Anatomi
Amuk Massa
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 03 Desember
2016
Dua dasawarsa lalu, pendatang Inggris yang datang ke Asia
Tenggara menyaksikan fenomena yang mereka sebut dengan kata ”amock”. Menurut
mereka, ”to run amock” artinya seseorang atau sekelompok orang yang membunuh
musuh-musuhnya untuk membalas dendam, yang didahului dengan ritual meminum
candu sampai mabuk.
”Setelah mabuk kepayang mereka berhamburan dari rumah mereka
untuk membunuh. Bahkan, orang yang mencoba mencegah mereka juga ikut
dibunuh,” tulis Captain Cook. Secara perlahan kata amock berubah jadi ”amok”.
Ada yang menafsirkan amok sebagai ”bentuk ganjil dari
ketidaknalaran akal manusia”. Ada pula yang melihat amok dari sisi psikologis
sebagai ”perilaku sangat destruktif yang diikuti dengan amnesia, rasa lelah,
bahkan bunuh diri”.
Namun, dalam ranah sosial ketidaknalaran akal itu semakin
kasatmata karena para amuco juga memegang senjata dalam bentuk berbagai rupa.
Amok atau amuk dalam bahasa kita kadang masih terjadi di negara ini, mulai
dari di ajang politik sampai ajang sepak bola.
Hilangnya nalar kadang kala membuat kita, yang masih nalar, ikut
terkesima seperti orang Portugis di masa lalu. Apa salahnya fasilitas umum
sampai dirusak, apa pula salahnya mobil-mobil perpelat kota lain dipecahkan
kacanya cuma karena yang terjadi di lapangan hijau?
Agak sulit menebak mulai kapan amok menjadi bagian dari kultur
politik kita. Soalnya sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia adalah bangsa
yang ramah tamah dan suka gotong royong, sebuah antitesis dari sikap suka
mengamuk.
Ada yang yakin kultur amok pertama kali berkembang karena sikap
anti-Tionghoa pada era penjajahan Belanda. Kesalahan kompeni adalah
menempatkan para pedagang Tionghoa di kelas sosial teratas bersama para
pejabat Belanda.
Kita masih belum lepas dari penyakit amok terhadap etnis
Tionghoa yang terus terjadi sampai kini. Beberapa teman Tionghoa saya sempat
diliputi rasa takut akan terjadinya kekerasan terhadap mereka lagi sebagai
penularan terhadap sikap anti sebagian orang terhadap gubernur DKI Jakarta
nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama.
Kultur amok berkembang subur setelah terjadinya pembunuhan
terhadap jenderal-jenderal kita pada tahun 1965. Tak lama kemudian terjadi
pembunuhan terhadap mereka yang komunis ataupun yang bukan. Sampai kini
jumlah korban akibat amuk massa itu belum diketahui persis.
Anatomi amuk massa perlahan berubah. Faktor penyebab amok
semakin bertambah, mulai dari perbedaan tafsir agama, sengketa pilkada,
sampai persoalan kecil seperti perlakuan kejam majikan terhadap pembantu
rumah tangga.
Amuk massa juga menjadi bisnis yang menguntungkan karena Anda
bisa datang ke begitu banyak entitas pengerah massa. Jika harga sudah cocok,
Anda tinggal saksikan massa pro-Anda menyerbu ke mana pun.
Selama era Reformasi ini setiap tahun pasti ada amuk massa.
Frekuensinya sangat tergantung dari seberapa persaingan politik di tingkat
elite.
Amuk massa tentu juga mengalami desentralisasi. Anda sendiri
melihat betapa banyaknya calon kepala daerah yang saling bertarung bukan cuma
dengan tema-tema kampanye, melainkan juga dengan pengerahan massa.
Jangan salah, para pejabat yang memerintah juga mempunyai massa.
Saya jadi ingat peristiwa di Jalan Sudirman pada 13 November 1998.
Penguasa di kala petang itu mengerahkan puluhan anggota
pamswakarsa untuk menghadapi para mahasiswa.
Penguasa memang memiliki berbagai cara untuk mencegah terjadinya
amuk massa. Ada demo tandingan, ada pawang hujan, ada imbauan, dan ada pula
ancaman.
Semua orang pasti setuju Aksi Bela Islam I, II, dan III berjalan
aman dan tertib. Sayang sekali yang kedua tanggal 4 November sempat diwarnai
kericuhan kecil.
Sampai kini polisi masih belum mengungkap tuntas motivasi para
pelaku kericuhan kecil itu. Namun, sejarah kekerasan di negeri ini selalu
mengaitkan antara kerusuhan yang diotaki sang dalang yang berjudi untuk ambil
keuntungan.
Ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan massa, yang damai ataupun
beringas, juga dalam rangka berjudi untuk memetik keuntungan. Itu sebabnya muncul
spekulasi Aksi Bela Islam bukan mustahil ditunggangi mereka yang ingin
memaksakan proses pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo.
Siapa yang mendalangi kericuhan 4 November dan siapa saja yang
ingin memanfaatkan kemungkinan amuk massa untuk menggelar Sidang Istimewa MPR
untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo, mudah-mudahan akan terungkap.
Patut dipuji langkah Presiden Joko Widodo ikut shalat Jumat di
Monas bersama para peserta Aksi Bela Islam III yang ternyata memang
superdamai. Langkah Presiden dibutuhkan untuk menjamin ketenteraman kita
menjalani kehidupan sehari-hari dan juga untuk menyemangati aparat keamanan
yang bekerja profesional.
Sekali lagi, salut untuk Presiden Joko Widodo. Pada saat yang
kurang mengenakkan belakangan ini, kita butuh pemimpin yang bernyali besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar