesahihan suatu pernyataan lebih berharga ketimbang kebenarannya sendiri.
Sebagai ilustrasi, untuk membuktikan kebenaran keberadaan medan (partikel)
Higgs tentunya melalui pemadanan teori dengan kenyataan yang membutuhkan
laboratorium dengan perangkat canggih yang baru tersedia sekarang. Padahal
kesahihan teorinya sendiri yang memperkirakan keujudan medan tersebut sudah
diterima sejak 1960-an. Demikian pula nilai kebenaran setiap pernyataan
matematika sesungguhnya tidak begitu penting, tetapi kesahihannya justru yang
dijunjung.
Selanjutnya akan dibahas jika hakikat bermatematika yang
mengutamakan menyelisik kesahihan itu diwujudkan dalam pengajaran.
Konsekuensi
Pergeseran fokus dari kebenaran ke kesahihan dalam pendidikan
ini tidak sekadar tentang perubahan konsep, tetapi pergeseran ini akan
membuahkan konsekuensi perubahan pendekatan guru saat berinteraksi dengan
pemikiran muridnya.
Khususnya, bagaimana pendekatan guru memeriksa dan meralat tugas
murid akan berubah. Guru menjadi perlu menelusuri rangkaian argumen murid dengan
teliti sampai tahap penyimpulan akhir.
Pergeseran ini akan membuat guru lebih hati-hati dalam
"menyalahkan" pekerjaan murid. Guru tak cukup menetapkan suatu
jawaban murid salah, hanya karena jawabnya tak sama dengan harapannya, atau
bahkan karena beda dengan kunci jawaban di buku ajar.
Fokusnya bukan lagi pada mencocokkan jawaban akhir, melainkan
menyelisik rangkaian satu argumen ke argumen lainnya sampai mencapai jawaban
akhir tersebut. Guru wajib menelusuri aliran dari satu argumen ke argumen
lainnya dan mengenali yang mungkin melanggar kaidah penalaran deduktif. Ini
sesungguhnya peluang guru untuk memahami cara berpikir muridnya. Hanya dengan
memahami cara berpikir murid, guru baru dapat membantu murid membangun
kecakapan berpikirnya.
Sebagai ilustrasi sederhana, jika ada murid SD kelas I menjawab
27 + 38 = 515, guru atau orangtua jangan terburu-buru menyalahkan, tetapi
harus menyelidiki. Mungkin murid sebenarnya sudah terampil menjumlahkan
angka, hanya tak paham nilai tempat tiap angka. Dari situ, murid dapat
membangun sekaligus kecakapan berpikir dan rasa percaya diri.
Kemudian, melalui kegiatan menyelisik kesahihan ini, guru tidak
lagi berperan sebagai penentu kebenaran atau kesalahan suatu pernyataan. Guru
jadi pendamping murid dalam berlatih menyusun argumen yang sahih.
Secara tak langsung, setiap murid akan percaya bahwa pendapatnya
seberharga pendapat guru. Pada saat yang sama, murid juga sadar perlunya
menyimak dan memahami pendapat murid lain. Secara sistematis, kelas
mengenalkan keberagaman pemikiran.
Dengan atmosfer ini, guru juga secara lambat laun akan
mengurangi kebiasaan memaksakan kebenaran versinya. Guru dan murid perlu
sama-sama menyadarkan diri bahwa suatu pendapat berharga atau tidak bukan
karena siapa yang menyampaikan, melainkan terletak pada kesahihan argumen
yang menyokongnya.
Kecakapan
berpikir
Berbeda dengan pengajaran yang mengutamakan kebenaran yang
membiakkan sikap dogmatis, kegiatan menyelisik kesahihan akan memijahkan
keterbukaan akal. Pendekatan ini akan membelajarkan sikap hati-hati dalam
bereaksi saat menanggapi suatu pernyataan, tak mudah serta-merta menerimanya
sebagai suatu kebenaran ataupun menolaknya.
Kegiatan menyelisik kesahihan oleh sesama pelajar juga akan
membiasakan pelajar menemukan celah di argumennya dan lalu memperbaikinya.
Ini akan secara perlahan menyemaikan kecakapan constructive thinking atau berpikir membangun.
Dengan pendekatan pengajaran seperti ini, murid juga akan
berlatih seni berdebat, yang kita sadari sekarang begitu diperlukan tiap warga
dalam bernegara.
Menurut Curtis Schnorr (Costa and Kallick, 2009), dalam
membangun karakter tentunya perlu berlandaskan kecakapan berpikir. Agar
sederetan nilai seperti integritas, kedisiplinan, dan kerja tuntas bertumbuh,
dibutuhkan modal kecakapan berpikir. Nilai-nilai itu akan ajek bertumbuh
dalam diri anak jika anak meyakininya; dan agar meyakininya, anak perlu
memahami dengan akalnya sendiri.
Kegiatan menyelisik kesahihan seperti di atas tentunya salah
satu strategi mengembangkan kecakapan berpikir sekaligus menyemaikan secara
sistematis nilai integritas, kerja tuntas, konstruktif, dan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar