Cegah
Kenaikan Kembali Kasus Covid-19 Tjandra Yoga Aditama ; Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI,
Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P
& Ka Balitbangkes |
KOMPAS, 8 September 2021
Kita
tentu patut bersyukur bahwa dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat atau PPKM sejak 3 Juli 2021, kasus baru Covid-19 dapat ditekan dan
jelas ada kecenderungan penurunan dari hari ke hari. Sejauh
ini, rekor kasus harian tertinggi adalah sekitar 50.000, yang terjadi pada
pertengahan Juli 2021. Angka ini kemudian turun menjadi sekitar 5.000 pada
akhir Agustus. Artinya, turun sepuluh kali lipat dalam kurun waktu 1,5 bulan.
Angka kepositifan juga sudah turun, demikian juga angka kematian, walaupun
tentu kita harapkan jumlah yang meninggal akibat Covid-19 bisa terus
diturunkan dengan tajam. Di
sisi lain, dengan mulai membaiknya situasi epidemiologi dan juga akibat
dorongan sosial ekonomi, pemerintah mulai melakukan pelonggaran aktivitas
dalam pelaksanaan PPKM. Hal-hal yang selama ini ketat, sekarang mulai
dilonggarkan, apalagi cukup banyak daerah yang turun level epidemiologinya,
dari level 4 ke level 3, dan seterusnya. Karena
kita semua sepakat bahwa penurunan kasus ini terjadi akibat dilaksanakannya
PPKM dengan ketat, tentu orang jadi bertanya, bagaimana dampak dari
pelonggaran PPKM yang sudah dilakukan secara bertahap selama ini. Kalau kasus
turun karena PPKM ketat, apa yang harus dilakukan agar kalau PPKM
dilonggarkan, jangan sampai angka kasus naik tidak terkendali lagi? Untuk
menjawab ini, kita perlu mengetahui bahwa ada tiga unsur yang memungkinkan
kenaikan kasus atau tidak. Pertama, adanya orang yang menularkan. Kedua,
tersedianya moda atau cara penularan. Dan ketiga, terjadinya penularan pada
orang yang tadinya sehat-sehat saja. Tingkatkan 3T dan perketat 3M Sehubungan
dengan tiga unsur di atas, setidaknya ada lima upaya yang harus dilakukan
untuk mencegah agar kasus jangan sampai naik lagi walaupun PPKM mulai
dilonggarkan. Upaya
pertama adalah mengurangi jumlah orang yang menularkan secara maksimal. Ada
dua cara yang dapat dan harus dilakukan. Pertama, dengan menemukan mereka
yang positif Covid-19 di masyarakat, walaupun tanpa gejala sekalipun. Untuk
ini harus dilakukan kegiatan 3T (tes, telusur', dan terapi) serta isolasi
secara maksimal. Kita
tahu, pemerintah telah menargetkan untuk melakukan 400.000 tes dalam sehari.
Namun, realisasinya dalam beberapa hari terakhir bulan Agustus 2021, yang
diperiksa kurang dari 100.000 orang. Selain itu, seyogianya pada setiap kasus
yang positif, ada sekitar 15 orang kontak dari yang bersangkutan yang harus
diperiksa untuk mengetahui apakah mereka tertular atau tidak. Kalau
dalam tes dan telusur ditemukan ada yang positif Covid-19, tentu mereka dapat
menjadi sumber penularan di masyarakat. Jika ini tidak ditangani, kasus akan
naik lagi. Oleh karena itu, mereka yang positif Covid-19 harus ditemukan dan
kemudian ditangani kesehatannya dan diisolasi/dikarantina untuk memutus
rantai penularan. Cara
lain meminimalkan penularan dari orang yang positif Covid-19, tapi tidak
terdeteksi dan masih ada di masyarakat, adalah dengan menerapkan 3M. Kalau
seseorang positif Covid-19 dan dia memakai masker dan menjaga jarak,
kemungkinan menularkan penyakit menjadi agak lebih kecil, walaupun seharusnya
ia diisolasi dan dikarantina. Untuk
upaya kedua, yakni membatasi moda dan cara penularan, ada dua cara yang harus
dilakukan. Pertama, dengan tetap menjaga ketat 3M, memakai masker, mencuci
tangan dan menjaga jarak. Penerapan 3M ini amat penting dalam menurunkan
kemungkinan tertular Covid-19 sehingga harus terus diberlakukan secara ketat
dan tampaknya tetap masih harus kita lakukan dalam jangka waktu yang panjang. Cara
kedua untuk membatasi moda dan cara penularan adalah dengan melakukan
pelonggaran PPKM secara amat bertahap dan berhati-hati, dengan
memprioritaskan aspek perlindungan kesehatan masyarakat. Perlu diatur agar
jangan sampai ada kerumunan massa. Di
India yang kasusnya sudah turun, dalam beberapa waktu ini ada peningkatan
kembali jumlah kasus di Negara Bagian Kerala, antara lain karena adanya
festival dan kerumunan masyarakat. Maksimalkan vaksinasi Upaya
ketiga untuk mencegah kasus yang sudah cenderung turun agar tidak naik lagi
adalah dengan meningkatkan daya proteksi orang yang rentan untuk tertular.
Ada dua cara yang penting untuk meningkatkan proteksi, yaitu dengan vaksinasi
dan upaya peningkatan daya tahan tubuh secara umum, seperti makan makanan
bergizi, olahraga, istirahat yang cukup dan mengelola stres dengan baik. Khusus
tentang vaksinasi, sekaranglah saatnya untuk memaksimalkan cakupannya. Data
sampai akhir Agustus lalu, baru sekitar 20 persen masyarakat kita yang sudah
divaksin sebanyak dua kali. Artinya, masih ada sekitar 80 persen masyarakat
yang belum divaksin secara lengkap. Memang yang harus dinilai adalah angka
vaksinasi dua kali, karena vaksin yang digunakan sekarang di Indonesia adalah
untuk dua kali pemberian, agar bisa mendapatkan proteksi yang diharapkan. Harian
Kompas pada 28 Agustus 2021 juga menyoroti masih rendahnya cakupan vaksinasi
pada kelompok lanjut usia (lansia), yang angkanya masih di bawah 20 persen,
padahal lansia memiliki risiko besar untuk tertular dan sakit. Tokoh
karikatur ”Mang Usil” bahkan menyentil, ”bagi-bagi vaksin Covid abaikan warga
lansia. Mereka adalah orang tua kita, lo”. Perlu
ada program sistematis dalam beberapa bulan mendatang untuk memaksimalkan
vaksinasi ini. Kita tahu memang ada masalah dalam ketersediaan vaksin di
dunia. Pasokan (supply) dari pabrik vaksin, lebih rendah daripada kebutuhan
(demand) untuk penduduk berbagai negara di dunia. Sejauh
ini ada empat sumber untuk mendapatkan vaksin. Pertama, membeli di pasar
internasional kalau memang barangnya tersedia dan juga anggarannya tersedia.
Kedua, mendapatkannya dari kerja sama bilateral. Menurut berita, Indonesia
sudah pernah mendapat vaksin, antara lain, dari China, Amerika Serikat,
Jepang, Perancis, dan mungkin juga negara lain. Cara
ketiga untuk mendapatkan vaksin Covid-19 adalah lewat skema kerja sama
multilateral melalui COVAX, suatu inisiatif yang dikelola oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, GAVI dan CEPI, di mana saya adalah salah
seorang dari 12 anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) COVAX
ini. Kami dari COVAX sudah beberapa kali memberikan vaksin kepada Indonesia
dan juga negara lain di dunia, dan masih akan terus melakukannya. Cara
keempat untuk mendapatkan vaksin tentunya adalah kalau negara mampu
membuatnya sendiri. Dalam hal ini kita menunggu proses pembuatan vaksin Merah
Putih yang sekarang sedang berproses sesuai kaidah ilmu pengetahuan yang
sahih, agar terjamin keamanan dan efektivitasnya. Kalau
vaksin sudah tersedia, ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, adalah
menjamin sistem distribusi nasional yang baik ke seluruh pelosok negeri.
Tentu dalam hal ini harus dijamin proses rantai dingin (cold chain)-nya
karena vaksin akan rusak kalau suhu tidak terjaga. Juga harus terjamin
ketersediaan gudang farmasi di setiap provinsi dan juga kabupaten/kota, serta
manajemen distribusi yang akurat. Hal
kedua adalah tersedianya petugas vaksinator. Hal ini seharusnya tidaklah
terlalu pelik karena toh kita sudah biasa melakukan vaksinasi pada anak dan
balita selama ini. Hanya perlu penyesuaian, karena kini ada cukup banyak
merek vaksin Covid-19 di negara kita dan masing-masing punya spesifikasi
sendiri-sendiri yang perlu diketahui para vaksinator. Hal
ketiga yang amat penting adalah kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat vaksin,
Kini sudah disediakan sentra vaksinasi di berbagai tempat umum seperti gedung
sekolah, stadion dan ruang pertemuan lain. Memang dengan cara ini maka dapat
dicakup jumlah orang yang besar sekaligus, tetapi ada risiko terjadi
kerumunan orang dan juga masyarakat harus antre panjang, tidak nyaman. Akan
lebih baik kalau vaksinasi Covid-19 dilakukan saja di semua puskesmas dan
rumah sakit di Indonesia yang jumlahnya sekitar 10.000. Semua puskesmas dan
rumah sakit ini sudah memiliki tenaga kesehatan, sudah ada pengalaman
memberikan vaksin selama puluhan tahun, dan lokasinya tersebar merata di
seluruh Indonesia. Dengan
demikian, masyarakat dapat pergi dengan mudah untuk divaksin di dekat
rumahnya atau di dekat tempat kerjanya dengan cara yang mudah dan nyaman.
Juga kalau ada kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), akan lebih mudah
terkontrol karena tinggal menghubungi puskesmas dan atau rumah sakit tempat
mendapat vaksin. Hal
keempat, kalau jumlah vaksin memang masih terbatas, dapat dilakukan penentuan
prioritas siapa yang mendapat vaksin terlebih dahulu. Ada tiga pertimbangan
untuk memilihnya. Pertama, sesuai dengan risiko perseorangan untuk mendapat
sakit, misalnya mendahulukan tenaga kesehatan, warga lansia, dan mereka yang
punya komorbid karena mereka semua rentan tertular Covid-19. Pertimbangan
kedua adalah situasi epidemiologik daerah, katakanlah untuk mengendalikan
situasi penularan di masyarakat yang sedang tinggi. Pertimbangan
ketiga adalah hal khusus, misalnya pemberian pada guru, tenaga pendidik dan
murid, karena akan dimulai pertemuan tatap muka (PTM) terbatas di sekolah,
atau pemberian pada daerah tertentu untuk meningkatkan pariwisata negara,
atau daerah tertentu karena akan ada pertemuan besar tingkat nasional seperti
olahraga, dan lain-lain. Sesudah
itu, pengelola program vaksinasi Covid-19 nasional dan dearah juga harus
mempertimbangkan lima kelompok di masyarakat yang masing-masing perlu
ditangani dengan baik. Pertama, tentu kelompok risiko tinggi seperti tenaga
kesehatan dan lain-lain yang secara kesepakatan internasional memang mendapat
prioritas pertama. Kedua adalah kelompok masyarakat yang perlu perlindungan
khusus, seperti pekerja industri strategis, petugas lapangan yang langsung
melayani masyarakat, guru, dan lain-lain. Ketiga
adalah populasi umum masyarakat. Masih antusiasnya masyarakat untuk divaksin
sekarang menunjukkan bahwa sekarang ini kegiatan vaksinasi kita memang masih
terjadi pada masyarakat secara umum. Selanjutnya,
kita perlu memberi perhatian khusus pada dua kelompok masyarakat lainnya,
yaitu mereka yang tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau (hard to
reach population) dan juga anggota masyarakat kita yang dengan berbagai
alasannya masih belum mau divaksin (vaccine hesitancy). Kita tahu bahwa ada
mekanisme pendekatan khusus yang dapat dilakukan pada kedua kelompok terakhir
ini, agar cakupan vaksinasi dapat maksimal. Monitor ketat Upaya
keempat yang harus dilakukan untuk mencegah ledakan kasus lagi adalah dengan
mengamati secara amat ketat perkembangan data per daerah secara saksama dari
waktu ke waktu. Data yang dimonitor setidaknya meliputi angka kepositifan
(positivity rate), angka reproduksi (reproductive number), jumlah kasus baru,
jumlah kematian serta jumlah tes dan telusur yang dilakukan. Dari
hasil pengamatan data ketat ini maka mungkin diperlukan upaya kelima, yaitu
pengetatan PPKM lagi kalau diperlukan. Pengalaman yang lalu menunjukkan
jumlah kasus baru kita pernah di bawah 3.000, lalu terus naik sampai sepuluh
kali lipat menjadi 27.000-an, sehingga kemudian diterapkan PPKM darurat pada
3 Juli 2021. Di
waktu mendatang, sebaiknya tidak perlu menunggu sampai terjadi sepuluh kali
peningkatan angka kasus, mungkin lima kali peningkatan angka kasus dari
sebelumnya saja, pembatasan sosial sudah harus amat diperketat lagi. Semoga
kecenderungan penurunan angka kasus positif Covid-19 yang terjadi sekarang
ini dapat terus terjaga. Dengan penerapan kelima upaya seperti disebutkan di
atas, semoga situasi tidak memburuk lagi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/08/cegah-kenaikan-kembali-kasus-covid-19/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar