Buku-Buku
yang Segera Hilang dari Sejarah Iqbal Aji Daryono ; Penulis, Tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 7 September 2021
"Bayangkan, Mas.
Anak itu nongkrong di komunitas yang isinya orang-orang buku, mulai penerbit
sampai reseller, tapi bahkan dia nggak tahu siapa itu Umar Kayam!" Sambil mengucapkan
kalimatnya, wajah kawan saya tersenyum kecut. Ada nada semacam "Kok bisa
ya?" dalam kata-katanya. Saya menyambutnya dengan melongo, ikut-ikutan
heran. Bukan cuma heran, bahkan terbetik rasa kecil yang aneh. Mirip
tersinggung, meski tidak gitu-gitu amat. *** Umar Kayam, bersama
Kuntowijoyo dan Budi Darma, memang merupakan sosok-sosok yang mengantarkan
saya untuk mengenal buku-buku bagus, pada zaman ketika saya masih unyu-unyu-nya.
Begitu terkesannya saya kepada Para Priyayi, novel legendaris
Umar Kayam, sama terkesannya dengan Dilarang Mencintai Bunga-bunga-nya
Kuntowijoyo dan Olenka-nya Budi Darma. Para Priyayi itu novel yang
sangat menggambarkan alam pikiran kaum priayi alit Jawa yang
"asli", serta konsep-konsep kamukten yang menjadi
spirit gerak kehidupan mereka. Suka sekali saya mendengar nama tokoh Lantip
di novel itu, sampai-sampai nama itu saya sematkan pada anak saya sendiri.
Tanpa membaca novel itu, bahkan mungkin saya tak akan pernah punya imajinasi
tentang bagaimana caranya meracik adegan-adegan di pos ronda, cerita yang
sering muncul dalam tulisan-tulisan saya. Maka, kok bisa ada
orang kenal buku tapi tidak kenal Umar Kayam? Ini sungguh terlalu. "Dia masuk kuliah
angkatan 2016 sih, Mas," sambung Eka, kawan saya itu. "Dan jangan
bayangkan anak-anak muda seangkatan mereka kenal Umar Kayam. Kuntowijoyo juga
enggak. Bahkan banyak juga lho yang belum pernah baca Pram." Waduh. Begitu muncul
nama Pram, langsung saya teringat beberapa kawan yang bertanya di mana
sekarang ini bisa membeli buku-buku Pram. Awalnya saya kira masih ada
toko-toko daring yang menjualnya. Tapi begitu saya periksa langsung ke
marketplace, mayoritas yang dipajang adalah versi bajakan! Buku laris memang
dibajak di mana-mana. Itu kita semua sudah tahu sama tahu. Tapi selain soal
bajak-membajak, ada persoalan yang lebih mendasar, yaitu: di mana mau beli
buku Pram yang asli alias ori? Untuk Tetralogi Pulau Buru sepertinya masih
ada. Tapi Arok Dedes, Arus Balik, juga yang
lain-lain? Kalau toh ada yang ori di pedagang online, dapat
dipastikan itu buku bekas saja, lagipula dijual dengan harga selangit. Nah, masalah yang sama
terjadi pula pada buku-buku Umar Kayam. Eka, kawan saya itu, adalah pemilik
usaha penerbitan yang berhasil mendapatkan hak untuk menerbitkan salah satu
karya Pak Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Tetapi Para
Priyayi bernasib sama dengan Arus Balik dan Arok
Dedes, yaitu orang tidak tahu ke mana harus beli buku barunya dengan
harga wajar. Akibatnya, tidak ada
anak muda yang bisa mengakses buku-buku itu, selain dengan meminjam ke
perpustakaan atau ke senior-senior mereka. Repotnya, mana ada senior yang mau
meminjamkan buku-buku langka mereka? Itu pun kalau punya senior, sementara
kebanyakan anak muda ogah punya senior. Maka, sebenarnya yang
paling memungkinkan adalah penerbitan kembali buku-buku penting tersebut.
Agar bisa dijual dengan harga lumrah, agar anak-anak muda Indonesia mengenal
para sastrawan hebat mereka. Nah, sampai di sini
mulai terkuaklah problem yang sesungguhnya. Hak penerbitan atas buku-buku
hebat itu tentu berada di tangan ahli waris penulis-penulisnya. Sementara,
para ahli waris belum bersedia melepas hak penerbitan itu. Kenapa?
Dengar-dengar, ada pengalaman buruk bersama penerbit-penerbit sebelumnya.
Saya juga tidak tahu seburuk apa pengalaman itu. Mungkin terkait hak atas
royalti, atau entah apa. Mentoklah semuanya.
Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Ujung-ujungnya kembali lagi berupa
pertanyaan: lalu bagaimana caranya anak-anak muda bisa membaca karya-karya
hebat itu tanpa harus membeli versi bajakannya? Sampai di sini, saya
langsung teringat kepada satu tempat mengadu selain Allah, yaitu pemerintah.
Apakah pemerintah cukup memberikan perhatian kepada karya-karya penting itu,
untuk orientasi persebaran akses dan memaksimalkan peluang bagi rakyat
Indonesia untuk membaca semuanya? Saya pun membuka ikon
Ipusnas di HP saya. Di aplikasi milik Perpustakaan Nasional itu terpajang
ribuan buku yang bisa dibaca gratis. Saya ketik kata kunci
"Pramoedya" pada kolom pencarian koleksi. Segeralah nongol sederet
judul, dan di item paling atas tampil dengan gagahnya nama Pramoedya Wisnu,
dengan judul buku 99,9% Pasti Lolos CPNS. Aduh. Saya tarik
pandangan saya pelan-pelan ke bawah, lalu ketemu bahwa karya Pram yang ada di
situ hanyalah Seri Kronik Revolusi Indonesia. Tidak ada Bumi
Manusia, tidak ada Arus Balik, tidak ada Arok
Dedes, tidak ada Gadis Pantai, tidak ada Cerita dari
Blora, dan sebagainya. Saya lanjutkan dengan
mengetik kata kunci "Para Priyayi". Ajaib, ada empat item yang
muncul, tidak ada satu pun milik Umar Kayam, sedangkan nama paling atas malah
Para Pejuang Cinta sebagai penulis buku berjudul Perjuangan PDKT.
Ya Tuhan.... Lalu, kembali dan
kembali, dari mana anak-anak muda bisa membaca Pramoedya dan Umar Kayam? Atau
jangan-jangan buku-buku itu sudah ada di sekolah-sekolah, dan karena itu
tidak perlu harus repot-repot diadakan sebagai koleksi penting pada aplikasi
milik Perpusnas? Saya punya kenalan dua
anak sangat muda yang belum lama lulus SMA. Yang pertama namanya Abita, yang
kedua Deas. Saya kontak keduanya untuk bertanya tentang pelajaran yang mereka
dapat waktu kemarin mereka masih SMA. Dari mereka saya mendapat cerita bahwa
dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia tak pernah disebut-sebut nama
Pramoedya. Yang ada adalah Andrea Hirata dan Tere Liye. Wah. Segera terbayang di
kepala saya akan nasib tumpukan magnum opus yang sangat mewarnai sejarah
kesusastraan bahkan sejarah "peradaban" Indonesia, namun tak ada
masa depan milik karya-karya itu. Pram dan Umar Kayam saya maksudkan sebagai
contoh saja. Kita tahu, ada banyak karya hebat lainnya. Namun, semua karya
itu pun sama belaka nasibnya. Di sekolah tidak diajarkan, di perpustakaan
publik tidak disediakan (kalaulah disediakan secara fisik tentu jumlahnya
sangat terbatas), sementara itu kalau mau memilikinya sendiri ternyata tidak
ada juga di pasaran. Jika problemnya adalah
hak penerbitan yang masih ditahan oleh ahli waris, suatu hari kelak memang
kita akan bisa mengaksesnya sebagai public domain. Kapan itu? Ya, 70 tahun
setelah penulisnya meninggal. Umar Kayam meninggal pada 2002, Pram meninggal
pada 2006. Artinya, pembaca Indonesia masih harus menunggu tahun 2072 atau
2076 dulu, atau kira-kira sebelas Pilpres lagi dan sebelas pertempuran keras
para netizen lagi. Atau, jika
memungkinkan, bisakah pemerintah mengambil alih hak atas buku-buku penting
itu, lalu menjadikannya sebagai semacam cagar budaya, yang bisa dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran batin rakyat Indonesia? Kita cuma bisa
bertanya-tanya. *** "Om, eh,
Mas, sampean baca Idrus enggak? Baca Marah Rusli dan Abdoel
Moeis enggak?" "Mmmm... enggak
tuh, Dik," jawab saya. "Nah, kira-kira
seperti itu juga situasinya, Mas. Pak Pram pasti ngomel melihat sampean nggak
baca Idrus. Padahal bagi Pak Pram, Idrus sangat penting." "Bagi
generasi sampean, Pak Pram itu penting. Bagi kami tidak terlalu.
Kalau kami tidak baca Pram dan Umar Kayam, sepertinya nggak apa-apa juga,
kan? Mending Boy Candra dan Fiersa Besari gitu lho hehehe." "Waaah, ya ndak bisa
gitu, Diiik! Bedaaaa!" ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5714007/buku-buku-yang-segera-hilang-dari-sejarah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar