Manusia
Pembelajar
Abdul Munir Mulkhan ; Komisioner
Komnas HAM RI 2007-2012;
Pensiunan Guru Besar UIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta
|
JAWA POS, 01 Desember
2016
KESALAHAN manusia yang sering diulang adalah anggapan bahwa
generasinya lebih baik daripada generasi-generasi sesudahnya. Sikap regresif
demikian tidak hanya membuat kehidupan menjadi stagnan, melainkan juga
mengakibatkan praktik pendidikan mengalami involusi mengulang kegagalan demi
kegagalan. Evaluasi pendidikan justru sering terjebak pada cara pandang
regresif bidang pendidikan seperti ini.
Dinamika politik nasional yang menghangat belakangan dipicu
penistaan kitab suci yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
petahana gubernur DKI Jakarta, merupakan cermin dari pendidikan regresif yang
involutif tersebut. Suatu gejala yang lebih masif berlangsung di lingkungan
pendidikan Islam yang cenderung menempatkan kreativitas sebagai semacam
”dosa” yang harus dihindari. Gejala demikian beriringan dengan kecenderungan
materialisasi positif apa yang diyakini sebagai yang suci dan mutlak benar
dan sempurna. Akibatnya, wahyu Tuhan yang mutlak benar sempurna dan tunggal
tersebut dipandang sebagai rumus baku tanpa ruang bagi perbedaan. Setiap yang
berbeda dari arus utama dengan mudah diletakkan sebagai pandangan sesat
sebagai ancaman yang harus dihancurkan.
Gengsi generasi yang bersifat struktural tersebut merupakan
faktor dominan yang mengakibatkan pendidikan cenderung terjebak sebagai
praktik indoktrinasi sehingga kehilangan nilai substantifnya, yaitu sebagai
entitas belajar itu sendiri. Akibat lebih lanjut adalah praktik pendidikan
yang hanya merupakan pengulangan pengalaman masa lalu sehingga kurang
inovatif dan gagal membangkitkan kreativitas dan etos belajar siswa. Gejala
demikian lebih mudah dikenali dalam praktik pendidikan Islam.
Praktik pendidikan yang involutif dan indoktrinatif tersebut
merupakan konsekuensi ketiadaan jangkar nilai konseptual yang menjadi pemandu
memecahkan problem pendidikan yang terus muncul sepanjang sejarah. Suatu
kerangka nilai yang menjadi jangkar setiap perubahan yang disusun dari
landasan filosofis suatu bangsa. Akibatnya, praktik pendidikan
terombang-ambing bagai layang-layang putus tali, tampak serbagagap dalam
setiap saat melihat kemajuan bangsa lain.
Meskipun negeri ini memiliki Pancasila sebagai dasar filsafat
negara dan ideologi bangsa, harus disadari bahwa negeri ini belum berhasil
menyusun filsafat pendidikan berdasar dasar filsafat negara dan ideologi
bangsa tersebut. Dari situlah seharusnya disusun jangkar nilai sebagai tempat
kembali dan rujukan setiap memecahkan problem pendidikan dan dalam merancang
peta-jalan bagi kegiatan pendidikan dalam setiap bentang sejarah. Kebijakan
presiden dan menteri harus mengacu kepada jangkar nilai tersebut. Demikian
pula halnya dengan lembaga swasta yang bergerak di bidang pendidikan.
Pendidikan selalu menghadapi problem aktual seiring perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi selain akibat perkembangan kehidupan manusia
searah pertumbuhan demografi. Akibatnya, pendidikan dikembangkan sebagai
peniruan kisah sukses bangsa-bangsa yang lebih dahulu menikmati kemajuan.
Salah satu keunggulan manusia adalah kemampuannya belajar.
Setiap detik dan desah napasnya merupakan bagian dari pembelajaran sehingga
di setiap detik itu pula peristiwa belajar sedang berlangsung. Mulai gerak
fisik, bahasa, dan cara berbicara, hingga bagaimana mengolah lingkungan bagi
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman
belajar hidup dari suatu generasi bagi generasi berikutnya. Dengan begitu,
generasi berikutnya bisa mengatasi persoalan hidup secara lebih cerdas
sehingga taraf hidupnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan generasi
sebelumnya.
Pendidikan selalu merupakan topik aktual yang menarik, bukan hanya
karena berkaitan dengan wajah kita di masa depan, melainkan juga karena
selalu berkisah tentang nasib suatu bangsa dan masyarakat di mana kita sedang
menjalani hidup ini. Ganti menteri ganti kurikulum, ganti menteri ganti
kebijakan, bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ngada. Tetapi, itu
mencerminkan urgensi pendidikan dalam dan bagi kehidupan itu sendiri.
Selama ini kita memandang pendidikan sebagai suatu entitas
terpisah dari ruang hidup kita. Apa yang kita sebut sekolah itu kita
tempatkan sebagai realitas yang serbalain daripada kehidupan empiris yang
kita jalani sehari-hari itu sendiri. Sementara itu, pendidikan seharusnya
merupakan abstraksi dari pengalaman hidup sebagai suatu kegiatan belajar yang
tidak pernah berakhir. Cara pandang demikian merupakan akar berbagai problem
pendidikan yang muncul dalam praktik pendidikan di negeri ini.
Hasil kegiatan belajar yang selama ini diukur melalui ujian
nasional atau apa pun namanya harus mengacu kepada jangkar nilai yang disusun
dari filsafat pendidikan yang lebih tepat disebut sebagai filsafat pendidikan
Pancasila. Jangkar nilai tersebut kemudian disusun dalam alokasi waktu
winduan atau dekade, perempat abad, setengah abad, hingga satu abad dalam
capaian kompetensi yang riel sebagai acuan penahapan pendidikan ke mana
evaluasi hasil belajar-mengajar diukur dan dinilai.
Dari sinilah standar nasional pendidikan disusun yang menjadi
acuan setiap daerah dalam merancang program pendidikan nasional, regional,
dan lokal. Tanpa jangkar nilai, praktik pendidikan bagai tukang sulam yang
selalu membongkar ulang hasil sulamannya sehingga tidak pernah mencapai garis
finis. Mari kita merealisasi diri sebagai manusia pembelajar yang menjadikan
hidup keseharian sebagai medan pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar