Jangan
Sampai RS Kewalahan Lagi Tjandra Yoga Aditama ; Guru Besar FKUI, Direktur Pascasarjana
Universitas YARSI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, dan Mantan Dirjen P2P
& Ka Balitbangkes |
MEDIA INDONESIA,
14 September 2021
DALAM dua-tiga
bulan yang lalu, kita mengalami kenaikan kasus covid-19 yang amat tajam.
Ketika itu rumah sakit (RS) amat kewalahan. Bukan hanya tempat tidur
perawatan yang tidak tersedia. Instalasi gawat darurat (IGD) pun amat penuh,
dan pasien harus daftar serta antre untuk hanya dapat masuk IGD. Tak jarang
pasien yang akhirnya tidak dapat dirawat di IGD dan/atau RS sama sekali, dan
sebagian dengan sedih bahkan sampai meninggal tanpa mendapat perawatan
kesehatan yang memadai. Kita bersyukur
bahwa sekarang angka kasus sudah amat menurun. Meski demikian, kita harus
tetap waspada. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa mungkin saja keadaan
yang dianggap sudah landai kemudian bergejolak kembali, dan kasus meningkat
tajam kembali. Untuk kewaspadaan dan antisipasi hal itu, maka baik kita
belajar dari apa yang terjadi di berbagai RS ketika kasus sedang amat
tinggi-tingginya. Kita harus mengambil pelajaran dari keadaan itu dan
mempersiapkan diri lebih baik. Bahan pelajaran Sedikitnya ada
lima hal yang dapat dijadikan bahan pelajaran atau lesson learned di rumah sakit. Pertama, kenaikan kasus bulan
Juni-Juli yang lalu sebenarnya sudah dapat dilihat tren kecenderungannya.
Jumlah kasus baru covid-19 pada 15 Mei 2021 ialah 2.385 orang, lalu naik
sekitar dua kali lipat menjadi 5. 662 pada 31 Mei. Pertengahan Juni sudah
lebih dari 10.000, dan lalu naik lagi jadi 21.807 pada 30 Juni, dan baru pada
3 Juli 2021 dinyatakan sebagai PPKM darurat, dengan kasus baru sudah naik
lebih 10 kali lipat menjadi 27.913. Rumah sakit sudah telanjur kewalahan. Jadi,
pelajaran pertama yang dapat kita ambil ialah, kalau memang ada kenaikan
kasus lagi maka jangan tunggu sampai 10 kali lipat melonjak. Mungkin dua atau
tiga kali, atau maksimal peningkatan lima kali lipat, maka pembatasan sosial
harus sudah amat diketatkan lagi. Dengan begitu, kasus tidak meningkat tidak
terkendali. Hal kedua,
pada waktu RS sudah penuh, maka ada kebijakan menambah tempat tidur untuk
menekan angka perawatan (bed occupancy
rate/ BOD) covid-19. Memang, dengan menambah tempat tidur maka BOR akan
turun, tetapi teman-teman di RS akan amat kewalahan kalau penambahan tempat
tidur ini tidak diimbangi dengan penambahan petugas serta alat kesehatan yang
diperlukan. Jadi,
pelajaran kedua yang dapat diambil ialah bahwa sejak sekarang disiapkan dari
mana petugas kesehatan yang siap diterjunkan kalau-kalau nanti beberapa RS
harus ditingkatkan jumlah tempat tidurnya. Juga, harus sejak sekarang disusun
sistem agar kalau ada kenaikan kasus maka ventilator dan oksigen tersedia.
Demikian juga alat kesehatan lain dan obat-obat yang diperlukan. Hal ketiga
yang pernah amat jadi masalah dalam beberapa bulan yang lalu ini ialah sistem
rujukan dan informasinya yang tidak tertata optimal. Pasien harus jalan
sendiri ke berbagai RS untuk mencoba mendapat perawatan. Sementara itu, kalau
ada pasien yang harus dirujuk dari satu RS ke RS lainnya maka harus menunggu
lama dan kadang-kadang tidak ada kepastiannya. Untuk ini,
pelajaran ketiga yang dapat diambil ialah memperbaiki sistem rujukan, baik
yang Sisrute (Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi) atau sistem lainnya.
Perlu dilakukan pembenahan sistem elektronik dan digitalnya, juga perlu lebih
banyak petugas khusus yang menangani hal sensitif dan penting ini. Yang juga
cukup banyak dikeluhkan rumah sakit ialah keterlambatan pembayaran klaim,
juga rumitnya sistem untuk mendapatkannya. Di sisi lain, ada juga pendapat
bahwa klaim siap dibayarkan, tapi kelengkapan data tidaklah dimasukkan dengan
baik. Karena itu, pelajaran keempat yang dapat dipetik ialah menyelesaikan
kemelut klaim pembayaran ini dengan tiga cara. Pertama, perlu dibuat prosedur
yang lebih mudah bagi RS yang memang sedang sangat sibuk menyelamatkan nyawa
manusia. Kedua, harus
dibangun pola komunikasi intensif antara yang harus membayar dan pihak
manajemen RS, juga para tenaga kesehatan. Hal ketiga, memang mesti ada sistem
penganggaran, khusus di saat krisis, harus cukup luwes untuk dapat membayar
kebutuhan, tapi juga cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Hal kelima
ialah tentang perlindungan tenaga kesehatan. Sudah amat banyak korban yang
jatuh, baik dokter, perawat, maupun tenaga lain di rumah sakit. Tegasnya,
pelajaran kelima yang harus dipetik ialah bagaimana tenaga kesehatan dapat
menjalankan tugasnya di RS dengan aman. Selain menjadi sakit atau meninggal,
maka tenaga kesehatan juga dibebani hal lain. Ada yang diusir dari rumah
indekosnya, ada yang dikucilkan tetangga, dipukul keluarga pasien, dll. Untuk hal ini,
ada tiga hal yang harus dipastikan di masa depan. Pertama, beban kerja yang
tidak terlalu berlebihan. Kedua, alat pelindung diri yang memadai. Adapun
yang ketiga, perlindungan hukum bagi petugas kesehatan. Selain kelima
hal di atas, maka yang paling penting tentu menangani masalah dari hulunya,
yaitu pembatasan sosial baik berupa 3M, 5M maupun PPKM, juga penerapan 3T dan
pemaksimalan vaksinasi. Harus dipastikan pula agar pelayanan kesehatan primer
berjalan dengan baik, juga penanganan penyakit non-covid-19 harus tetap dapat
terlayani dengan baik. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/432456/jangan-sampai-rs-kewalahan-lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar