Minggu, 03 November 2013

Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Sumaryoto Padmodiningrat  ;  Anggota DPR, Ketua Dewan Pembina/Penasihat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI)
SUARA MERDEKA, 02 November 2013


“Ada secercah cahaya di tengah keprihatinan, yakni kemungkinan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional”

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
Tanah Air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
 
ITULAH teks Sumpah Pemuda yang dibacakan dalam Kongres Pemuda I yang dipimpin Mr Soegondo Djojopoespito di Waltervreden, sekarang Jakarta. Tepatnya di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat pada 28 Oktober 1928, di gedung yang kini bernama Museum Sumpah Pemuda, dekat tempat tinggal penulis. Hingga 85 tahun kemudian, Sumpah Pemuda masih kita peringati, terutama oleh pemuda yang penulis posisikan sebagai pilar kelima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setelah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun sesering memperingati Sumpah Pemuda, sesering itu pula kita mendapati kenyataan bahwa semangat dan elan kejuangan para pemuda pada 1928 tidak diwarisi oleh para pemuda saat ini. Fenomenanya, ba­nyak pemuda terlibat penyalahgunaan narkoba dan korupsi.

Data di Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut angka prevalensi 2,2% dari jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 4 juta orang, menyalahgunakan atau mengosumsi narkoba. Dari jumlah itu, 22% atau sekitar 880 ribu berstatus pelajar/mahasiswa atau tergolong pemuda. Pemuda yang terlibat korupsi pun tak sedikit. Sebut misalnya Gayus Tambunan, Angelina Sondakh, M Nazaruddin, Andi A Mallarangeng, dan Anas Urbaningrum.

Soal bahasa juga memprihatinkan. Saat ini berkembang pesat bahasa alay setelah sebelumnya ada bahasa prokem dan bahasa gaul. Tentu hal itu mengancam keberadaan Bahasa Indonesia. Namun di tengah ke­prihatinan tersebut ada secercah cahaya, yakni kemungkinan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, sejajar dengan Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, Bahasa Jerman dan sebagainya.

Ketika membuka Kongres X Bahasa Indonesia di Jakarta, pada Senin, 28 Oktober 2013, Mendikbud M Nuh mengatakan, Bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa internasional. Bahasa dengan jumlah penutur terbesar keempat di dunia ini diprediksi bertambah jumlah penuturnya.

Menurut Nuh, studi Global McKinsey Institute memprediksi Indonesia bakal masuk dalam jajaran 7 besar ekonomi dunia pada 2030. Karena itu, perbaikan ekonomi ini harus didukung peran sosial dan budaya, terutama bahasa. Bahasa Indonesia wajib membaur dengan bahasa asing lainnya.

Nuh menantang kesanggupan peserta kongres untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Tantangan itu disambut gemuruh teriakan peserta yang menyatakan sanggup. Bisakah Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional? Melihat jumlah penuturnya yang terbesar keempat di antara penutur bahasa internasional lainnya di dunia, penulis yakin bisa.

Sikap Mental

Apalagi sejak zaman Sriwijaya, Bahasa Indonesia sudah menjadi lingua franca di antara saudagar atau pedagang, yang berasal dari berbagai negara. Karena itu, Sumpah Pemuda yang baru saja kita peringati hendaknya dijadikan momentum untuk lebih menginternasionalisasikan Bahasa Indonesia. Bahasa nasional kita harus go international.

Namun, sebelum benar-benar menjadi bahasa internasional perlu memperbaiki sikap mental bangsa ini, terutama dalam kaitan dengan berbahasa Indonesia. Bagaimana bisa menjadi bahasa internasional bila kita tidak bangga ketika menggunakannya? Contohnya kemerebakan penggunaan bahasa alay, bahasa prokem, dan bahasa gaul itu. Bahkan banyak di antara kita lebih bangga menggunakan bahasa asing, atau minimal mencampuradukkannya dengan Bahasa Indonesia bila bertutur.

Bandingkan dengan bangsa Prancis, Jerman, Jepang, atau China yang meskipun menguasai Bahasa Inggris, mereka lebih bangga bertutur menggunakan bahasa ibu. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa. Dalam konteks ini kita patut mencontoh Pak Harto. Semasa menjadi presiden, baik ketika di dalam maupun luar negeri, ia selalu berpidato dalm Bahasa Indonesia.

Di sisi lain, kita tidak boleh mengesampingkan bahasa daerah yang telah membentuk karakter sebagai bangsa, terutama berkait semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Data dari Summer Linguistic, Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Adapun Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Badan Bahasa Kemdikbud Yeyen Maryani mengatakan, jumlah bahasa daerah di Indonesia lebih banyak dari data yang disajikan Summer Linguistic. Contohnya Papua yang memiliki 400 bahasa daerah.

Dari jumlah itu, beberapa sudah punah, seperti di NTT, Maluku, dan Papua. Punah dimaksud adalah jumlah penutur bahasa mengalami penurunan atau sudah tak ada lagi. Penyebab kepunahan itu di antaranya bencana alam, perang, dan perkawinan campuran.

Kemdikbud pun menggalakkan upaya pelestarian bahasa daerah, di antaranya melalui pendataan jumlah bahasa daerah, pemetaan bahasa, dan membuat peta bahasa. Termasuk perlindungan dengan menginventarisasi kosa kata bahasa daerah, serta memasukkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan melalui pembelajaran muatan lokal. Upaya-upaya tersebut tentu harus kita dukung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar