Virus
Kebencian Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN) |
KOMPAS, 11 September 2021
Bangsa
ini memiliki segala potensi untuk menjadi bangsa yang besar dan berjaya, baik
melalui kekayaan dan keragaman alamnya maupun kekuatan manusianya. Namun,
bangsa ini juga berpotensi mengikuti jejak Suriah dan Afghanistan yang terus
bertikai dan porak-poranda jika kejadian seperti di Sintang Kalimantan Barat
pada 3 September 2021 lalu tidak dihentikan. Sekelompok masa dengan bendera
keagamaan merusak tempat ibadah
kelompok minoritas agama dan membakar gudang yang terletak di sampingnya.
Tuduhannya, mereka adalah kelompok sesat dan meresahkan masyarakat. Ketika
bangsa ini sedang menghadapi pandemi Covid-19 yang mematikan, ternyata pada
saat yang sama kita juga harus berjuang melawan virus yang tak kalah
membahayakannya, yaitu virus kebencian, intoleransi, sektarianisme,
eksklusivisme, dan radikalisme yang ada di masyarakat. Sejak pemerintah
mengumumkan pandemi pada 5 Maret 2020, telah terjadi serangkaian diskriminasi
terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda. Di
antaranya adalah tekanan suatu kelompok terhadap Bupati Bogor agar melarang
Ahmadiyah berada di tempat itu (16 Maret 2020), penyegelan Masjid Al-Aqso di
Kampung Badakpaeh, Tasikmalaya (6 April 2020), penyegelan pasarean sesepuh
Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Curug Goong, Kuningan (20 Juli
2020), pembubaran acara doa di Mertodranan Solo (8 Agustus 2020), penutupan
Masjid di Ciawi, Garut (6 Mei 2021), dan terakhir perusakan dan pembakaran di
Sintang. Ini belum termasuk penyebaran stigma buruk terhadap etnis Tionghoa
karena dianggap membawa penyakit Covid-19. Pemerintah,
melalui Kementerian Agama, sebetulnya saat ini sedang giat-giatnya melakukan mainstreaming moderasi beragama yang
menjadi salah satu isu penting kebangsaan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Di berbagai kampus telah didirikan
Rumah Moderasi dan kampanye terus digalakkan di masyarakat. Namun, tantangan
dari upaya ini rupanya tidak hanya datang dari luar, tetapi banyak juga dari
internal kementerian itu sendiri dan berbagai lembaga atau institusi yang
berada dalam koordinasi Kementerian Agama. Selain
Kementerian Agama, upaya membangun budaya yang ramah terhadap perbedaan dan
menjaga kebinekaan juga digalakkan oleh Kemendikbud-Ristek. Bahkan,
kementerian ini telah mengegolkan Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan yang asas pertama dan keduanya adalah toleransi dan
keberagaman (Pasal 3). Sayangnya, sejak diundangkan empat tahun lalu, UU ini
tak memiliki kaki-kaki untuk mengimplementasikannya. Persoalan
lain yang terkait moderasi beragama dan toleransi adalah konsep dan
penerapannya yang sering kali bersifat delimited
(memiliki batasan-batasan tertentu). Misalnya, toleransi itu tidak berlaku
bagi mereka yang di luar agama yang ”diakui” oleh negara sehingga ketika
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan ucapan selamat Hari Raya
Naw-Ruz kepada umat Baha'i muncullah polemik yang panas di masyarakat.
Moderasi beragama juga tidak berlaku terhadap kelompok agama yang dicap sesat
oleh otoritas keagamaan tertentu, seperti Ahmadiyah. Karena
itu, mereka yang berada dalam dua kategori di atas tidak mendapat
perlindungan yang sama dengan kelompok agama yang ”diakui”. Bahkan, dalam
keyakinan sebagian orang, mereka ini perlu ”dibina” atau, meminjam istilah
dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang dialamatkan kepada Penghayat, disalurkan ”ke
arah pandangan yang sehat”. Makna
sehat di sini tentu saja sesuai dengan keyakinan kelompok agama yang dominan.
Hal ini yang sering menjadi justifikasi adanya proses pengafiran terhadap
mereka yang berkeyakinan berbeda. Kafir dalam konteks ini tidak sekadar
menunjukkan perbedaan keyakinan, tetapi ada tendensi merendahkan (secara
teologis) kelompok yang memiliki keyakinan berbeda tersebut. Bahwa mereka itu
adalah uncivilized people (manusia
yang tak berperadaban) atau heathens (pagan atau kelompok yang keagamaannya
dianggap belum terbentuk secara sempurna). Pandangan ini membuat sebagian
orang merasa tidak berdosa ketika melakukan pengrusakan atau pembakaran
tempat ibadah milik kelompok minoritas agama tertentu. Alih-alih
meyakininya sebagai perbuatan keji, beberapa pelaku justru menganggap
tindakannya sebagai virtue
(kebajikan), sebagai panggilan keagamaan atau upaya mengawal fatwa. Saya
sering menggunakan istilah messianic
tendency (tendensi menjadi Mesiah) atau colonial tendency untuk menjelaskan kecenderungan ini.
Ringkasnya, orang-orang ini meyakini bahwa tindakan mereka dalam menyerang
atau menghancurkan tempat ibadah kelompok agama yang mereka sebut kafir atau
sesat itu adalah justru untuk menyelamatkan mereka dari siksa Tuhan di
neraka. Implikasi
lebih jauh dari pandangan ini dalam konteks kenegaraan adalah lahirnya neo-dhimmitude (pengadopsian konsep dhimmiyah dalam kenegaraan dengan
kerangka baru) atau stratified
citizenship (konsep kewarganegaraan yang berkelas). Ini sudah bisa
dirasakan dalam beberapa kasus di masyarakat seperti dalam kesempatan untuk
menjadi pemimpin atau mendapat pekerjaan. Memang,
gejala seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagian dari penduduk
bumi ini juga terinfeksi virus kebencian. Fantasi yang bersifat sektarian
serta bayang-bayang ketakutan kepada mereka yang berbeda telah menjadi salah
satu paradoks dari globalisasi. Fantasi sektarian ini dirumuskan oleh Slavoj
Zizek dengan kalimat: ”Kalau saja mereka (yang berbeda itu) tidak ada di
sini, hidup akan sempurna, dan masyarakat akan kembali harmonis” (Myers 2003:
108). Ini yang menyebabkan penembakan di Christchurch, Selandia Baru (2019),
pengusiran Rohingya dari Myanmar, berkembangnya white supremacists di Amerika Serikat, dan tentu saja beberapa
kasus kebencian terhadap mereka yang berbeda di Indonesia. Terakhir,
nama desa tempat terjadinya perusakan tempat ibadah itu adalah Balai Harapan.
Karena itu, kejadian 3 September itu terlihat ironis dan kontradiktif dengan
nama desanya. Semoga kejadian ini dan diskriminasi lain di Indonesia hanyalah
anomali semata, bukan budaya atau karakter manusia Indonesia. Secara umum
kita percaya bahwa bangsa ini adalah bangsa yang toleran dan bisa menjadi
”Balai Harapan” bagi berseminya kehidupan yang rukun, toleran, dan
gotong-royong sesama anak bangsa. Seperti dalam buku Harmoni dalam Keragaman: Jejak Budaya Toleransi di Manado, Bali, dan
Bekasi (2021) yang diedit oleh MN Prabowo Setyabudi, banyak sekali contoh
harmoni dari bangsa ini yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia,
seperti Kampung Sawah (Bekasi), Wonosobo, dan lainnya. Itu semua adalah modal
budaya untuk membangun bangsa yang toleran dan berlandaskan kebinekaan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/virus-kebencian/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar