Sabtu, 02 November 2013

Siapa Penyetir Skandal Asmara?

Siapa Penyetir Skandal Asmara?
Reza Indragiri Amriel  ;  Dosen Psikologi Sosial Universitas Pancasila
JAWA POS, 01 November 2013

KELAKUAN sekian banyak tokoh lelaki papan atas negeri ini benar-benar merisaukan. Bukan hanya karena perilaku koruptif mereka. Juga, bukan hanya karena tindak-tanduk kriminal mereka lainnya. Kali ini kemasygulan muncul gara-gara para pejabat maupun hartawan itu juga punya wanita idaman lain (WIL).

Ada rupa-rupa motivasi yang melatari mereka ber-WIL-ria, baik yang berstatus simpanan, cinta satu malam, maupun istri ''samar-samar'' yang tidak tercatat di kantor urusan agama. Pernikahan sambilan yang hanya bertahan seusia jagung itu membangkitkan rasa (pura-pura) penasaran: untuk membangun rumah tangga sakinah atau sebatas hubungan badaniah?

Kian kuatlah kasak-kusuk bahwa semakin tinggi jabatan dan penghasilan lelaki, semakin banyak pula perempuan yang akan dikoleksi. Itu nyata-nyata stigma buruk terhadap lelaki. Pepatah Barat bahwa life begins at forty tak pelak kian mendekati kenyataan.

Lelaki pada usia 40, berdasar banyak literatur, punya obsesi menyingsingkan lengan baju. Perempuan, sebaliknya, pada usia yang sama justru tidak sedikit yang menyingsing senja. Umur kepala empat ditandai dengan berkobar-kobarnya produktivitas kaum pria. Digdaya di tempat kerja, perkasa untuk urusan stamina, prima dalam kepercayaan diri, dan memesona pada penampilan ragawi.

Sayangnya, sabda alam berbeda pada kaum hawa. Memasuki kepala empat, stabilitas hormonal justru terguncang. Menyongsong menopause pula. Rivalitas dengan kaum adam untuk menduduki singgasana penguasa dunia pun menjadi lebih berat. Singkatnya, bagi perempuan di umur 40 tahun, bayangkan saja suasana hati tatkala bangun dari tidur siang menjelang magrib: bugar urung datang, malah letih yang tak kunjung hilang.

Pada suatu masa, sarang serangga berfungsi bak karangan bunga dan serangga adalah menu pembangkit gairah asmara. Kala itulah lelaki -atau tepatnya pejantan- Paranthropus boisei yang mampu mempersembahkan paling banyak serangga akan menjadi sosok primadona betina.

Begitu pula dengan Homo habilis berjenis kelamin lelaki. Semakin tajam daya endus kognitifnya terhadap sumber-sumber makanan, semakin besar potensinya untuk menjadi pejantan dominan.

Dua spesies lelaki prasejarah seperti itu terlihat di mata lawan jenis sebagai sosok prospektif. Yakni, memiliki sumber daya kesejahteraan dan penerus keturunan yang meyakinkan.

Jejak evolusi biologi-psikologi-sosial manusia purba tersebut hingga beberapa segi berlanjut hingga era manusia modern. Demikian ungkap peneliti Catherine Hakim, sosiolog Inggris, pakar London School of Economic. Dia menyimpulkan, dari sekian banyak faktor yang memengaruhi kenikmatan perempuan dalam berelasi seksual, ''pendapatan pasangan'' merupakan faktor paling dominan!

Kendati superfisial, tali-temali antara sensasi positif dalam bercinta dan isi kantong pasangan sebenarnya mempunyai penjelasan yang masuk akal. Konon, lebih dari lelaki, perempuan saat bercumbu sangat membutuhkan situasi yang kondusif. Nah, jika pasangan mampu memenuhi kebutuhan finansial, -paling tidak- sudah ada satu ketenteraman batin yang tercipta. Hubungan badani mungkin jadi terasa sensasional.

Dipahami secara negatif, kemapanan finansial dan kegagahan status sosial bisa membuka kerawanan. Kerawanan yang bermakna dua. Pertama, lelaki dengan kelengkapan sedemikian rupa sudah mempunyai modal untuk memikat lebih banyak perempuan. 

Kedua, seakan menjadi ''kodrat'' bahwa perempuan memang akan melihat lelaki pejabat seperti itu dengan penuh ketakjuban. Itu pula yang menjadi penjelasan atas temuan, jika dibandingkan dengan perempuan pada tahun empat puluhan, perempuan-perempuan masa kini jauh lebih terang-terangan menyebut kekayaan sebagai syarat yang diajukan kepada siapa pun yang bermaksud mempersunting mereka.

Sampai di situ, jelas sudah ''siapa berperan sebagai apa''. Skandal seks seolah menjadikan perempuan sebagai pemeran sosok ''young, naive and stupid'' alias korban lelaki. Lelaki, dalam kegemparan yang sama, berperan sebagai lawan main dengan status ''jago strategi''.

Namun, penelitian Catherine Hakim tidak berhenti hanya pada sensasi terkait seksualitas. Dia meneruskan kajiannya dengan menelusuri persepsi perempuan yang menikah dengan status sebagai WIL. Kesimpulannya, para WIL tidak menganggap kualitas pernikahan mereka dengan lelaki yang sudah beristri terasa lebih membahagiakan dan memuaskan ketimbang jika mereka menikah dengan lelaki tanpa istri yang berpenghasilan dan berkedudukan biasa saja.

Temuan itu pun punya dua implikasi. Pertama, orang boleh menggunakan istilah ''petualangan cinta'' sebagai kiasan skandal seks. Tapi, ketika ''kebahagiaan'' hanya ada di atas ranjang, pemakaian kata ''cinta'' jelas mengada-ada. Kedua, seorang pria pejabat maupun hartawan boleh jadi punya modal untuk memikat perempuan. Tapi, siapa bisa menjamin bahwa rumput tetangga akan selalu kalah hijau? Sampai di mana batasnya?

Jadi, mari timbang ulang. Khususnya bagi para pria, masihkah sama kukuhnya rasa percaya diri untuk menjawab ''siapa yang sesungguhnya memanipulasi siapa''? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar