Keputusan
OPEC dan Sikap Indonesia
Dwi Soetjipto ; Direktur
Utama dan CEO PT Pertamina (Persero)
|
KOMPAS, 07 Desember
2016
Keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak untuk
menurunkan produksi minyak para anggotanya pada sidang OPEC minggu lalu, 30
November, dipercaya bisa mendongkrak harga minyak dunia pada 2017. Namun,
pada waktu yang bersamaan, Indonesia menyatakan membekukan kembali
keanggotaannya dalam OPEC karena tidak bisa mengikuti kesepakatan OPEC untuk
menurunkan produksinya.
Rumusan OPEC menyatakan bahwa Indonesia harus menurunkan
produksi minyaknya hingga 37.000 barrel per hari. Jika asumsi lifting
Indonesia tahun 2017 diproyeksikan 820.000 barrel per hari, produksi minyak
Indonesia akan diturunkan mencapai angka 783.000 barrel per hari (Kompas,
2/12).
Jadi, ada dua hal penting yang kita sorot di sini. Pertama,
kesepakatan bulat untuk menurunkan produksi minyak bisa dicapai oleh OPEC
untuk pertama kalinya sejak delapan tahun lalu. Kedua, yang menyangkut
Indonesia adalah keputusan untuk tidak mengikuti kesepakatan penurunan
produksi minyaknya dengan konsekuensi keluar dari organisasi tersebut dengan
membekukan keanggotaannya.
Beberapa hari sebelum sidang OPEC di kota Vienna tersebut, saya
termasuk yang mempertanyakan apakah bisa semua negara anggota OPEC sepakat
karena salah satu masalah yang sensitif adalah bagaimana merumuskan ”jatah”
pemotongan minyak untuk setiap anggota OPEC karena menyangkut pula faktor
apakah situasi politik dan ekonomi setiap anggota mampu menerima rumusan
tersebut. Ini persoalan klasik sejak puluhan tahun terakhir, dan tidak pernah
ditemukan jalan keluar yang memuaskan semua pihak.
Sebelumnya ada informasi bahwa Irak, Iran, dan Venezuela juga
sudah menyatakan keberatan mereka mengenai rumusan itu. Jadi, tanpa ada
persetujuan mengenai isu terpenting OPEC, yaitu mengenai jatah pengurangan,
berarti masih terbentang sebuah jalan panjang penuh kerikil ketidakpastian
dalam memprediksi harga minyak dunia.
Keberatan negara seperti Iran, Irak, dan Venezuela bisa dipahami
karena ketiga negara tersebut menghadapi persoalan yang berat di dalam negeri
mereka sendiri. Irak masih dalam suasana perang yang tentu saja memerlukan
alokasi dana yang besar untuk menghadapinya.
Venezuela sedang dalam situasi ekonomi dalam negeri yang rumit
dan belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah sekarang mampu mengatasi krisis
ekonomi dan juga politik di dalam negeri mereka. Sementara itu, Iran yang
baru terbebas dari embargo panjang AS pasti ingin mengoptimalkan produksi
mereka untuk mendapat devisa.
Baik Irak, Venezuela, maupun Iran mempunyai jumlah penduduk yang
cukup besar dan semua memerlukan dana yang besar yang antara lain bisa
didapatkan dari ekspor minyak mereka yang tinggi. Ini sedikit berbeda dengan
posisi anggota OPEC lain, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau Kuwait,
yang relatif punya jumlah penduduk kecil sehingga posisi fiskal mereka lebih
terkendali.
Sulit pulih
Negara-negara OPEC pada 2016 menghasilkan minyak sekitar 33,7
juta barrel per hari. Rumusan dari sidang tersebut adalah memotong
produksihingga 1,2 juta barrel per hari dengan formula pemotongan yang
berusaha memberi keadilan kepada semua anggota. Tentu saja negara yang
produksinya besar mengalami pemotongan yang besar pula seperti Arab Saudi
yang harus mengurangi produksi hingga 486.000 barrel per hari dan Irak sampai
210.000 barrel per hari.
Meskipun ada optimisme sebagai hasil dari pertemuan OPEC, dapat
saya katakan bahwa sulit mengharapkan harga minyak dunia pada 2017 akan
kembali ke zaman keemasannya seperti beberapa tahun lalu. Secara sederhana
bisa dikatakan bahwa naik dan turunnya tidak akan keluar dari angka 60 dollar
AS per barrel.
Masih ditambah dengan catatan bahwa anggota OPEC sendiri bisa
menjaga disiplinanggota-anggotanya untuk mematuhi keputusan mereka sendiri
karena dalam sejarah kita ketahui, biasanya negara seperti Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, dan Kuwait-lah yang disiplin untuk mematuhi jumlah produksi,
sementara sebagian besar negara lainnya justru melakukan ”gerilya” agar
produksi mereka diam-diam disesuaikan dengan kepentingan negara itu sendiri.
Dengan segala kelemahannya, OPEC paling tidak telah menunjukkan
bahwa organisasi ini masih bisa menyandang julukan sebagai salah satuprime
mover produksi minyak dunia, walaupun jumlah keluaran minyaknya hanya
sepertiga dari produksi total dunia, sementara lanskap produser minyak dunia
sudah berubah sejak adanya para pemain baru eks Uni Soviet serta ditemukannya
shale gas di AS.
Kekompakan dan disiplin menjadi kunci utamanya. Dan, diplomasi
OPEC untuk meyakinkan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk setuju mengurangi
produksi minyak mereka patut dipuji walaupun Menteri Perminyakan Arab Saudi
Khalid al-Falih sempat mempertanyakan apakah perlu dicapai kesepakatan
pengurangan produksi minyak karena ia percaya bahwa pasar minyak akan
menemukan keseimbangan sendiri tanpa harus dibatasi atau dicampuri
produksinya (The Wall Street Journal, 29/11).
Sikap
Indonesia
Sikap Indonesia untuk kembali membekukan keanggotaannya dalam
OPEC sangat tepat. Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi etika
pergaulan dunia, kita selalu berusaha mematuhi kesepakatan yang diambil dalam
OPEC. Apabila kesepakatan tersebut akan merugikan kepentingan nasional
sehingga akan menyulitkan, alternatif yang jujur adalah dengan keluar dari
kesepakatan tersebut.
Kita dahulu (sebelum tahun 2008) anggota OPEC yang cukup
disegani, tetapi kemudian keluar dari organisasi tersebut ketika Indonesia
dari negara pengekspor minyak perlahan menjadi importir neto minyak.
Kepentingankita menjadi tidak seiring kepentingan OPEC sendiri.
Sebelumnya pernah diisyaratkan bahwa Indonesia bersedia
mengurangi produksi minyaknya hingga angka 5.000 barrel per hari, sebuah
angka yang sebenarnya tidak cukup signifikan bagi pengurangan produksi OPEC tetapi
lebih menunjukkan segi etika kepatuhan dan solidaritas. Jadi rumusan
pemotongan hingga 37.000 barrel per hari jelas-jelas akan merusak asumsi APBN
kita karena menggerus pendapatan negara yang andalan utamanya masih bertumpu
pada penerimaan minyak dan pajak.
Pertanyaan seberapa lama Indonesia akan tidak mengikuti
organisasi OPEC akan muncul. Namun melihat prospektif ke depan, agaknya kita
sudah harus berani memutuskan untuk tidak masuk lagi ke dalam organisasi itu
dan bukan sekadar membekukan keanggotaan. Indonesia mungkin hanya menjadi
pengamat (observer).
Ada konsekuensi bahwa kita tidak punya peran lagi menentukan
harga dan produksi minyak OPEC, tetapi dengan berposisi bebas dan tidak
terikat pada kesepakatan OPEC lebih banyak untung dibanding kerugian yang
Indonesia peroleh nantinya. Paling tidak,kita bebas menggenjot produksi
minyak kita, bebas pula bernegosiasi dengan negara-negara lain, termasuk juga
bernegosiasi dengan produsen minyak non-OPEC seperti Rusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar