Minggu, 03 Januari 2016

Kaum Muda dan Toleransi Agama

Kaum Muda dan Toleransi Agama

  Zuly Qodir  ;  Sosiolog dan Direktur Eksekutif Ahmad Syafii Maarif  School Pascasarjana UMY
                                                       KOMPAS, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tindakan yang sama sekali tak bisa dibenarkan" (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11).

Pernyataan Paus disampaikan ketika berkunjung ke Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Di tangan kaum muda inilah sebuah bangsa akan maju dan berkembang sekalipun para elitenya bergelimang kekuasaan dan harta kekayaan.

Kita tentu tidak ingin negara ini bergelimang darah karena pertumpahan warga sesama anak bangsa, bahkan saudara setanah air. Kita tidak ingin yang terjadi di Timur Tengah, Afrika, maupun di beberapa negara Eropa seperti Perancis, Turki, dan Irlandia melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengatasnamakan kesucian Tuhan buat mereka. Kita telah dibuat ngeri melihatnya. Kita tak sanggup melihat kekejaman yang dipraktikkan atas nama Tuhan.

Timur Tengah dan beberapa negara Eropa bergolak. Indonesia tidak boleh seperti itu. Salah satu kuncinya adalah sesama umat beragama menghindarkan sikap arogan, menindas, menelikung, serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir, sesat, dan harus pula dimusnahkan. Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan pada kita, akan kafir atau beriman. Beriman atau kafir akan mendapatkan tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk surga atau neraka. Itu hak Tuhan.

Kaum muda penentu

Sebagai penggerak masa depan, kaum muda menjadi sangat penting. Kaum muda merupakan masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam "kesesatan pikir" dan kesesatan tindakan atas nama agama/Tuhan. Kaum muda perlu mendapatkan pemahaman dan pendidikan inklusif yang memadai. Kaum muda tidak bisa dibiarkan dalam lingkaran setan intoleransi yang terus menggunung dan mengepung.

Kaum muda dengan begitu perlu diberi arahan yang matang tentang berbangsa dan bernegara. Kaum muda perlu dapat pemahaman kondisi sosial ekonomi politik dan historis memadai sehingga memiliki gambaran jelas tentang fenomena sebuah negara. Kaum muda tak boleh dibiarkan memahaminya sendiri tentang bangsa yang sedang kacau dan karut-marut. Hal ini akan menyesatkan dan mengarahkan dengan mudah pada tindakan anarkis, bahkan teroris.

Di sinilah tugas kaum elite agama memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif sehingga kaum muda mampu memiliki pandangan dan sikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati keyakinan keagamaan yang berbeda dengan keyakinan yang dimilikinya. Elite agama tak bertugas menyiram bibit radikal serta intoleransi kepada kaum muda dengan doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan tak lengkap sesuai konteks sosial historisnya. Kaum elite agama harus memberikan contoh nyata dalam berkata-kata (berdakwah) dengan santun, bijaksana, dan bertindak dengan damai dan menenteramkan. Tidak sembarangan berkata dan bertindak.

Bibit toleransi kaum muda seperti dikemukakan para psikolog sosial dan ilmuwan sosial sekurang-kurangnya disebabkan empat hal utama. Pertama, soal kesiapan mental yang belum matang sehingga anak-anak muda gampang terpengaruh hal-hal yang disampaikan orang yang dianggap lebih tua, lebih pintar, serta lebih "berkuasa" dalam hal keagamaan. Mental kaum muda masih mencari figur siapa yang akan dijadikan "pedoman" dalam kata-kata dan hidup.

Kedua, ketimpangan politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses memadai, padahal mereka tulang punggung politik seperti di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat kaum muda kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan mendapatkan siraman kebencian, yang muncul adalah kebencian pada salah satu agama tertentu, padahal yang berpolitik di Indonesia bukan hanya salah satu agama.

Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan. Disebabkan hidup susah yang diderita, pekerjaan sulit didapatkan, dan pengangguran menunggu di depannya, ketika ada sekelompok atau seseorang menyiramkan bibit kebencian dan iming-iming masuk surga, segera tanpa basa-basi kaum muda mengikuti.

Kasus pengantin bom dan pengeboman di Indonesia lima tahun terakhir yang pelakunya anak muda adalah buktinya. Oleh sebab itu, gap ekonomi tak boleh terjadi, apalagi pada saat rakyat kesusahan sementara para elite bergelimang kekayaan, termasuk karena korupsi.

Keempat, masalah pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa direproduksi oleh para pemberi mandat teror dan mandat intoleransi bahwa agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik, yakni mati sebagai martir atau mati di sebuah ujung pedang, mati di sebuah granat atau bom molotov. Semuanya dianggap sebagai jihad yang sesungguhnya sehingga tak segan anak-anak muda yang masih kurang paham agamanya segera melaksanakan.

Merevisi pemahaman jihad

Hal itulah yang perlu mendapatkan perhatian oleh para pengelola negara dan pendakwah agama. Para pengelola negara dan pendakwah agama perlu merevisi kembali pemahamannya tentang doktrin jihad, doktrin iman, doktrin takwa, bahkan doktrin surga dan neraka sehingga memberikan kerangka yang relatif utuh pada kaum muda harapan bangsa kita. Agamawan harus mendorong sikap dan tindakan toleransi antarumat beragama yang sekarang tampak semakin hampa.

Sikap toleransi itu sendiri merupakan kesediaan untuk menerima adanya perbedaan teologi, perbedaan keyakinan, menghargai, menghormati yang berbeda sebagai sesuatu yang nyata adanya dan diyakini oleh mereka yang memang berbeda dengan kita. Dengan sikap toleransi inilah akan lahir sikap hidup rukun dalam perbedaan, tidak saling menghujat, membenci, mengafirkan, apalagi hendak membunuhnya karena berbeda dengan kita.

Itulah pesan yang sangat penting dari pemimpin sedunia umat Katolik seperti kita sampaikan di awal tulisan, bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh warga manusia yang mengaku beragama. Beragama dengan demikian bukan untuk saling membenci, menghardik, atau menghakimi. Beragama adalah memanusiakan manusia serta menghargainya sebagai ciptaan itulah kodrat Ilahi.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk sangat beragam dalam hal kepercayaan dan keyakinan beragama perlu memperhatikan seruan itu, sehingga negeri ini tak berada dalam gelimang konflik kekerasan atas nama agama. Ke depan tak boleh lagi Indonesia mendapatkan gelar sebagai negara dengan intoleransi tertinggi di Bumi.

Jika kita sebagai umat beragama tetap hendak melakukan tindakan intoleransi dengan cara mengafirkan yang berbeda, menghukum yang minoritas, membunuh yang dianggap "lain", serta bertindak biadab lainnya, bukan tidak mungkin pada tahun 2016 kita tetap akan mendapatkan gelar sebagai bangsa yang tingkat intoleransinya tertinggi di muka Bumi. Selamat tinggal tahun 2015 yang penuh kelabu intoleransi menuju tahun 2016 yang penuh kedamaian dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar