Masa
Depan Demokrasi Malaysia
Geradi Yudhistira ; Pengajar
Sejarah Politik di Asia Tenggara,
Universitas Islam Indonesia
|
KOMPAS, 03 Desember
2016
Demokrasi masih menjadi mimpi bagi sebagian rakyat Malaysia.
Mimpi tersebut terus diusahakan melalui sejumlah gelombang aksi.
Terakhir, pendemo yang tergabung dalam aksi Bersih 5.0
menyampaikan tuntutan yang jelas: Najib Razak harus mundur dan lakukan
demokratisasi. Prinsip demokrasi menjadi tuntutan tertinggi demonstran untuk
mewujudkan pemerintahan yang adil, transparan, plural, dan bersih dari
korupsi. Pertanyaannya, seberapa efektif gerakan ini?
Mimpi bangsa
Malaysia
Jika berbicara mengenai sistem politik di Malaysia, kita
berbicara mengenai sebuah keunikan, di mana Malaysia menjadi titik pertemuan
antara demokrasi dan otoritarianisme. Jiri Holik pernah menyebut, yang
dialami Malaysia merupakan rezim demokrasi campuran atau hybrid democracy
(Holik 2011). Saat syarat-syarat demokrasi prosedural telah terpenuhi, tetapi
praktik otoriter dilakukan secara dominan oleh salah satu partai politik
dalam waktu yang lama. Pada perjalanan sejarah, rezim demokrasi campuran ini
ternyata lebih sulit untuk ditumbangkan ketimbang otoriter absolut.
Peran United Malays Nation Organisation (UMNO) dalam
pemerintahan Malaysia sangat dominan sepanjang sejarah politik di negara
tersebut. UMNO tidak hanya menjadi kekuatan politik terbesar di Malaysia,
tetapi juga menguasai sejumlah sektor publik, seperti media, ekonomi,
konglomerasi, dan infrastruktur. Berbeda dengan rezim otoriter di Asia
Tenggara lainnya yang bertumpu pada satu figur, kekuatan UMNO adalah pada
mekanisme regenerasi yang sukses dalam menciptakan politisi-politisi baru
dari generasi ke generasi.
Kepemimpinan UMNO yang dominan menuai kritik besar dari rakyat
Malaysia. UMNO dinilai tak hanya terlalu dominan, tetapi juga otoriter,
korup, dan menjalankan politik sektarian bangsa Melayu yang diskriminatif.
Keadaan tersebut telah mendorong mimpi bangsa Malaysia untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih, adil, dan demokratis.
Dalam sejarah, Gerakan Bersih bukan satu-satunya aksi rakyat
Malaysia turun ke jalan untuk menuntut agar demokrasi diterapkan. Pada Mei
1969, pernah terjadi kerusuhan komunal di Kuala Lumpur, yang dinamakan
Peristiwa 13 Mei. Latar peristiwa itu, pengekangan kebebasan berekspresi
untuk merayakan keberhasilan oposisi meraih suara yang signifikan. UMNO
sebagai partai terbesar saat itu tidak mau membiarkan perayaan ini jadi
besar. Alhasil, muncul bentrokan antara massa pro UMNO yang mayoritas bangsa
Melayu dan massa pro oposisi yang banyak diikuti etnis Tionghoa-Malaysia.
Pada 1998, Malaysia ikut serta meneriakkan demokratisasi ketika
gelombang tersebut mewabah di beberapa negara di Asia Tenggara. Demonstran
turun di jalan-jalan Kuala Lumpur menuntut pembersihan korupsi di
pemerintahan melalui gerakan bertajuk ”Adil”. Namun, UMNO di bawah komando
Mahathir Mohamad memadamkan gerakan itu melalui kriminalisasi tokoh oposisi
Anwar Ibrahim dan mengonsolidasikan kekuatan penopang pemerintahan.
Beberapa peristiwa sejarah tersebut menunjukkan bahwa tuntutan
demonstrasi Malaysia selalu menemukan kegagalan dan juga berakhir dengan
kekerasan. Hal ini menegaskan bahwa kasus di Malaysia sangat berbeda dengan
Reformasi 1998 di Indonesia dan gerakan ”People Power” di Filipina. Salah
satu yang membedakan adalah keberhasilan keorganisasian UMNO dalam menurunkan
nilai-nilai politiknya ke kader-kadernya dan menciptakan mekanisme organisasi
politik yang kuat.
Beberapa
hambatan
Menuntut pemerintahan bersih di Malaysia tidak cukup hanya
dengan menuntut perdana menteri mundur. UMNO bukanlah partai milik figur
tertentu. Pengaruh UMNO sejak tahun 1950 telah menciptakan sebuah nilai
politik yang khas di Malaysia. Sejarah mencatat, beberapa kali kader
bermental pembaru di UMNO, seperti Onn Jafaar dan Anwar Ibrahim, malah
terlempar keluar dari UMNO danmendirikan partai baru.
Keberadaan mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad di antara
demonstran Bersih 5.0 menguatkan argumentasi tersebut. Mahathir kini harus
berhadapan dengan partai yang dahulu membesarkannya. Upaya ini sebagai bentuk
konflik pribadi antara Najib dan Mahathir yang meruncing beberapa tahun
belakangan. Melalui UMNO, Najib melakukan demahathirisasi dengan melarang
Mahathir tampil di media-media elektronik.
Masalah kedua, kepercayaan sebagian rakyat Malaysia yang cukup
tinggi terhadap pemerintahan UMNO. Menurut lembaga survei Merdeka Center,
pada 2015 persepsi mayoritas masyarakat usia 21 tahun ke atas justru
menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap aksi Bersih 4.0 saat itu (47 persen
berbanding 43 persen). Ketidaksetujuan mereka mayoritas justru didasarkan
pada ketakutan akan kekerasan yang bisa terjadi akibat aksi ”bersih” (52
persen) dan ketidakpercayaan terhadap efektivitas aksi ”bersih” (22 persen).
Kunci keberhasilan UMNO adalah kombinasi dari kisah kesuksesan
dan ancaman ketakutan pada hantu demokratisasi. Keberhasilan UMNO untuk
mengelola krisis ekonomi 1998 menjadi nilai tambah tersendiri, ditambah
dengan kinerja perekonomian Malaysia yang terus membaik pasca krisis. Para
pendukung UMNO yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan ditopang oleh
narasi superioritas etnis Melayu akan mempertaruhkan zona nyaman mereka
dengan demokratisasi. Ketakutan ini lagi-lagi akan bermuara pada sebuah
persimpangan: apakah demokrasi membawa kemakmuran lebih besar atau kemunduran
terhadap kesejahteraan.
Bagi bangsa Malaysia, mimpi tersebut harus tetap dimimpikan dan
disebarkan agar jadi mimpi kolektif bersama. Membuat demokrasi berjalan di Malaysia
tidak sama dengan mematikan UMNO, tetapi membuat tekanan bagi UMNO untuk
berpikir pentingnya prinsip transparansi dan kebebasan dalam pemerintahan.
Saat ini, demokrasi masih menjadi impian bagi kaum urban kota, tetapi menjadi
kata yang asing bagi masyarakat pedesaan. Jika gelombang ini bisa masif
bergerak ke seluruh negeri dan oposisi masih dibiarkan hidup, bangsa Malaysia
masih memiliki sambungan napas untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Namun,
jika tidak, hal tersebut sama saja seperti menegakkan benang basah.
Refleksi bagi
Indonesia
Harus diakui, Indonesia sudah selangkah di depan dalam penegakan
prinsip-prinsip demokrasi. Pada tingkatan ini, Indonesia sudah berada di
posisi mewujudkan substansi dari demokrasi itu sendiri dan melewati fase di
mana demokrasi hanya ada dalam tataran prosedural.
Jika hampir seluruh masyarakat di negara Asia bermimpi untuk
bisa menyamai kualitas demokrasi Indonesia, bagi elemen masyarakat Indonesia,
pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana agar demokrasi tidak lagi berjalan
mundur ke belakang dengan isu-isu komunal sektarian, komitmen penegakan hukum
dan etnisitas. Infrastruktur hukum dan demokrasi Indonesia sudah terbentuk
dengan baik meski dengan sejumlah catatan. Namun, catatan tersebut dapat
diperbaiki jika kaki demokrasi di negeri ini mampu melangkah ke arah yang
benar.
Berkaca dari Indonesia, masa depan Malaysia saat ini berada di
dalam dua genggaman bersama, yaitu rakyat Malaysia dan UMNO. Sinergi keduanya
merupakan sintesis yang dahsyat untuk masa depan Malaysia. Namun, sinergi itu
tidak akan berjalan tanpa sebuah prasyarat: demokrasi. Semoga sukses, Pakcik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar