Selasa, 19 Januari 2016

Teroris Menyalak, Ekonomi Jalan Terus

Teroris Menyalak, Ekonomi Jalan Terus

A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

                                                       KOMPAS, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aksi terorisme di Jakarta pekan lalu ternyata tidak mengganggu perekonomian Indonesia. Rupiah dan harga saham memang sempat terkoreksi sebentar, tetapi kemudian kembali stabil di level Rp 13.900 per dollar AS dan IHSG 4.524.

Penyebabnya ada dua hal. Pertama, secara amat cepat aparat kepolisian berhasil menghentikan aksi brutal tersebut. Dalam waktu pendek, hanya sekitar empat jam, situasi keamanan terkendali. Presiden Joko Widodo juga dengan cepat mengunjungi lokasi setelah menghentikan acara di Cirebon. Respons cepat ini sangat tepat. Kedua, korban jatuh dapat diminimalkan. Tiga warga sipil yang meninggal, sementara teroris yang tewas empat orang.

Semula kita memang sempat tercekam oleh berita ngawur bahwa aksi terorisme tersebut juga terjadi di sejumlah tempat. Skala terorisme yang semula besar memang sempat membuat saya berpikir, apakah Bank Indonesia (BI) berani menurunkan suku bunga? Pada hari itu Dewan Gubernur BI harus menentukan sikap: mempertahankan suku bunga acuan BI 7,5 persen atau menurunkannya menjadi 7,25 persen?

Mayoritas pengamat ekonomi sudah memperkirakan suku bunga itu diturunkan. Alasannya, tidak ada lagi hal yang perlu ditunggu untuk menurunkannya karena inflasi 2015 sudah terbukti rendah, yakni 3,35 persen. Indikator lain yang menunjang pergerakan rupiah, yakni cadangan devisa, juga berada pada posisi yang baik, 105 miliar dollar AS—meski dengan catatan bahwa cadangan devisa tersebut naik karena pemerintah menarik utang dalam rangka menutup defisit APBN 2015.

Pada awal 2016, rupiah memang terganggu oleh sentimen negatif dari Tiongkok. Indeks harga saham di Shanghai runtuh, menyusul pesimisme terhadap masa depan perekonomian negeri itu. Meningkatnya upah buruh dan kenaikan harga tanah di Tiongkok bagian timur (daerah industri) menyebabkan mata uang renminbi kembali didevaluasi. Bukan cuma itu, beberapa industri mulai melakukan relokasi, antara lain ke Vietnam, untuk tetap mempertahankan daya saing.

Sentimen negatif dengan cepat menjalar ke seluruh dunia. Indeks harga saham di New York pekan lalu ditutup pada 15.988. Angka ini sangat rendah karena indeks tertinggi adalah 18.200. Dengan sentimen negatif seperti ini, saya duga The Fed akan menahan suku bunganya, untuk tidak segera dinaikkan lagi dari level sekarang 0,5 persen.

Hal lain yang mengejutkan adalah harga minyak yang terus turun ke 29 dollar AS per barrel, baik untuk jenis Brent maupun WTI (West Texas Intermediate). Meski sudah sejak tahun lalu Goldman Sachs meramalkan bahwa harga minyak berpotensi terjun ke 20 dollar AS per barrel, tetap saja turunnya harga minyak di bawah 30 dollar AS tetap mengejutkan.

Penurunan harga minyak secara konvensional biasanya dikaitkan dengan membaiknya perekonomian dunia. Namun, ada analisis menarik dari Paul Krugman (”Oil Goes Linear”, The New York Times, 16/1/2016). Kata Krugman, jika penurunan harga minyak cuma 10-20 persen, dampaknya pun konvensional. Misalnya, inflasi rendah, lalu bank sentral bisa menurunkan suku bunganya. Namun, masalahnya, di hampir seluruh dunia, inflasi sudah lebih rendah daripada target. Lalu, mau dampak apa lagi yang diharapkan?

Krugman mengingatkan, penurunan harga minyak sampai 70 persen berpotensi menghadirkan dampak negatif. Di dunia ini banyak investasi yang terkait dengan harga minyak. Ketika harga minyak tinggi, negara minyak mampu berinvestasi tinggi di seluruh dunia. Namun, ketika harga jatuh, bisa terjadi hal sebaliknya. Ini akan berbahaya bagi ekonomi 2016.

Arab Saudi menjadi negara yang sangat terpukul oleh situasi ini. Cadangan devisanya turun 100 miliar dollar AS menjadi 650 miliar AS. Karena minyak menyumbang 90 persen terhadap penerimaan negara, defisit APBN mencapai 15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan, jika tidak direm, semula bakal melampaui 20 persen terhadap PDB. Sebagai perbandingan, defisit APBN 2015 sebesar 2,8 persen terhadap PDB.

Dalam skala yang berbeda, Indonesia juga mengalaminya. Turunnya harga minyak menyebabkan harga eceran BBM tidak perlu disubsidi lagi. Namun, di sisi lain, penerimaan negara yang berasal dari migas juga akan menurun. Dalam APBN 2016, pemerintah mengasumsikan harga minyak dunia 50 dollar AS per barrel. Pemerintah merevisinya menjadi maksimal 30 dollar AS per barrel. Memang ada pula kemungkinan harga minyak dunia naik lagi jika Arab Saudi berperang melawan Iran. Namun, itu pun akan susah mencapai 50 dollar AS per barrel. Bagi Indonesia, penurunan harga minyak rasanya tetap akan berdampak positif yang lebih besar daripada negatif. Setidaknya kita akan terbebas dari beban subsidi energi Rp 350 triliun seperti pengalaman 2014.

Akhirnya, kita bersyukur karena berhasil lolos dari ujian bom teroris. Namun, kita tetap harus bekerja keras dan waspada sepanjang 2016 yang ditengarai masih terpengaruh dinamika global yang belum berhenti. Harga minyak masih bisa turun, Pemerintah Tiongkok masih mungkin mendevaluasi renminbi, perekonomian AS bisa saja memburuk karena dollar AS yang terlalu kuat. Semua ini berpotensi menyebabkan kejutan-kejutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar