Habis
Pandemi, Terbitlah Kesenjangan Sarwani ; Jurnalis Watyutink.com |
WATYUTINK, 7 September 2021
Angka
penularan Covid-19 belakangan melandai, menimbulkan euforia di tengah masyarakat
sehingga kerumunan mulai terjadi kembali di beberapa tempat. Sejumlah kafe
dan restoran terciduk membuka layanan makan di tempat dengan jumlah
pengunjung dan jam operasional melebihi batasan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Tampaknya
masih banyak yang menganggap remeh bahaya Covid-19. Kedisiplinan menerapkan
protokol kesehatan lemah sehingga mudah sekali mengabaikannya hanya karena
angka penularan menurun. Nyaris tidak ada kepedulian bahwa virus corona dapat
menular di tempat tertutup seperti kafe dan akan terbawa ke rumah, menulari
orang-orang terdekat. Jika
dicermati lebih dalam, dampak negatif pandemi Covid-19 sebenarnya tidak
terbatas pada masalah kesehatan. Ada potensi disrupsi yang lebih besar yang
ditimbulkan wabah ini, yakni timbulnya kesenjangan yang makin melebar di
Tanah Air. Indonesia
bukan tanpa kesenjangan saat ini. Kaya-miskin, perkotaan-perdesaan, Jawa-luar
Jawa, sektor modern-tradisional, dan antarpendapatan berhadap-hadapan dalam
perbedaan yang mencolok. Dengan adanya pandemi maka kesenjangan tersebut akan
semakin melebar, menciptakan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan
saja dalam bentuk kerusuhan sosial. Pandemi
semakin memiskinkan orang miskin. Mereka kehilangan pekerjaan, usaha, dan
akses permodalan. Mereka yang paling merasakan dampak pandemic. Sementara
itu, kelompok kaya sama sekali tidak mencium bau kemiskinan. Penghasilan
pasif dari tabungan mereka saja sudah lebih dari cukup untuk memberikan
kehidupan yang layak selama masa pandemi. Kesenjangan
yang terjadi selama ini berakar pada struktur ekonomi yang timpang. Dengan
adanya disrupsi maka semakin menguat dan mengkhawatirkan jika proses
ketimpangan tersebut terus berlanjut tanpa ada upaya untuk memperbaikinya. Pemerintah
mengklaim mempunyai rencana reformasi struktural dalam membangun perekonomian
nasional melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan dapat memastikan
bahwa pemulihan dan pertumbuhan ekonomi tidak akan menimbulkan ketimpangan
seperti hurup K, dimana masing-masing ujungnya makin menjauh dari ujung yang
lain. Namun
reformasi struktural yang dijalankan pemerintah tidak akan cukup apalagi jika
bertumpu pada paradigma pertumbuhan yang konvensional. Kebijakan pemerintah
tampak masih berdasar pada paradigma lama. Indonesia
membutuhkan reformasi struktural yang lebih adil, berkelanjutan, dan
berimbang untuk mengantisipasi kesenjangan yang semakin melebar pascapandemi.
Fiskal yang merupakan instrumen penting dalam mengalokasikan sumber daya
ekonomi harus diprioritaskan pada bidang yang dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat luas. Alokasikan fiskal pada bidang yang bisa menciptakan struktur
ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. UU
Cipta Kerja tidak akan membuat ketimpangan berkurang. UU tersebut lebih pada
upaya mendorong pertumbuhan yang secara teoritis setiap pertumbuhan ekonomi
justru akan membuat ketimpangan meningkat. Jangan berharap ada efek menetes
ke bawah (trickle-down effect) bahwa setelah kemakmuran dan keberhasilan
pembangunan tercapai, maka selanjutnya akan dengan sendirinya kesejahteraan
itu akan menetes ke kelompok bawah. Ketimpangan
hanya dapat dikurangi dengan realokasi aset melalui fiskal. Tetapi kebijakan
politik tidak mengarah ke sana. Kebijakan fiskal harus disusun sedemikian
rupa sehingga stimulus yang diberikan menyelamatkan masyarakat luas dari
pandemi. Berikan bantuan kepada kelompok bawah. Mereka akan membelanjakan
lagi bantuan tersebut sehingga ekonomi menjadi hidup. Jika kelompok atas yang
mendapatkan insentif maka uangnya tidak balik lagi ke dalam sistem ekonomi. Pemerintah
juga harus dapat memainkan instrumen pajak untuk keadilan sosial. Orang-orang
kaya dikenai pajak tinggi. Pendapatan
pajak ini digunakan untuk mensejahterakan masyarakat luas melalui pembangunan
sarana pendidikan, kesehatan berkualitas, transportasi massal, pendanaan
UMKM, dan pengembangan IT. Melalui
lusinan bantuan sosial selama pandemi pemerintah tampak seperti pro kepada
rakyat miskin (pro poor). Tapi yang terjadi sebenarnya dana itu kembali lagi
ke atas. Siapa yang menyiapkan paket bantuan itu semua, mulai dari tas
berlabel Bantuan Presiden hingga isi bantuan berupa beras, mie instan,
minyak, dan lain-lain? Alhasil,
Indonesia harus mengubah paradigma pembangunan agar kesenjangan tidak semakin
melebar pascapandemi. Masyarakat harus dilibatkan seluas-luasnya dalam
pembangunan untuk mengurangi ketegangan-ketegangan. Beberapa bidang bisa
diserahkan pembangunannya kepada rakyat, misalnya, rumah sakit dan penyediaan
listrik, dibolehkan untuk dibangun oleh komunitas, tidak harus berbentuk
perseroan terbatas (PT). Semoga
dengan perubahan paradigma pembangunan yang lebih memprioritaskan pada
kebutuhan masyarakat luas dan partisipasi rakyat akan membawa Indonesia
kepada kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih merata, mengurangi
kesenjangan, dan ketegangan sosial pascapandemi. ● Sumber : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Habis-Pandemi-Terbitlah-Kesenjangan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar