|
Sudah berkali-kali saya naik pesawat dan sudah berkali-kali
saya mendengarkan instruksi cara-cara menyelamatkan diri, dan sejuta kali saya
tak pernah menyimak. Dua detik saja tidak, apalagi menyimak sampai tuntas.
Namun, hari ini saya malah disadarkan bukan oleh petugas
maskapai penerbangan, tetapi oleh sebuah pesan yang masuk ke telepon genggam.
Kira-kira begini bunyinya. ”If there is a change in cabin pressure put your own
mask on before helping others with theirs.”
Trenyuh
Saya ini orang yang mudah trenyuh. Oleh apa pun. Terutama
sebuah keadaan yang memelas dan memeras hati nurani. Orang tak pernah atau
jarang percaya kalau manusia sejahat saya bisa trenyuh. Tetapi begitulah
kenyataannya. Sebuah kenyataan yang tak semua orang bisa melihatnya. Bukan
karena mereka buta, tetapi karena saya lebih sering menunjukkan sikap tak
trenyuh.
Saya itu sering kali kalau melihat ada orang yang bisa
meluangkan waktu untuk orang lain ingin seperti mereka. Entah dari kasus yang
paling ringan, seperti hanya menyediakan waktu untuk mendengar saja, sampai
kasus berat menolong orang tak mampu, bahkan membela hak atau melindungi orang
yang diperlakukan tidak adil.
Perasaan trenyuh dan keinginan untuk menolong serta-merta
naik melejit seperti roket. Apalagi kalau sehabis menyaksikan film
atau talk show. Saya ingin hebat seperti mereka. Tetapi yang melejit
seperti roket itu sampai sekarang tak pernah terwujud. Sebabnya karena saya tak
melakukannya dengan dasar mengevaluasi kemampuan, tetapi hanya berdasarkan
emosi yang ingin sama itu.
Tak terwujudnya juga karena setelah mendengar mereka yang meluangkan
waktu, bahkan menghabiskan waktunya untuk menolong orang lain, ada risiko yang
harus dihadapi, bahkan kehilangan nyawa sendiri. Saya menyerah telak sebelum
perang karena saya tak siap menanggung risiko dari menolong orang. Saya
menyerah karena kaget kalau untuk sebagian orang, berbuat baik itu sebuah
ancaman.
Selama ini saya diajari berbuat baik saja tanpa disodori
secara gamblang risiko dari perbuatan itu. Maka, pesan yang masuk di pagi hari,
tepat saat saya mendarat kembali ke Jakarta, membuat pagi saya seperti mendung
yang tiba-tiba menyerang kota ini belakangan. Saya kemudian berkaca kembali
pada keinginan yang mulia itu. Berkacanya sambil membaca ulang lagi instruksi
keselamatan penerbangan itu.
Butuh
oksigen
Kalau menolong orang lain itu harus dimulai dengan menolong
diri sendiri. Menolong diri sendiri itu adalah melihat ke dalam diri, apakah
kemampuan menolong itu ada. Kemampuan mental, intelektual, emosional, dan
finansial. Saya kok tiba-tiba merasa rumit sekali hanya untuk berbuat baik.
Dalam kasus yang ringan, seperti meluangkan waktu untuk
mendengarkan, misalnya. Saya ini orang yang tipenya tak suka mendengar dan
lebih suka didengar. Artinya, menjadi pendengar yang baik itu adalah bukan
saya. Jadi, bagaimana saya mau menolong orang kalau saya sendiri saja ogah
mendengarkan mereka curhat, bukan?
Kalaupun saya memaksakan diri, mungkin saya mampu bertahan
dalam waktu lima belas menit, kemudian setelah itu giliran mereka yang menjadi
pendengar atas contoh-contoh yang saya berikan dengan harapan mereka bisa
belajar dan kemudian menjadi lebih lega karena sudah mendengar solusinya.
Padahal, menyediakan waktu untuk mendengar itu tak selalu
sama dengan membutuhkan pertolongan dalam bentuk komentar atau jawaban, bahkan
solusi. Mereka hanya mau didengar. Titik. Nah, dalam urusan ini saya tak peka
sama sekali.
Maka, seyogianya, saya tak bisa sok mau ikut-ikutan
meluangkan waktu seperti orang lain untuk mendengar, tanpa niat saya untuk
merenovasi sifat-sifat saya yang malas mendengar itu, dan kepekaan yang
kadarnya rendah sekali. Maka, kemudian saya menyerah kalah dengan berpikir mau
berbuat baik saja kok yaaaa...susahnya setengah mati.
Mau menolong orang lain selain doa, waktu, dan lain-lainnya
kadang ada bantuan dalam bentuk uang. Nah, saya itu juga sok tahu mau membantu
ini dan itu. Saya lupa keadaan keuangan saya sendiri. Saya itu suka menolong
orang, tetapi memiskinkan diri sendiri.
Dan saya selalu berpikir kalau Tuhan itu pasti menyediakan
apa yang saya butuhkan, jadi tak perlu harus berhitung. Kenyataannya? Saya
sering kali sekarat. Maka, yang saya perlukan sebelum menolong orang lain,
kondisi keuangan saya juga harus dalam keadaan sehat.
Menolong itu baik, tetapi tak bisa membutakan seseorang untuk
menilai kemampuan dan risiko yang dihadapi. Menolong itu mulia, tetapi
menghadapi mereka yang terancam karena niat menolong yang katanya mulia itu
bisa jadi mengkederkan jiwa.
Maka, saat selesai membaca pesan di pagi itu, saya tiba-tiba
merasa butuh tambahan asupan oksigen. Saya ternyata belum siap menolong orang,
tepatnya belum siap dengan risikonya. Mungkin saya harus mulai dengan kasus
yang paling ringan. Ringan buat saya bukan buat orang lain tentunya. Dan itu
adalah...menjadi pendengar yang baik. Tiba-tiba saya mendengar nurani saya
tergelak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar