Minggu, 03 November 2013

Peringatan Tahun Baru Islam

Peringatan Tahun Baru Islam
Mustatho  ;  Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS)
Kutai Timur, Alumnus UIN Sunan Kalijaga dan Sekolah Paramadina Jakarta
SUARA KARYA, 01 November 2013

Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati tahun baru Islam setiap bulan Muharram. Tahun ini, 1 Muharam 1435 Hijriah jatuh pada 5 November 2013 Masehi. Para ulama sepakat untuk menghindari hingar-bingar dan lebih menekankan nilai muhasabah (instropeksi) dan i'tibar (mengambil pelajaran) pada sejarah dan hal-hal yang telah terjadi selama setahun sebelumnya. Karena itu, kaum muslimin di Indonesia lebih banyak memperingatinya dengan menggelar pengajian, do'a bersama sampai dengan diskusi keagamaan di tingkat perguruan tinggi.

Namun, peringatan tahun baru Islam itu di sana-sini menyisakan tanya dan membutuhkan pelurusan makna. Pertama, adanya persepsi masyarakat umum bahwa diambilnya muharram sebagai tahun baru Islam adalah karena pada bulan itu terjadi momen hijrah sebagai pembuka gerbang dakwah Islam. Kedua, memperingati 1 Muharram sebagai tahun baru hijrah adalah perbuatan bid'ah yang dilarang oleh agama Islam.

Muharram, sebagai bulan pertama Tahun Islam, adalah bulan pertama di antara duabelas bulan dalam kalender hijriah. Kalender Hijriah sendiri adalah kalender Islam yang menggunakan perhitungan waktu berdasar peredaran bulan mengitari matahari, yang dalam sebulan antara 29 sampai 30 hari. Tampaknya ada salah persepsi di masyarakat terkait 1 Muharram sebagai awal bulan Hijriah dengan pemaknaan bahwa sekaligus di bulan Muharramlah hijrah Nabi Muhammad ini terjadi. Persepsi ini timbul berdasar pemahaman bahwa kalender hijriah ditetapkan semenjak Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 M.

Sebagaimana dicatat oleh Al-Sakhawi dalam kitabnya, al-I'lan bi al-Taabikh li Man Dzamm al-Taarikh, sebelum ditetapkannya Muharram sebagai awal bulan dalam tahun Hijriah terdapat empat opsi di kalangan sahabat tentang dasar penentuan kalender Islam. Keempat opsi tersebut adalah, (1) Tahun kelahiran Rasulullah, (2) tahun pengangkatan beliau sebagai rasul, (3) tahun beliau berhijrah, dan (4) tahun kemangkatan beliau.

Melalui Khalifah Umar bin Khattab, pada akhirnya para sahabat sepakat menjadikan hijrah nabi sebagai momentum kesadaran pembentukan kalender Islam. Setelah dipilih momentum hijrah sebagai dasar, di kalangan para sahabat ini timbul silang pendapat tentang pemilihan permulaan bulan, ada yang mengusulkan sekaligus bulan rabiul awal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah SAW ke Medinah) sebagai bulan pertama dalam Islam, ada pula yang mengusulkan dimulai pada bulan Muharram. Karena berbagai pertimbangan akhirnya khalifah Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah dimulai dari bulan Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Bulan pertama dalam kalender Islam ini pada akhirnya bukan bertepatan dengan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW yang terjadi pada bulan Rabiul Awal.

Pemilihan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender hijriah didasarkan atas banyak pertimbangan, diantara pertimbangannya adalah, bulan Muharram sudah dikenal luas di masyarakat Arab sebelum Islam sebagai bulan suci yang di dalamnya diharamkan peperangan dan perbuatan dosa lainnya. 
Sebagaimana tercatat dalam al-Qur'an, "Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." (QS At Taubah:36). Para ulama menafsirkan empat bulan haram tersebut adalah Rajab, dzulqa'dah, dzulhijjah dan Muharram.

Peringatan tahun baru Islam yang oleh sebagian umat Islam diperingati dengan khidmat dan menitikberatkan pada nilai muhasabah ini, oleh kalangan tertentu diharamkan. Petimbangan haram mereka berlandas dua alasan. Pertama, unsur tasyabuh yang ada di dalamnya. Kedua, karena unsur bid'ah. Mereka berasumsi bahwa tasyabuh (penyerupaan) dilarang dalam Islam dengan berdasar hadis Nabi, "barang siapa meniru tingkah laku (tasyabuh) suatu kaum, maka dia tergolong dari mereka".

Sementara asumsi bid'ahnya adalah karena peringatan tahun baru Islam tidak pernah terjadi pada zaman nabi dan para sahabat. Lebih jauh pendapat ini dikutakan dengan alasan bahwa, "Islam hanya mengenal dua perayaan, yakni hari raya idul fitri dan hari raya idul adha".

Menyikapi perbedaan ini, langkah yang tepat menurut penulis adalah umat Islam dapat memilih jalan tengah, yakni jalan persatuan umat. Artinya bahwa tuduhan bid'ah dan menganggap tasyabuh terhadap perbuatan orang lain yang seagama justru akan memperuncing perbedaan yang akan berakibat kepada kerusakan dan perpecahan. Semestinya hal ini dihindari sebagaimana kaidah hukum Islam "menghindari kerusakan lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan".

Kedua, menghargai seraya khusnudzon (berbaik sangka) kepada mereka yang memperingatinya adalah gambaran kedewasaan diri dan kesempurnaan agama seseorang. Sebagaimana tidaklah mungkin umat Islam yang memperingati tahun baru Islam ini dengan niat dan tujuan tasyabuh (ikut-ikutan) kepada umat non muslim, terlebih lagi subtansi peringatan tahun baru Islam berbeda dengan peringatan-peringatan yang dimiliki umat di luar Islam. Kaidah fiqih untuk hal ini adalah al-umuru bimaqasidiha (persoalan itu berpulang kepada maksud dan tujuannya).

Terakhir, bid'ah dalam peringatan tahun baru Islam bukanlah bid'ah yang harus digolongkan langsung sebagai bid'ah dholalah (sesuatu yang sesat), karena bid'ah dholalah adalah segala sesuatu yang telah ditentukan kesesataannya oleh syariat Islam, bukan oleh orang perorang ataupun kelompok tertentu dalam Islam. Yang lebih penting lagi adalah Islam sejatinya menganjurkan untuk senantiasa muhasabah dan menjadikan semua kejadian (sejarah) sebagai ibrah untuk hari depan yang lebih bertakwa lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar