Melambung
Utang di Tengah Pandemi Yusuf Wibisono dkk ; Direktur dan Peneliti IDEAS |
REPUBLIKA, 5 September 2021
Sejak awal pandemi, pada
“APBN Pasca Covid-19”, Republika, 14 Mei 2020, kami telah mengkritik APBN
yang terus dikelola secara mainstream di masa pandemi. Sejak APBN 2020,
dengan defisit yang masif, ketergantungan anggaran pada utang memuncak. Kami
memperingatkan bahaya besar stimulus yang melonjakkan utang secara luar biasa. Pada “Pandemi, Resesi dan
RAPBN 2021”, Republika, 24 Agustus 2020, kami mengkritik respons fiskal dalam
RAPBN 2021 yang konservatif, tidak terlihat sense of crisis, tidak terlihat
terobosan signifikan untuk efisiensi, non discretionary expenditure tetap tak
tersentuh meski pandemi mengharu biru. APBN pun semakin dalam terbenam dalam
kubangan utang. Posisi stok utang
pemerintah awal pandemi, per Maret 2020, telah menembus Rp 5.000 triliun, dan
kini per Juni 2021 menembus Rp 6.500 triliun. Lonjakan stok utang pemerintah
ini amat mengkhawatirkan. Bila pada periode Oktober
2009–Oktober 2014, periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, stok
utang pemerintah rata-rata ‘hanya’ bertambah Rp 16,6 triliun per bulan, maka
pada periode Oktober 2014–Desember 2019 angka ini meningkat rata-rata menjadi
Rp 35,2 triliun per bulan, melonjak dua kali lipat. Setelah pandemi,
kecenderungan ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Dalam 1,5 tahun sejak
pandemi, Januari 2020-Juni 2021, stok utang bulanan pemerintah rata-rata
bertambah Rp 102,2 triliun, melonjak tiga kali lipat. Dengan kecepatan yang
meningkat pesat pasca pandemi, stok utang pemerintah kami perkirakan akan
mendekati Rp 9.800 triliun pada Oktober 2024. Bila pada periode pertama
Presiden Joko Widodo (Oktober 2014-Oktober 2019) stok utang pemerintah
bertambah Rp 2.155 triliun, maka pada periode kedua beliau (Oktober
2019-Oktober 2024) kami proyeksikan stok utang pemerintah akan bertambah Rp
5.043 triliun. Kenaikan stok utang
pemerintah era Presiden Jokowi ini menjadi sangat luar biasa bila melihat
pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober 2009-Oktober
2014) stok utang pemerintah ‘hanya’ bertambah Rp 999 triliun. Jebakan
Utang Atas nama stimulus fiskal
untuk melawan pandemi, politik anggaran menjadi semakin permisif terhadap
utang, penarikan utang baru dilakukan sangat masif, hingga menabrak kredo
suci pengelolaan makroekonomi: mencabut aturan disiplin anggaran pemerintah
dan monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral. Pandemi telah meruntuhkan
dua disiplin makroekonomi terpenting sekaligus: disiplin defisit anggaran 3
persen dari produk domestik bruto (PDB) dan independensi bank sentral. Melonjaknya beban utang
berakar dari rendahnya penerimaan perpajakan. Setelah menyentuh level terendah
pada 2012, yaitu 23,0 persen, rasio stok utang terhadap PDB terus melejit
hingga kini mencapai 39,4 persen pada 2020. Ketika ketergantungan
terhadap utang semakin meningkat, di saat yang sama, kinerja penerimaan
perpajakan justru semakin menurun drastis. Dari kisaran 11,4 persen pada
2012, tax ratio terus menurun hingga 8,3 persen pada 2020. Rasio stok utang
pemerintah terhadap penerimaan perpajakan melonjak drastis, dari kisaran 250
persen pada 2015 menjadi kisaran 475 persen pada 2020, jauh di atas batas
aman 90-150 persen. Tax ratio yang terus
melemah, mengindikasikan besarnya potensi pajak yang hilang. Di sisi lain,
besarnya belanja terikat yang berada di kisaran 11 persen dari PDB
mengindikasikan inefisiensi sektor publik yang masif: seluruh penerimaan
perpajakan setiap tahunnya bahkan tidak mencukupi sekadar untuk membiayai
belanja terikat, yaitu belanja pegawai, belanja barang, bunga utang, dan
transfer ke daerah. Kesenjangan antara
kapasitas fiskal dan beban utang ini berpotensi melebar ke depan. Kami
memproyeksikan tax ratio akan pulih, tapi secara perlahan, pada 2024 baru
akan beranjak di kisaran 8,6 persen dari PDB. Namun di saat yang sama, stok
utang terhadap PDB meningkat sangat drastis, menembus 50 persen dari PDB pada
2024. Dengan kata lain, kita berpotensi terbenam semakin jauh dalam jebakan
lingkaran utang. Pembuatan utang baru oleh
pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu, dari hanya Rp 74,2
triliun pada 2005 hingga Rp 491,7 triliun pada 2014. Sebelum pandemi, pada
2019, penarikan utang baru mencapai Rp 1.000 triliun, dan pasca pandemi,
2020-2021, menembus Rp 1.500 triliun per tahun. Peningkatan besaran utang
baru setiap tahunnya terlihat berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga
utang dan cicilan pokok utang. Sebelum pandemi, pada 2019, cicilan pokok dan
bunga utang telah menembus Rp 800 triliun, dan pasca pandemi, pada 2021,
angka ini diperkirakan telah menembus Rp 1.000 triliun. Strategi pengelolaan utang
yang terfokus pada refinancing untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan
bunga utang yang jatuh tempo membuat pengelolaan utang hanya sekadar “gali
lubang tutup lubang”. Utang baru dibuat untuk menutup kewajiban utang lama,
stok utang tidak pernah menurun. Pengelolaan portofolio utang hanya sekadar
debt switching dan buy back, dengan pemanis terms and conditions yang lebih
baik. Beban
yang Menyesakkan Kenaikan stok utang
pemerintah, yang kami proyeksikan akan menembus 50 persen dari PDB pada 2024,
akan semakin melemahkan potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang di masa
depan. Berlimpah bukti empiris kontemporer yang menunjukkan bahwa semakin
tinggi stok utang pemerintah, semakin rendah pertumbuhan ekonominya. Stok utang yang semakin
tinggi membuat alokasi anggaran publik akan semakin tidak bersifat pro poor,
dalam bentuk pembayaran bunga utang yang masif. Dengan sebagian besar
anggaran publik mengalir ke kelompok elite, bahkan ke luar negeri, daya beli
dan permintaan agregat akan selalu tertekan, membuat pertumbuhan ekonomi di
bawah tingkat optimalnya. Beban bunga utang pasca
pandemi melejit dengan kini menembus Rp 400 triliun pada RAPBN 2022. Dengan
kapasitas fiskal yang melemah, utang telah menjadi beban yang semakin
mengimpit. Beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan
perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020,
jauh di atas batas aman di kisaran 7-10 persen. Dengan seperempat
penerimaan perpajakan habis hanya untuk membayar beban bunga utang saja, maka
ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas. Dan ke depan, angka ini
masih berpotensi meningkat. Pada 2024, kami memproyeksikan beban bunga utang
akan berada di kisaran 30 persen dari penerimaan perpajakan. Bertahan dengan paradigma
mainstream yang sangat pro kreditor (investor) tapi abai terhadap kondisi
debitor, terutama kemampuan negara untuk melakukan stimulus fiskal dan
perlindungan sosial kepada rakyat, terlihat menjadi amoral, terlebih di masa
pandemi saat ini. Ketika pemerintah tanpa reserve melakukan pembayaran bunga
utang untuk investor hingga 2,3 persen dari PDB pada RAPBN 2022, di saat yang
sama sektor kesehatan yang merupakan garda terdepan perang melawan pandemi
hanya menerima alokasi 0,8 persen dari PDB. Dengan besarnya porsi
belanja terikat pemerintah yang merupakan non-discretionary expenditure, maka
belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang di bawah diskresi
pemerintah, seringkali harus dibiayai dengan utang, dan dengan jumlah yang
tak pasti. Alokasi belanja modal, subsidi, dan bantuan sosial selalu
merupakan residual belaka, bahkan dengan proporsi yang terus menurun. Dengan demikian, kebijakan
defisit anggaran tidak hanya tidak tepat prioritas, di mana kepentingan
birokrasi dan investor lebih diutamakan dari kepentingan rakyat, tapi juga
tidak tepat sasaran di mana belanja yang penting untuk perekonomian justru
semakin menurun alokasi anggarannya. Secara ironis, hal ini
justru semakin memuncak di kala pandemi menghampiri. Alokasi untuk pembayaran
bunga utang pada RAPBN 2022 yang mencapai Rp 405,9 triliun nyaris setara
dengan seluruh alokasi anggaran untuk perlindungan sosial untuk lebih dari
160 juta masyarakat miskin yang ‘hanya’ Rp 427,5 triliun. Keberpihakan anggaran pada
si miskin justru semakin memburuk di kala krisis. Tidak terlihat kemauan dan
keberanian politik yang memadai untuk memprioritaskan keselamatan dan
kesejahteraan masyarakat di masa pandemi. Beban utang yang semakin
mengimpit tercermin dari rasio antara cicilan pokok dan bunga utang dengan
penerimaan perpajakan yang mencerminkan pendapatan pemerintah yang
sesungguhnya. Beban cicilan pokok dan bunga utang melonjak dari kisaran 30,8
persen dari penerimaan perpajakan pada 2015 menjadi 73,7 persen dari
penerimaan perpajakan pada 2021, jauh di atas batas aman di kisaran 25-35
persen. Bola
Liar Utang RAPBN 2022 tidak membawa
berita baru terkait disiplin fiskal: kebutuhan besar belanja publik yang
tidak mampu dipenuhi oleh penerimaan negara diselesaikan secara sederhana
dengan membuat utang baru yang masif. Tak cukup dengan mencabut batas atas
defisit anggaran, utang jumbo era pandemi ini juga harus menabrak kredo suci
pengelolaan makroekonomi lainnya: terlanggarnya independensi bank sentral. Melalui skema burden
sharing, Bank Indonesia diharuskan melakukan monetisasi defisit anggaran dengan
membeli SBN di pasar primer, menjadi standby buyer, dan berbagi beban bunga
SBN dengan pemerintah. Strategi stimulus fiskal
dalam jumlah besar di masa krisis sebagai counter
cyclical policy, tapi di saat yang sama mengharuskan adanya tambahan
utang pemerintah yang sangat besar adalah pilihan kebijakan yang sangat
berisiko. Tidak hanya akan mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka
panjang, dari belanja publik yang semakin tidak pro poor, lonjakan utang
publik yang tidak terkendali juga akan memberi tekanan inflasi dan merusak
fungsi intermediasi keuangan dari perbankan. Pasca pandemi, dengan
pembiayaan utang yang sangat masif, hingga Rp 1.000 triliun per tahun,
kepemilikan SBN oleh bank sentral dan perbankan melonjak drastis. Hal ini
mengindikasikan tambahan jumlah uang beredar yang masif melalui defisit
anggaran yang dimonetisasi oleh bank sentral serta melemahnya fungsi
intermediasi perbankan dengan secara sederhana beralih dari menyalurkan
kredit ke sektor riil menjadi sekedar berinvestasi di SBN. ● Sumber : https://www.republika.id/posts/19991/melambung-utang-di-tengah-pandemi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar