|
Umat
Islam di berbagai belahan dunia memperingati tahun baru Islam setiap bulan
Muharram. Tahun ini, 1 Muharam 1435 Hijriah jatuh pada 5 November 2013 Masehi.
Para ulama sepakat untuk menghindari hingar-bingar dan lebih menekankan nilai
muhasabah (instropeksi) dan i'tibar (mengambil pelajaran) pada sejarah dan
hal-hal yang telah terjadi selama setahun sebelumnya. Karena itu, kaum muslimin
di Indonesia lebih banyak memperingatinya dengan menggelar pengajian, do'a
bersama sampai dengan diskusi keagamaan di tingkat perguruan tinggi.
Namun,
peringatan tahun baru Islam itu di sana-sini menyisakan tanya dan membutuhkan
pelurusan makna. Pertama, adanya persepsi masyarakat umum bahwa diambilnya
muharram sebagai tahun baru Islam adalah karena pada bulan itu terjadi momen
hijrah sebagai pembuka gerbang dakwah Islam. Kedua, memperingati 1 Muharram
sebagai tahun baru hijrah adalah perbuatan bid'ah yang dilarang oleh agama
Islam.
Muharram,
sebagai bulan pertama Tahun Islam, adalah bulan pertama di antara duabelas
bulan dalam kalender hijriah. Kalender Hijriah sendiri adalah kalender Islam
yang menggunakan perhitungan waktu berdasar peredaran bulan mengitari matahari,
yang dalam sebulan antara 29 sampai 30 hari. Tampaknya ada salah persepsi di
masyarakat terkait 1 Muharram sebagai awal bulan Hijriah dengan pemaknaan bahwa
sekaligus di bulan Muharramlah hijrah Nabi Muhammad ini terjadi. Persepsi ini
timbul berdasar pemahaman bahwa kalender hijriah ditetapkan semenjak Hijrahnya
Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah yang terjadi pada tahun 622 M.
Sebagaimana
dicatat oleh Al-Sakhawi dalam kitabnya, al-I'lan
bi al-Taabikh li Man Dzamm al-Taarikh, sebelum ditetapkannya Muharram
sebagai awal bulan dalam tahun Hijriah terdapat empat opsi di kalangan sahabat
tentang dasar penentuan kalender Islam. Keempat opsi tersebut adalah, (1) Tahun
kelahiran Rasulullah, (2) tahun pengangkatan beliau sebagai rasul, (3) tahun
beliau berhijrah, dan (4) tahun kemangkatan beliau.
Melalui Khalifah Umar bin Khattab, pada akhirnya
para sahabat sepakat menjadikan hijrah nabi sebagai momentum kesadaran
pembentukan kalender Islam. Setelah dipilih momentum hijrah sebagai dasar, di
kalangan para sahabat ini timbul silang pendapat tentang pemilihan permulaan
bulan, ada yang mengusulkan sekaligus bulan rabiul awal (sebagai bulan
hijrahnya Rasulullah SAW ke Medinah) sebagai bulan pertama dalam Islam, ada
pula yang mengusulkan dimulai pada bulan Muharram. Karena berbagai pertimbangan
akhirnya khalifah Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah dimulai dari
bulan Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Bulan pertama dalam
kalender Islam ini pada akhirnya bukan bertepatan dengan peristiwa hijrahnya
Nabi Muhammad SAW yang terjadi pada bulan Rabiul Awal.
Pemilihan Muharram sebagai bulan pertama dalam
kalender hijriah didasarkan atas banyak pertimbangan, diantara pertimbangannya
adalah, bulan Muharram sudah dikenal luas di masyarakat Arab sebelum Islam
sebagai bulan suci yang di dalamnya diharamkan peperangan dan perbuatan dosa
lainnya.
Sebagaimana tercatat dalam al-Qur'an, "Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian
menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu." (QS At Taubah:36). Para ulama menafsirkan
empat bulan haram tersebut adalah Rajab, dzulqa'dah, dzulhijjah dan Muharram.
Peringatan tahun baru Islam yang oleh sebagian umat
Islam diperingati dengan khidmat dan menitikberatkan pada nilai muhasabah ini,
oleh kalangan tertentu diharamkan. Petimbangan haram mereka berlandas dua
alasan. Pertama, unsur tasyabuh yang ada di dalamnya. Kedua, karena unsur
bid'ah. Mereka berasumsi bahwa tasyabuh (penyerupaan) dilarang dalam Islam
dengan berdasar hadis Nabi, "barang
siapa meniru tingkah laku (tasyabuh) suatu kaum, maka dia tergolong dari
mereka".
Sementara asumsi bid'ahnya adalah karena peringatan
tahun baru Islam tidak pernah terjadi pada zaman nabi dan para sahabat. Lebih
jauh pendapat ini dikutakan dengan alasan bahwa, "Islam hanya mengenal dua perayaan, yakni hari raya idul fitri dan
hari raya idul adha".
Menyikapi perbedaan ini, langkah yang tepat menurut
penulis adalah umat Islam dapat memilih jalan tengah, yakni jalan persatuan
umat. Artinya bahwa tuduhan bid'ah dan menganggap tasyabuh terhadap perbuatan
orang lain yang seagama justru akan memperuncing perbedaan yang akan berakibat
kepada kerusakan dan perpecahan. Semestinya hal ini dihindari sebagaimana
kaidah hukum Islam "menghindari kerusakan lebih diutamakan dari pada
meraih kemaslahatan".
Kedua,
menghargai seraya khusnudzon (berbaik sangka) kepada mereka yang
memperingatinya adalah gambaran kedewasaan diri dan kesempurnaan agama
seseorang. Sebagaimana tidaklah mungkin umat Islam yang memperingati tahun baru
Islam ini dengan niat dan tujuan tasyabuh
(ikut-ikutan) kepada umat non muslim, terlebih lagi subtansi peringatan tahun
baru Islam berbeda dengan peringatan-peringatan yang dimiliki umat di luar
Islam. Kaidah fiqih untuk hal ini adalah al-umuru
bimaqasidiha (persoalan itu berpulang kepada maksud dan tujuannya).
Terakhir,
bid'ah dalam peringatan tahun baru Islam bukanlah bid'ah yang harus digolongkan
langsung sebagai bid'ah dholalah
(sesuatu yang sesat), karena bid'ah dholalah adalah segala sesuatu yang telah
ditentukan kesesataannya oleh syariat Islam, bukan oleh orang perorang ataupun
kelompok tertentu dalam Islam. Yang lebih penting lagi adalah Islam sejatinya
menganjurkan untuk senantiasa muhasabah dan menjadikan semua kejadian (sejarah)
sebagai ibrah untuk hari depan yang
lebih bertakwa lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar