Prostitusi,
Pejabat, Kepemerintahan
Saifur Rohman ; Pengajar Filsafat di Universitas Negeri
Jakarta
|
KOMPAS,
02 Januari 2016
Setelah menangkap dua
artis televisi yang terlibat prostitusi (15/12/2015), polisi menyatakan
sebagian pelanggan mereka adalah sejumlah pejabat pemerintah dan tokoh publik
yang cukup dikenal masyarakat. Sejumlah aparat negara bereaksi. Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta agar segera diungkap apabila memang
ada pejabat yang terlibat.
Kasus pembongkaran
prostitusi yang melibatkan bintang televisi swasta itu bukanlah yang pertama
terjadi. Namun, apabila pernyataan aparat dapat dianggap sebagai petunjuk
untuk menelusuri lebih jauh, bagaimana langkah menyeluruh dan meyakinkan
untuk mengikis praktik-praktik prostitusi kelas atas tersebut? Apabila tidak
dilakukan, apa dampak prostitusi terhadap pelaksanaan hukum dan pemerintah?
Sebetulnya sejak awal bisa ditanyakan, itu sungguh-sungguh atau tidak?
Gula-gula penegakan hukum
Penanganan aparat
terhadap praktik prostitusi dalam segala tingkatan berhubungan secara positif
terhadap kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Semakin tegas penanganan
prostitusi, maka semakin baik citra aparat.
Faktanya, selama ini
penanganan prostitusi kelas atas tak ubahnya sebagai gula-gula dalam
penegakan hukum. Ada berbagai wilayah yang mungkin untuk ditelusuri oleh
aparat, tetapi tidak dilakukan. Sampai sejauh ini, keterlibatan pejabat dalam
prostitusi hanya menjadi spekulasi di tengah-tengah masyarakat.
Dalam logika semantik
yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap terdapat dua makna, yakni makna yang
pasti dan makna yang mungkin. Situasi-situasi aktual dianggap sebagai makna
yang pasti, tetapi tambahan kondisional tertentu dari sebuah pernyataan itu
membuat sebuah peristiwa menjadi bagian dari makna yang mungkin. Contoh,
pernyataan "seorang artis telah ditangkap polisi" adalah hal yang
pasti, tetapi ada makna yang mungkin ketika dinyatakan "jika dia
melayani setiap orang yang mampu membeli, maka salah satu pelanggannya adalah
pejabat".
Logika tersebut
memberikan makna penting tentang apa yang sudah dilakukan aparat dan apa yang
belum. Ketika penanganan kejahatan tidak pernah memikirkan berbagai
kemungkinan yang ada, kita layak mempertanyakan kesungguhan aparat
melaksanakan pemerintahan yang bersih. Apabila direfleksikan ke dalam praktik
penegakan hukum, kesungguhan itu nyatanya memang sulit untuk dibuktikan.
Argumentasi itu didasarkan pada empat hal.
Pertama, selama ini
pemerintah bermain dengan logika formal: hal-hal yang mungkin tidak pernah
dianggap sebagai wilayah yang bisa dibuktikan. Aparat apatis terhadap
pelbagai kemungkinan yang mengarah pada kejadian yang nyata. Bukti,
pernyataan tentang keterlibatan pejabat dalam prostitusi ditanggapi Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Katanya, tidaklah mungkin seorang pejabat jadi
pelanggan karena gaji pejabat pemerintah sedikit sehingga mereka tidak mampu
mengeluarkan uang hingga Rp 50 juta per malam.
Gaji pejabat
pemerintah memang sudah diumumkan oleh Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, tetapi tidak ada yang menyangkal bahwa pendapatan di luar gaji
sebetulnya lebih besar. Sebab, asumsi umum, pejabat dapat
"menguangkan" kewenangan, kekuasaan, hingga kesempatan. Hal itu
dibuktikan dengan adanya isu rekening gendut para pejabat pemerintah, beberapa
waktu lalu.
Berpikir apriori
Kedua, pernyataan
tersebut membawa pada pemikiran apriori terhadap kejahatan-kejahatan yang
tersembunyi. Apabila fakta empiris merupakan hal yang telah terjadi, maka
hubungan satu kejadian dan kejadian lainnya adalah hal yang mungkin saja
terjadi. Proyeksi tentang pelanggaran di dunia yang mungkin itu nyatanya tak
dilanjutkan dengan penyelidikan yang memadai.
Lagi pula, apriori itu
semakin kuat ketika data Kementerian Sosial pada tahun 2015 menunjukkan
adanya 168 lokasi prostitusi di tengah-tengah masyarakat, tetapi hanya 39
lokasi yang dapat dibereskan. Boleh dikatakan jauh panggang dari api karena
kinerja pemerintah baru mencapai 23 persen selama 70 tahun Indonesia merdeka.
Ketiga, aparat
melakukan penanganan prostitusi kelas atas secara setengah-setengah. Hal itu
semakin membuktikan pepatah lama bahwa hukum hanya "tajam ke bawah,
tetapi tumpul ke atas". Contoh, pada Oktober 2015, kasus prostitusi yang
melibatkan dua artis hanya menyeret mucikari ke meja hijau dan divonis
penjara satu tahun empat bulan. Belakangan diketahui mucikari ini bekerja
sebagai perias artis.
Kiranya mata rantai
kejahatan tidak hanya tertuju pada satu orang saja, tetapi melibatkan
sejumlah tokoh dengan peran khusus yang mendukung modus operandinya. Karena
itu, jelas tidak adil manakala hanya satu orang yang dijatuhi hukuman,
sementara artis dan pelanggannya tidak pernah disentuh.
Keempat, praktik
pembongkaran prostitusi kelas atas tampak hanya sebagai sensasi dalam
pemberitaan di media massa. Suka atau tidak, berita penangkapan akan tersebar
secara cepat dan meluas, tetapi cuma sebentar. Setelah itu, publik akan
melupakan tindak lanjut. Coba lihat, fakta-fakta sebelumnya menunjukkan tidak
ada penyelesaian yang menyeluruh atas kasus prostitusi tersebut, yakni
dimulai dari penindakan terhadap pelanggan, mucikari, hingga artis yang
tertangkap.
Pendeknya, selama
rantai prostitusi kelas atas itu tidak dijelaskan kepada publik, selama itu
pula aparat boleh dikata tidak bekerja secara sungguh-sungguh. Ini tidak
main-main. Sebab, selain ancaman terhadap wacana pemerintahan yang berwibawa,
hal yang dipertaruhkan adalah kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dari pelbagai penyakit sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar