BIN,
Din Minimi dan Perdamaian Indonesia
Otjih Sewandarijatun ; Peneliti di Galesong Institute
dan Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
(LSISI) Jakarta
|
DETIKNEWS,
30 Desember 2015
"Perjuangan" Nurdin Ismail alias Din Minimi beserta
120 orang anggotanya di Aceh telah berakhir, setelah pimpinan kelompok
bersenjata paling dicari di Aceh ini mengadakan "win-win negotiation" dengan Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Sutiyoso.
Pertemuan untuk membujuk Din Minimi berlangsung lama. Bahkan,
Sutiyoso sempat bermalam di rumah Din Minimi di Desa Ladang Baro Kecamatan
Julok, Aceh Timur. Menurutnya, selama di rumah itu terus dilakukan pembahasan
agar Din Minimi beserta anak buahnya segera turun gunung. Din Minimi dan
kelompoknya menyerahkan 15 pucuk senjata terdiri dari jenis AK 47 sebanyak 13
pucuk, SS1 satu pucuk, FNC satu pucuk dan pelontar granat satu pucuk dan
amunisi.
Ada beberapa resep mengapa BIN berhasil membawa turun kelompok
Din Minimi yaitu:
Pertama, Kepala BIN Sutiyoso patuh dengan perintah Presiden
Jokowi agar dalam menyelesaikan permasalahan dilakukan melalui dialog,
komunikasi, silaturahmi dan secara damai yang dikenal dengan istilah soft
approach.
Kedua, Kepala BIN Sutiyoso juga menggunakan perantara yaitu
Fasilitor Perdamaian Aceh, Juha Chirstensen. Alasan Sutiyoso meminta bantuan
Juha, karena mempunyai banyak akses ke mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) disebabkan Juha juga terlibat panjang dalam proses perdamaian di Aceh
selama bergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) pasca penandatanganan
MoU Helsinki.
Ketiga, tuntutan yang disampaikan Din Minimi kepada Sutiyoso
cukup masuk akal dan mudah untuk direalisasikan baik oleh Pemerintah Aceh
maupun Pemerintah Pusat. Tuntutan Din Minimi antara lain reintegrasi GAM,
pemerintah memperhatikan yatim piatu, memperhatikan para inong balee (janda
GAM) agar mereka sejahtera.
Selain itu, permintaan lain adalah agar KPK turun ke Aceh karena
Din Minimi menilai ada sesuatu yang tidak beres di Aceh, terutama soal
pengelolaan APBA dan saat Pilkada 2017, ada tim independen yang menjadi
pengawas di Aceh agar tidak ada intimidasi. Selain itu, Din juga meminta agar
pemerintah memperhatikan keselamatan dan keamanan keluarganya saat dirinya
menjalani proses hukum.
Bagi Sutiyoso, kelompok bersenjata pimpinan Din Minimi ini bukan
memberontak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Mereka juga tidak merampok.
Jadi, perjuangan Din Minimi sebenarnya otokritik terhadap pejabat-pejabat
Aceh yang sebelumnya mantan GAM.
Intinya, Din Minimi dan kelompoknya memberontak bukan untuk
meminta uang dan pekerjaan, melainkan merupakan 'resonansi' kekecewaan
beberapa mantan pejuang GAM terhadap rekan-rekan mereka yang pasca MoU
Helsinki menjadi pejabat di Aceh, namun dinilai melupakan dan melalaikan
mantan GAM yang kurang beruntung kesejahteraannya.
Jalan panjang yang ditempuh Sutiyoso dalam menggalang dan
negosiasi dengan Din Minimi sebenarnya selaras dengan pendapat Richard K
Betts dan Thomas G Mahnken dalam buku "Paradoxes
of Strategic Intelligence" karena jelas sebelumnya Sutiyoso dan para
anak buahnya di BIN telah mengumpulkan informasi terkait Din Minimi dan
menganalisisnya secara tepat.
Hal itu tidak mudah dilaksanakan karena menurut Richard K Betts
dan Thomas G Mahnken dalam buku "Paradoxes
of Strategic Intelligence" bahwa informasi-informasi yang
dikumpulkan oleh lembaga intelijen selalu terkait dengan niat dan kemampuan
baik kemampuan material maupun non material.
Kemampuan material seperti senjata yang dimiliki, keahlian
khusus musuh dan jumlahnya yang sejauh ini sangat sulit untuk disembunyikan,
sedangkan kemampuan non material seperti kualitas organisasi, moral dan
doktrin yang mana sangat sulit untuk dievaluasi secara tepat.
Sementara itu, niat seringkali berubah di menit-menit terakhir
dan untuk mengetahuinya bukan pekerjaan mudah bagi intelijen. Biasanya untuk
mengetahui niat dapat diketahui dari memoar-memoar, pidato-pidato, briefing
dan de-briefing dan lain-lain. Mengetahui kemampuan musuh sangat penting bagi
intelijen karena ada prinsip "a
country with weaker capabilities may nevertheless decide to go a war".
Perdamaian
Indonesia
Kita sebagai bangsa Indonesia tentulah harus bersyukur dengan
keberhasilan Kepala BIN Sutiyoso dalam mengajak kelompok sempalan GAM yang
dipimpin Din Minimi, karena bagaimanapun juga keberhasilan ini juga
membuktikan bahwa setiap permasalahan kebangsaan apapun jenisnya dapat
diselesaikan secara aman dan damai, sepanjang nilai-nilai kemanusiaan, saling
menghormati dan semangat mengedepankan soft approch lebih mendominasi dari
semangat hard approach. Keberhasilan ini juga menambah catatan-catatan
keberhasilan jajaran pemerintahan Jokowi-JK.
Kalau ada pihak-pihak yang menyatakan keberhasilan ini merupakan
pencitraan dan lain-lain adalah hal yang wajar, namun sejatinya masyarakat
Indonesia mempunyai penilaian dan penghargaan tersendiri kepada aparat negara
ataupun siapa saja yang lebih mengedepankan bekerja daripada mengkritik dan
menghujat hasil pekerjaan orang, tanpa menyadari dirinya mampu atau tidak
melaksanakan pekerjaan tersebut.
Penulis meyakini bahwa BIN di bawah kepemimpinan Sutiyoso
diperkirakan akan lebih baik dibandingkan kepemimpinan sebelumnya, sehingga
cara-cara human approach, soft approach
ataupun dialogue approach akan
dikedepankan BIN dalam melaksanakan tugas kenegaraan mengamankan kebijakan
negara dan memberikan masukan terhadap Presiden sebagai end user terkait
ancaman, kendala, hambatan, peluang dll terhadap pelaksanaan kebijakan
negara.
Mungkin masyarakat kurang menyadari bahwa keberhasilan
pemerintah ataupun terjaganya situasi keamanan Indonesia juga disebabkan oleh
kinerja BIN dan aparat keamanan serta aparat penegak hukum lainnya yang
semakin membaik. Oleh karena itu, jika ada "tantangan" apakah BIN
dapat menyelesaikan persoalan OPM di Papua dan kelompok Santoso di Poso,
Sulawesi Tengah dapat berhasil atau tidak dengan cara-cara soft approach, kemungkinan besar bisa
karena sejatinya manusia dalam hidupnya ingin kedamaian, kemakmuran dan
keselamatan serta kurang menyukai kekerasan, arogansi dan intimidasi.
Pelajaran lainnya dari kelompok Din Minimi adalah Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak lalai melaksanakan tugas utamanya
yaitu mengemban amanah menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya, agar mereka
tidak direpotkan dengan munculnya Din Minimi-Din Minimi lainnya di beberapa
daerah, jika aparat negara melalaikan tugas pokok dan fungsinya.
Ayo bekerja, kerja dan kerja dan terus jaga perdamaian
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar