|
Sebulan
ini, publik Indonesia disajikan berbagai ukuran keberhasilan atau kemandekan
pembangunan ekonomi nasional. World
Economic Forum melaporkan bahwa indeks persaingan Indonesia pada 2013-2014
meningkat dari peringkat 50 ke 38. Membaiknya peringkat itu, tentu membanggakan
bagi mereka yang berpaham persaingan-isme. Namun, tidak membanggakan jika
peringkat itu dibandingkan dengan peringkat Brunei (26), Thailand (37), dan
Malaysia (24). Juga merupakan prestasi yang biasa saja kalau melihat indeks
kinerja logistik.
Untuk indeks itu, Indonesia di peringkat ke-59,
membaik dari posisi 75, Thailand dari posisi 35 ke 38, dan Malaysia tetap di
posisi 29. Bisa jadi angka-angka itu yang membuat anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation,
memuji Indonesia. Tetapi, belum juga angka-angka keberhasilan itu memberi makna
mendalam, muncul penilaian Bank Dunia dalam Doing
Business.
Menurut
ukuran Bank Dunia, dalam soal kemudahan berbisnis, peringkat Indonesia di
posisi ke-120, Malaysia 6, Thailand 18, Brunei Darussalam 59, Vietnam 99, dan
Filipina 108. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja (137). Lalu ditambah lagi
dengan indeks kesejahteraan menurut Legatum
Institute yang memosisikan Indonesia di peringkat ke-69. Sementara
Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina masing-masing di posisi 43, 50, 54,
dan 61. Yang menarik, Bank Dunia menilai bahwa kini jumlah kelas menengah
Indonesia mencapai sekitar 114 juta orang dari total penduduk sekitar 240 juta.
Pada
saat yang sama utang luar negeri Indonesia mencapai 2.274 miliar dolar AS, yang
tahun 2014 jumlahnya diperkirakan bertambah 345 miliar dolar AS. Beriringan
dengan hal itu, Gini Ratio, sebagai
indikator ketimpangan juga terus meningkat menjadi 0,43. Beberapa ekonom bahkan
memperkirakan rasio ketimpangan itu sudah mendekati 0,5 yang berarti bangsa
Indonesia sudah berada di ambang pintu kerusuhan sosial.
Prediksi
ini layak dipertimbangkan karena urbanisasi terus meningkat, penduduk perkotaan
yang tinggal di daerah kumuh sudah mencapai 27 persen, lahan pertanian terus
menyusut, jumlah petani gurem dalam 10 tahun terakhir bertambah 5 juta orang di
tengah penguasaan lahan pertanian oleh korporasi terus bertambah. Yang juga
mengkhawatirkan, Pulau Jawa tetap menguasai kue pertumbuhan ekonomi mencapai
57,8 persen dan dikuasai DKI sebesar 16,5 persen.
Alhasil,
ukuran-ukuran keberhasilan Indonesia dihadang oleh fakta ketimpangan
pendapatan, struktural, sektoral, regional, intelektual, dan sosial lainnya.
Dengan
demikian, takaran keberhasilan ala ukuran Barat ternyata berbeda dengan takaran
yang ada. Lebih tidak menyenangkan lagi jika menggunakan ukuran konstitusi.
Pasal 23 UUD 1945 (tentang APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat),
Pasal 27 ayat 2 (penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan), Pasal
28 (perumahan dan kesehatan), Pasal 31 (pendidikan, guna mencerdaskan), Pasal
33 ayat 1, 2, dan 3 (perekonomian berbasis kepentingan nasional dan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat), dan Pasal 34 (fakir miskin dan anak
terlantar) sebenarnya wajib digunakan sebagai ukuran apakah pembangunan ekonomi
sudah sesuai dengan amanat konstitusi.
Saya
jadi teringat bagaimana pemerintah menolak habis-habisan memasukkan sasaran
penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada indikator perekonomian
makro sebagai sasaran APBN. Penolakan itu menunjukkan pemerintah tidak siap
disebut gagal, atau belum mau melaksanakan amanat konstitusi. Tentu saja, lezat
menggunakan ukuran keberhasilan menurut Barat, namun akan lebih nikmat jika
menggunakan ukuran konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar