|
Memandang petani bukan saja
sebagai manusia biasa, melainkan lebih dari itu mereka adalah pahlawan pangan
yang menyediakan kebutuhan pangan bangsa ini. Ketersediaan pangan berkaitan
erat dengan lahan yang tersedia.
Sesungguhnya banyak petani yang tidak memiliki lahan
pertanian. Dewasa ini dengan berbagai beban ekonomi yang semakin kompleks,
banyak petani menjual tanah pertaniannya kepada para konglomerat dari kota-kota
besar. Selanjutnya mereka hanya menjadi buruh tani saja.
Pada kasus seperti ini, kondisi petani yang memiliki lahan
meski cuma 0,5 ha, lebih beruntung dibanding petani yang tidak memiliki lahan
sama sekali. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula kebutuhan
pangan yang harus disediakan.
Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, tahun 2015
jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai 300 juta jiwa. Saat itu
liberalisasi dalam masyarakat ekonomi ASEAN diberlakukan. Dengan peningkatan
tersebut, kebutuhan pangan, khususnya beras, akan melonjak. Ancaman ketahanan
pangan melalui konversi lahan pertanian harus disetop.
Laju alih fungsi lahan pertanian di Indonesia memang sangat
mencengangkan. Luas konversi lahan sawah yang ditujukan bagi pembangunan
nonpertanian, seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan
sarana publik lainnya, rata-rata sebesar 110.160 ha per tahun (Sutomo, 2004).
Di daerah Jawa Barat, misalnya sejak dulu dikenal sebagai
lumbung padi nasional, laju konversi sawah irigasi rata-rata 5.000-7.000 ha per
tahun. Sawah-sawah yang berubah fungsi itu terdapat di Karawang, Bandung,
Garut, dan Cianjur. Di Bekasi sekitar 8.000 ha sawah beririgasi berubah jadi
areal industri dan perumahan.
Membangun Tanpa Arah
Alih fungsi lahan yang terjadi saat ini pada dasarnya
terjadi akibat politik pembangunan yang tidak jelas arahnya dan tidak
terintegrasi, sehingga kebijakan pembangunan cenderung pragmatis. Sering kali
pembangunan di satu sektor harus mengorbankan sektor lain. Prinsipnya, apa yang
menguntungkan saat ini itulah yang dilakukan, tanpa pertimbangan jangka
panjang.
Wajar jika lahan subur dengan cepat beralih fungsi menjadi
kompleks industri, perumahan, atau hotel. Dalam perhitungan jangka pendek, bisa
jadi hal itu memang jauh lebih menguntungkan secara ekonomis daripada usaha
pertanian.
Inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia yang sejak
dulu dikenal sebagai negara agraris, kemajuan
sektor pertaniannya masih jauh
dari harapan. Sektor pertanian Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara
lain. Alih-alih mampu mengekspor berbagai produk pertanian yang ada, pasar
dalam negeri Indonesia justru dibanjiri produk-produk pertanian dari luar.
Mayoritas rakyat yang berprofesi sebagai petani tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada nasibnya. Lahan usaha petani semakin
sempit dan posisi mereka semakin terjepit.
Membangun pabrik, rumah, jalan, pasar, dan
fasilitas-fasilitas lainnya sudah pasti membutuhkan lahan. Di sinilah pentingnya
kebijakan politik pembangunan terarah, terpadu, dan konsisten. Saat ini ilmu
perencanaan pengembangan wilayah sudah mencapai kemajuan pesat.
Seluruh wilayah yang ada bisa dipetakan potensinya
masing-masing. Bisa juga dibuat prediksi jangka panjang, seiring pertambahan
penduduk, berapa kebutuhan lahan untuk perumahan, perindustrian, perkantoran,
pertanian, konservasi, dan sebagainya.
Dengan teknologi yang ada, tidak sulit membuat peta
penggunaan lahan sesuai potensi dan daya dukungnya. Selanjutnya bisa dijadikan
dasar dalam pembuatan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Dengan acuan RUTR
seharusnya alokasi penggunaan lahan dikendalikan dan dikontrol.
Masalah yang sering terjadi adalah, meskipun RUTR sudah
ditetapkan, hal itu dilanggar dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis.
Di sinilah diperlukan adanya political will untuk mengawal kebijakan politik pembangunan yang
sudah dirumuskan secara terarah dan terpadu, sehingga alokasi penggunaan lahan
dapat dikendalikan sesuai daya dukung lahan dan peruntukannya secara tepat.
Lahan Pertanian Abadi
Setiap jenis penggunaan lahan tentu membutuhkan
persyaratan-persyaratan kondisi lahan tertentu. Untuk pertanian pangan
misalnya, dibutuhkan lahan subur, iklim sesuai, tersedia sumber air, lereng
relatif datar, dan sebagainya.
Persyaratan tersebut tentu berbeda dengan jenis penggunaan
untuk industri atau perumahan. Bangunan pabrik atau rumah tidak membutuhkan
lahan subur, bahkan lahan berbatu atau berpasir bisa digunakan.
Masalah semacam ini sering diabaikan dan diremehkan. Seolah
ada anggapan pertanian bisa dikembangkan di sembarang tempat, sehingga bila ada
sebidang lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk nonpertanian, dianggap
dengan mudah dapat dicarikan lahan penggantinya. Tentu anggapan ini bisa
berakibat fatal.
Saat ini lahan pertanian tanaman pangan yang cocok dan
tersedia lebih sedikit dibandingkan untuk nonpertanian. Kalau ada lahan yang
cocok untuk pertanian, hampir dipastikan cocok pula untuk perumahan dan
lainnya.
Namun, belum tentu sebaliknya. Konversi lahan pertanian
untuk keperluan nonpertanian dapat dikatakan bersifat irreversible (tidak dapat
balik).
Artinya, jika ada lahan yang awalnya digunakan untuk
pertanian lalu dialihfungsikan untuk komplek industri atau perumahan, lahan
tersebut tidak dapat dialihfungsikan kembali untuk pertanian seperti pada
awalnya. Jika hal itu bisa dilakukan, diperlukan perlakuan dan penanganan yang
sulit dan memakan waktu lama.
Di sinilah perlunya upaya-upaya serius menjaga lahan yang
cocok untuk pengembangan pertanian, agar tetap berfungsi sebagai lahan
pertanian. Jangan sampai lahan-lahan yang cocok untuk pertanian terus digusur
untuk penggunaan nonpertanian.
Terkait hal ini, kebijakan penetapan lahan pertanian abadi,
sesuai daya dukung wilayah serta diversifikasi pangan sangatlah penting untuk
diwujudkan. Di samping itu negara perlu menjamin kesejahteraan nasib buruh
petani secara nyata, sehingga ketahanan pangan yang diusung pemerintah tidak
sekadar jargon belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar