Minggu, 03 Januari 2016

Tahun Baru, Konsisten Menderita

Tahun Baru, Konsisten Menderita

  Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan
                                                       KOMPAS, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam berbagai teks kebudayaan, waktu (masa) tidak hanya dimaknai secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif, yakni momentum (peluang, kesempatan) manusia untuk menggugat dan menggugah kesadaran eksistensial. Waktu bukan sekadar deretan hitung satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Bukan pula sekadar jadi fakta yang melekat pada peristiwa (kapan, berapa lama). Pertanyaan kebudayaan atas waktu terkait dengan nilai dan makna. Seorang presiden bisa ditanya, "Selama Anda memerintah, Anda melakukan apa saja yang bermakna bagi rakyat? Bagaimana Anda memimpin dan menjalankan revolusi mental yang sudah Anda canangkan sebagai program unggulan?".

Adapun kepada para penegak hukum kita bisa bertanya, "Dalam satu tahun ini, Anda bekerja atau tidur? Kenapa banyak gembong koruptor masih leluasa mengisap duit rakyat dan kekayaan negara? Kenapa pula hukum masih lembek menghadapi berbagai kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama dan primordialisme?".

Kita pun bisa bertanya kepada para wakil rakyat soal kapan mereka jera dan tobat dalam memperjuangkan kesejahteraannya sendiri. Bagus juga kita bertanya, kenapa selama ini banyak kelas menengah yang melakukan pengkhianatan intelektual dengan menjadi komprador atau sekutu penguasa modal.

Pertanyaan-pertanyaan di atas jauh lebih penting dan mendesak dibandingkan pertanyaan "Kita merayakan old and new di mana, dengan harga tiket berapa? Rp 10 juta? Rp 15 juta atau pilih yang premium, Rp 25 juta?".

Pergantian tahun dari yang lama ke yang baru selalu menggoreskan kepiluan bagi orang kebanyakan, terutama wong cilik, kelompok sosial tanpa kekuasaan. Bukan sedih karena tidak mampu merayakan tahun baru atau iri melihat pesta gemerlap berlumur hedonisme dari orang-orang kaya. Bukan! Sejatinya rakyat kecil tak punya kompleksitas kejiwaan atas perayaan tahun baru. Peralihan, perubahan, atau pergantian tahun, dalam arti masa, dipahami sebagai hal rutin dan lumrah. Selain itu, mereka juga sudah lelah merawat berbagai keirian, kecemburuan sosial, yang ternyata sangat tidak produktif. Sudah lama rakyat kurang dianggep (dihargai eksistensinya). Jika toh masih ada rasa mangkel atau kesal, hal itu sudah diubah menjadi kesunyian di rongga batin mereka.

Wong cilik cemas karena, dalam sejarahnya, pergantian tahun tidak membawa perubahan penting bagi mereka. Mereka tetap akan pontang-panting dan tersaruk-saruk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya alias tetap konsisten menderita. Dan yang paling mencemaskan, berdasarkan ilmu titen (menandai kenyataan), pada tahu baru nanti akan terjadi pelbagai penyesuaian harga kebutuhan dasar.

Itu artinya, rakyat dituntut arif dan bijak untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah yang pandai dan sangat kreatif menaikkan harga-harga. Memang ada bonus penurunan harga BBM. Namun, apa artinya jika penurunan angka itu sangat kecil dan tak mampu menaklukkan kesombongan harga-harga dalam konteks efek domino?

Baik saja tak cukup

Bagi rakyat, pemerintahan saat ini jauh lebih sulit untuk disikapi. Berbeda dengan rezim Soeharto yang sangat jelas merepresi rakyat dan karena itu energi perlawanan jadi sangat besar, rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla tampil "elegan". Lembah manah (rendah hati, sopan, ramah). Ini terutama karena citra Jokowi yang kinclong di mata rakyat. Kerja kelas menengah/pendukung Jokowi dan media dalam membangun opini "Jokowi presiden pilihan rakyat" terbukti jadi mantra ampuh bagi rakyat.

Namun, dalam perkembangan waktu dan seiring kinerja politik pemerintahan Jokowi, pelan-pelan pelbagai kekaguman itu luntur. Rakyat yang rikuh berteriak protes pun akhirnya nggerundel, "Jebul ora kacek" (ternyata tak ada kelebihan). Ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya dosis penderitaan wong cilik karena dihajar kebutuhan berbiaya tinggi, sementara sumber penghasilan tak pasti atau nilai uang yang diperoleh merosot.

Bagi rakyat, presiden baik hati  ternyata tidak cukup. Rakyat sudah kenyang dengan sikap ramah dan populisme sang presiden. Rakyat juga sudah bosen disuguhi teater blusukan. Nilai-nilai blusukan (merakyat, sehati dengan rakyat) ternyata masih menjadi kekayaan batin personal, tetapi belum optimal ditransformasikan ke dalam perilaku memerintah (menjalankan konstitusi secara konsisten) yang berbuah pada kesejahteraan rakyat.

Maka, pada tahun baru ini, rakyat akan sangat kecewa jika Jokowi dan rezimnya turut berhura-hura demi membangun citra dekat dengan masyarakat, terutama kalangan menengah ke atas yang tidak merasakan dampak krisis ekonomi akibat dekadensi kekuasaan.

Pada tahun baru ini, rakyat bisa matur kepada Presiden, "Mas Joko, panjenang sudah saatnya lebih total membersihkan kekuasaan tingkat hulu sehingga kejernihan dan kenyamanan bisa  dirasakan di tingkat hilir." Jokowi wajib menggugat dirinya secara eksistensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar