Teroris Menyalak, Ekonomi Jalan Terus
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM
|
KOMPAS,
18 Januari 2016
Aksi terorisme di
Jakarta pekan lalu ternyata tidak mengganggu perekonomian Indonesia. Rupiah
dan harga saham memang sempat terkoreksi sebentar, tetapi kemudian kembali
stabil di level Rp 13.900 per dollar AS dan IHSG 4.524.
Penyebabnya ada dua
hal. Pertama, secara amat cepat aparat kepolisian berhasil menghentikan aksi
brutal tersebut. Dalam waktu pendek, hanya sekitar empat jam, situasi
keamanan terkendali. Presiden Joko Widodo juga dengan cepat mengunjungi
lokasi setelah menghentikan acara di Cirebon. Respons cepat ini sangat tepat.
Kedua, korban jatuh dapat diminimalkan. Tiga warga sipil yang meninggal,
sementara teroris yang tewas empat orang.
Semula kita memang
sempat tercekam oleh berita ngawur bahwa aksi terorisme tersebut juga terjadi
di sejumlah tempat. Skala terorisme yang semula besar memang sempat membuat
saya berpikir, apakah Bank Indonesia (BI) berani menurunkan suku bunga? Pada
hari itu Dewan Gubernur BI harus menentukan sikap: mempertahankan suku bunga
acuan BI 7,5 persen atau menurunkannya menjadi 7,25 persen?
Mayoritas pengamat
ekonomi sudah memperkirakan suku bunga itu diturunkan. Alasannya, tidak ada
lagi hal yang perlu ditunggu untuk menurunkannya karena inflasi 2015 sudah
terbukti rendah, yakni 3,35 persen. Indikator lain yang menunjang pergerakan
rupiah, yakni cadangan devisa, juga berada pada posisi yang baik, 105 miliar
dollar AS—meski dengan catatan bahwa cadangan devisa tersebut naik karena
pemerintah menarik utang dalam rangka menutup defisit APBN 2015.
Pada awal 2016, rupiah
memang terganggu oleh sentimen negatif dari Tiongkok. Indeks harga saham di
Shanghai runtuh, menyusul pesimisme terhadap masa depan perekonomian negeri
itu. Meningkatnya upah buruh dan kenaikan harga tanah di Tiongkok bagian
timur (daerah industri) menyebabkan mata uang renminbi kembali didevaluasi.
Bukan cuma itu, beberapa industri mulai melakukan relokasi, antara lain ke
Vietnam, untuk tetap mempertahankan daya saing.
Sentimen negatif
dengan cepat menjalar ke seluruh dunia. Indeks harga saham di New York pekan
lalu ditutup pada 15.988. Angka ini sangat rendah karena indeks tertinggi
adalah 18.200. Dengan sentimen negatif seperti ini, saya duga The Fed akan
menahan suku bunganya, untuk tidak segera dinaikkan lagi dari level sekarang
0,5 persen.
Hal lain yang
mengejutkan adalah harga minyak yang terus turun ke 29 dollar AS per barrel,
baik untuk jenis Brent maupun WTI (West
Texas Intermediate). Meski sudah sejak tahun lalu Goldman Sachs
meramalkan bahwa harga minyak berpotensi terjun ke 20 dollar AS per barrel,
tetap saja turunnya harga minyak di bawah 30 dollar AS tetap mengejutkan.
Penurunan harga minyak
secara konvensional biasanya dikaitkan dengan membaiknya perekonomian dunia.
Namun, ada analisis menarik dari Paul Krugman (”Oil Goes Linear”, The New York Times, 16/1/2016). Kata Krugman,
jika penurunan harga minyak cuma 10-20 persen, dampaknya pun konvensional.
Misalnya, inflasi rendah, lalu bank sentral bisa menurunkan suku bunganya.
Namun, masalahnya, di hampir seluruh dunia, inflasi sudah lebih rendah
daripada target. Lalu, mau dampak apa lagi yang diharapkan?
Krugman mengingatkan,
penurunan harga minyak sampai 70 persen berpotensi menghadirkan dampak
negatif. Di dunia ini banyak investasi yang terkait dengan harga minyak.
Ketika harga minyak tinggi, negara minyak mampu berinvestasi tinggi di
seluruh dunia. Namun, ketika harga jatuh, bisa terjadi hal sebaliknya. Ini
akan berbahaya bagi ekonomi 2016.
Arab Saudi menjadi
negara yang sangat terpukul oleh situasi ini. Cadangan devisanya turun 100
miliar dollar AS menjadi 650 miliar AS. Karena minyak menyumbang 90 persen
terhadap penerimaan negara, defisit APBN mencapai 15 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB). Bahkan, jika tidak direm, semula bakal melampaui 20
persen terhadap PDB. Sebagai perbandingan, defisit APBN 2015 sebesar 2,8
persen terhadap PDB.
Dalam skala yang
berbeda, Indonesia juga mengalaminya. Turunnya harga minyak menyebabkan harga
eceran BBM tidak perlu disubsidi lagi. Namun, di sisi lain, penerimaan negara
yang berasal dari migas juga akan menurun. Dalam APBN 2016, pemerintah
mengasumsikan harga minyak dunia 50 dollar AS per barrel. Pemerintah
merevisinya menjadi maksimal 30 dollar AS per barrel. Memang ada pula
kemungkinan harga minyak dunia naik lagi jika Arab Saudi berperang melawan
Iran. Namun, itu pun akan susah mencapai 50 dollar AS per barrel. Bagi
Indonesia, penurunan harga minyak rasanya tetap akan berdampak positif yang
lebih besar daripada negatif. Setidaknya kita akan terbebas dari beban
subsidi energi Rp 350 triliun seperti pengalaman 2014.
Akhirnya, kita
bersyukur karena berhasil lolos dari ujian bom teroris. Namun, kita tetap
harus bekerja keras dan waspada sepanjang 2016 yang ditengarai masih
terpengaruh dinamika global yang belum berhenti. Harga minyak masih bisa
turun, Pemerintah Tiongkok masih mungkin mendevaluasi renminbi, perekonomian
AS bisa saja memburuk karena dollar AS yang terlalu kuat. Semua ini
berpotensi menyebabkan kejutan-kejutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar