IKM,
MEA, dan Komitmen
Achmad Maulani ; Pengamat Ekonomi Politik,
Kandidat Doktor Universitas Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 19 November 2014
IBARAT
papan catur, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 diisi bidak pelaku industri
besar, menengah, dan kecil, yang akan saling bertarung. Satu hukum yang
pasti, MEA meniscayakan kebebasan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga
kerja di antara negara-negara ASEAN. Pada titik itulah posisi industri kecil
menengah (IKM) punya peran strategis. IKM yang selama ini punya banyak
keterbatasan dalam menggarap pasar ekspor akan menjadi benteng utama dalam
menjaga pasar dalam negeri.
Karenanya,
keberadaan IKM diharapkan menjadi pengaman pasar, paling tidak di sekitar
lokasi usaha masing-masing. Di sinilah komitmen negara diperlukan agar pelaku
IKM mampu bertarung dan tidak terlempar dari arena pasar.
Komitmen
dan peran politik negara (pusat dan daerah) bisa dilakukan melalui
langkah-langkah strategis untuk memberi daya hidup atas keberadaan IKM dengan
berbagai paket regulasi.
Awal
November 2014 BPS merilis laporan bahwa tingkat pengangguran terbuka per
Agustus 2014 mencapai 5,94 % dari jumlah penduduk atau 7,24 juta orang.
Sementara angkatan kerja Indonesia 182,99 juta orang. Yang lebih membuat kita
prihatin tingkat pengangguran terbuka tersebut didominasi lulusan menengah
kejuruan, diploma, dan universitas.
Deretan
angka yang menunjukkan lonjakan pengangguran 7,4 juta orang tentu bukan fakta
yang bisa dianggap remeh. Kesalahan sekecil apa pun menangani masalah justru
dapat merembet ke arah problem sosial lebih akut. Terlebih ketika bangsa ini
berada dalam pusaran pasar bebas di mana arus barang dan jasa, termasuk
tenaga kerja dari luar bisa masuk secara bebas tanpa hambatan.
Katup Pengaman
Di
sinilah peran dan keberadaan IKM sebagai katup pengaman krisis dan pelampung
masalah ketenagakerjaan menjadi signifikan. Fokus perekonomian Indonesia yang
selama cenderung dititikberatkan pada konglomerasi usaha tentu masih sah
dijalankan.
Namun,
catatan tebalnya bahwa kebijakan makro tersebut tidak boleh menganaktirikan,
apalagi meminggirkan keberadaan sektor kecil menengah melalui kebijakan dan
regulasi yang sama sekali tak memberi daya hidup bagi mereka.
Komitmen
ini tentu harus menjadi sesuatu yang inheren dalam kebijakan pemerintah dalam
semua level pemerintahan, pusat dan daerah. Harus diingat, IKM punya peran
sangat berarti bagi perekonomian bangsa. Data BPS menunjukkan, produk
domestik bruto IKM pada 2013 mencapai Rp 212,9 triliun. Sumbangan IKM ini
setara dengan 34,28 persen terhadap PDB industri tahun 2013 sebesar Rp 621,2
triliun.
Persoalannya
adalah saat ini masih terjadi ketimpangan dalam sebaran IKM dan ini saya kira
menjadi pekerjaan rumah pemeritahan Jokowi-JK. Jumlah IKM di Indonesia pada
2013 sebanyak 56,53 juta unit, 62,3 persen di antaranya berada di Jawa.
Dalam
konteks menghadapi pasar MEA yang diberlakukan akhir 2015, sinergitas antara
usaha berskala besar dan menengah, dan IKM wajib dilakukan. Pemerintah harus
mencari formula yang tepat dalam soal ini. Misalnya, kewajiban usaha berskala
besar untuk menyerap produk IKM, baik dalam bentuk bahan baku maupun bahan
setengah jadi.
Dengan itu
usaha skala besar benar-benar menopang keberadaan IKM dalam bertarung
menghadapi pasar bebas ASEAN.
Basis Utama
Karena
itu, kemajuan dan pengembangan sektor IKM di tengah penetrasi pasar global
harus bertumpu pada mekanisme pasar yang sehat dan adil. Ada beberapa langkah
yang bisa ditempuh. Pertama; sumber daya lokal harus dijadikan basis utama.
Kedua; perlunya pembentukan infrastruktur pendamping yang dapat membantu
pelaku IKM menghadapi lembaga pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan dalam
mengakses pasar yang luas.
Ketiga;
perlunya lembaga penjamin kredit. Hal ini penting karena rendahnya
aksesibilitas IKM terhadap lembaga pembiayaan seringkali berpangkal dari
ketiadaan agunan. Keempat; penggunaan teknologi yang berbasis pengetahuan
lokal. Ini harus dilakukan pemerintah bersama perguruan tinggi karena
ketergantungan terhadap teknologi asing akan berakibat pada beban biaya
tinggi dan kadang tidak tepat guna. Kelima; meningkatkan promosi produk
bermuatan lokal tinggi ke kancah perdagangan internasional.
Langkah,
kebijakan, dan regulasi pemerintah dalam melindungi keberadaan IKM adalah
sebuah keharusan. Ini penting diingatkan kepada pemerintah karena penyerapan
tenaga kerja di sektor ini sangatlah besar. Usaha mikro menyerap
setidak-tidaknya lebih 77 juta tenaga kerja dan usaha kecil sekitar 10 juta
lebih pekerja. Sementara usaha menengah hampir di atas 5 juta tenaga kerja.
Ini baru yang tercatat resmi. Jumlah UMKM pun diperkirakan sekitar 56 juta.
Sebuah potensi yang luar biasa.
Karena itu, ketika kini mereka dihadapkan pada tantangan berupa
persaingan dan kompetisi, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Pemerintah
harus berada di garda terdepan dalam melindungi keberadaan mereka di tengah
kompetisi yang kadang tak adil dan bahkan bisa mengempaskan mereka dari arena
persaingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar