Vaksin Nusantara (Lagi) Iqbal Mochtar
; Dokter dan
Doktor Bidang Kedokteran dan kesehatan, Pemerhati Masalah Kesehatan |
SINDONEWS, 10 September 2021
ISU vaksin
Nusantara menyeruak lagi. Padahal isu ini sempat menghilang beberapa bulan
setelah pertama kali muncul pada April 2021. Pemicunya adalah pernyataan juru
bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa vaksin ini telah dapat diakses
masyarakat. Kontan masyarakat bertanya-tanya. Dikiranya vaksin tersebut kini
telah tersedia dan boleh digunakan, seperti vaksin Sinovac, Astra Zeneca,
atau Moderna. Bahkan sempat heboh bahwa vaksin ini telah dipesan Turki
sebanyak 5 juta unit. Setidaknya ada
lima isu terkait vaksin ini. Pertama, status vaksin Nusantara saat ini masih
tahap penelitian. Masih ongoing trial. Belum ada persetujuan penggunaannya
pada masyarakat umum. Kasarnya, belum ada approval-nya. Tapi kalau ada
masyarakat berminat dan bersedia dijadikan subjek penelitian vaksin ini, ya
bisa saja. Silakan. Tapi karena statusnya masih penelitian, maka keterlibatan
mereka terbatas sebagai subjek uji coba. Artinya, mereka harus siap menerima
semua konsekuensi penelitian; bisa menguntungkan dan bisa berbahaya bagi
tubuh. Jadi pernyataan juru bicara Kemenkes perlu diperjelas bahwa memang
vaksin ini telah dapat diakses oleh masyarakat tetapi dalam kapasitas subjek
uji coba. Keterlibatan
sebagai subjek uji coba vaksin bukan hal istimewa. Di berbagai penelitian,
masyarakat memang bebas bila ingin menjadi subjek penelitian. Tidak ada
larangan. Sepanjang memenuhi syarat penelitian dan setuju dengan
konsekuensinya. Kedua, sangat
absurd menyatakan bahwa vaksin Nusantara ini dapat dikomersilkan seperti
vaksin lain. Apalagi mau diimpor. Kenapa? Karena sel dendritik yang digunakan
dalam vaksin ini sifatnya autolog. Artinya, sel dendrit diambil dari darah
pasien, digabung dengan rekombinan antigen Covid-19, diinkubasi, kemudian
dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Prinsipnya, dari seorang pasien dan untuk
pasien itu saja. Jadi bahan yang diambil dari seseorang tidak dapat digunakan
untuk orang lain. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin bahan yang
diambil dari orang Indonesia dapat diekspor dan digunakan pada orang lain?
Bagaimana mungkin dapat diimpor? Ketiga, minim
nilai komersial. Beda dengan vaksin lain yang ada saat ini, kalaupun vaksin
Nusantara terbukti hasilnya baik, kecil kemungkinan dapat diperjualbelikan
seperti vaksin lain yang beredar saat ini. Kalaupun ada, commercial value-nya
paling terletak pada transfer of knowledge atau teknologi. Yaitu, kita
mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan ke negara lain dan kita mendapat
imbalan fulus. Itu pun dengan catatan bahwa negara lain belum paham
pengetahuan dan ketrampilan pembuatan ini. Kalau mereka paham, ngapain minta
Indonesia mengajarkan? Keempat,
merupakan euforia berlebihan bila menganggap vaksin ini karya anak bangsa.
Konsep sel dendritik yang digunakan pada vaksin ini telah dipelajari sejak
1973. Bukan hal baru. Bahkan konsep ini telah diujicobakan terhadap penderita
kanker dengan hasil yang belum memuaskan. Terkait efeknya terhadap Covid-19
juga telah pernah diteliti sebuah perusahaan di China. Namanya Celartics
Biopharma. Namun, sekarang perusahaan tersebut tidak eksis, entah mengapa. Konsep
sel dendritik bagi Covid-19 ini juga diklaim oleh perusahaan-perusahaan
Aivita Biomedical Amerika sebagai konsep mereka. Setidaknya, itu yang
tersebut di website mereka. Sebagian bahan, alat dan penelitinya juga dari
Amerika. Kalau konsep dan bahan yang digunakan bukan punya kita, lantas apa
dasarnya menyebutkan ini karya anak bangsa? Kelima, mesti
terdapat sejumlah drawbacks terkait vaksin ini. Kita patut menghargai upaya
tim untuk meneliti vaksin ini. Karena ini bagian dari upaya memperbaiki
kesehatan dan keselamatan manusia. Siapa tahu nanti hasilnya baik; who knows.
Selain itu, dalam dunia ilmiah medis, semua harus didasarkan pada bukti-bukti
medis. Berdasar evidence-based medicine. Bukan berdasar suka atau tidak suka.
Karena dalam dunia ilmiah medis, batas fakta dan hoaks dipisahkan oleh uji
atau bukti klinis. Terkait dengan
keharusan mengedepankan bukti klinis, hendaknya jangan ada exagerating atau over-claim terkait vaksin ini. Baik oleh peneliti maupun anggota
masyarakat. Karena kondisi ini sangat memengaruhi masyarakat dan pengambil
kebijakan. Jangan sampai penelitian belum masuk fase 3 lantas telah diklaim
bahwa vaksin ini bermanfaat seumur hidup. Atau jangan ujug-ujug lempar isu
vaksin ini akan dibeli atau diimpor negara lain sementara vaksin ini jenisnya
autolog. Kan aneh kedengarannya. Semua harus
disampaikan sebenarnya, apa adanya, tanpa bombastis dan exageration. Karena dalam sebuah tatanan ilmiah dan akademis,
apalagi terkait studi strategis, prinsip-prinsip kejujuran, kebenaran dan
keadilan harus dijunjung tinggi. Yaitu prinsip-prinsip probitas, veritas,
iustitia. Dalam kondisi apapun, semua tatanan ilmiah harus berada dalam
koridor probitas, veritas dan iustitia. Bila tidak, nilai-nilai ilmiah dan
akademis akan runtuh dan tidak lagi bisa dibedakan antara fakta dan hoaks. ● Sumber
: https://nasional.sindonews.com/read/537200/18/vaksin-nusantara-lagi-1631268566 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar