Anak
Korban Kekerasan Bagong Suyanto ; Dekan dan Pengajar Sosiologi Anak di FISIP
Universitas Airlangga |
REPUBLIKA, 9 September 2021
Tajuk Republika, Rabu
(8/9), mengungkap keprihatinan atas makin meningkatnya kasus anak yang
menjadi korban tindak kekerasan di Indonesia. Ditengarai, selama pandemi
Covid-19, kasus tindak kekerasan terhadap anak bukannya menurun, malah
meningkat. Pada 2020, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat aduan sebanyak 249 kasus anak
menjadi korban kekerasan fisik, meningkat tajam dibandingkan 2019 yang hanya
157 kasus. Sementara itu, Komnas
Perlindungan Anak (PA) mencatat, sejak Maret 2020 hingga Juni 2021, mendapat
laporan 2.726 kasus kekerasan terhadap anak. Setidaknya 52 persen berhasil
dikonfirmasi, sebagian besar merupakan kekerasan seksual. Berapa angka pasti kasus
kekerasan terhadap anak memang belum diketahui. Namun, bisa dipastikan jauh
lebih besar daripada kasus yang resmi terlaporkan ke KPAI ataupun Komnas PA.
Sebab, dalam banyak kasus, korban tak berani melaporkan apa yang
dialaminya. Selain itu, biasanya
pelakunya orang terdekat korban, terutama orang tua korban sehingga tidak
mungkin anak berani melaporkan karena situasi ketergantungan dan risiko yang
bakal dihadapi kalau mereka melapor. Di banyak komunitas,
kekerasan terhadap anak masih dianggap bagian hak orang tua mendidik
anak-anak. Ini masih dianggap persoalan privat masing-masing keluarga
sehingga orang luar cenderung tak berani ikut campur. Akibatnya, kekerasan
terhadap anak terus terjadi. Faktor
penyebab Terdapat sejumlah penyebab
kekerasan terhadap anak dalam keluarga meningkat, pertama, terkait kondisi
psikologis orang tua yang terimbas pandemi Covid-19. Pandemi ini menyebabkan
banyak warga kehilangan pekerjaan atau usahanya kolaps. Ini menjadi tekanan
mental. Bagi orang tua yang tak
memiliki penyangga alternatif dan jaring sosial harus menghadapi situasi
krisis yang tak mengenakkan. Pada satu titik saat kebutuhan hidup tak bisa
ditunda, sementara anak-anak dianggap membebani, kemungkinan tindakan child abuse sangat besar. Kedua, kurangnya kemampuan
psikologis orang tua menghadapi perubahan proses pembelajaran anak. Selama
pandemi, anak tak bisa ke sekolah, belajar secara daring. Anak yang seharian
di rumah, bisa menjadi beban karena orang tua tak terbiasa mendampingi anak
belajar. Bisa dibayangkan, apa yang
terjadi ketika anak membutuhkan akses internet dan smarthphone plus komputer
untuk belajar, sementara ekonomi orang tua sedang bermasalah. Kebutuhan
perangkat penunjang pembelajaran jarak jauh ini, menjadi tambahan beban bagi
orang tua. Anak-anak yang meminta
dibelikan perangkat TI untuk kebutuhan sekolah, bukan tidak mungkin dianggap
orang tua sebagai bentuk kerewelan dan keinginan berlebihan, yang kemudian
memicu orang tua melakukan tindakan pendisplinan terhadap anak-anaknya. Ketiga, terkait pandangan
budaya di sebagian masyarakat yang masih meyakini kekerasan bagian dari cara
mendidik atau mendomestifikasi anak. Studi yang dilakukan
penulis (2017) menemukan, tidak sedikit orang tua yang masih menggunakan
ancaman sanksi, pukulan, cubitan, tamparan, bahkan tendangan untuk
mendisiplinkan perilaku anaknya yang dinilai nakal. Ketika anak lebih banyak
tinggal di rumah, sebagian orang tua mungkin menilai anaknya berperilaku tak
sesuai harapan. Orang tua yang tak terbiasa seharian kumpul dengan anaknya di
rumah, bukan tidak mungkin melakukan kekerasan karena merasa anaknya berbuat
salah. Di berbagai komunitas,
lazim terjadi anak dipukul agar dengan cepat menjadi patuh pada keinginan
orang tuanya. Sementara, orang tua pun tak merasa bersalah melakukan
kekerasan karena diyakini memberi manfaat bagi anak-anaknya. Mata
rantai Mencegah agar anak-anak
tak menjadi korban kekerasan orang tua, diakui tidaklah mudah. Meski Indonesia memiliki
UU Perlindungan Anak dan kampanye setop kekerasan terhadap anak banyak
dilakukan, tapi karena tindak kekerasan telah jadi bagian dari budaya
sosialisasi dan pola pengasuhan anak, jangan kaget jika kasus ini bermunculan
hingga saat ini. Lebih dari sekadar imbas
pandemi Covid-19, kekerasan terhadap anak sebetulnya muncul akibat pewarisan
budaya kekerasan dari keluarga ke keluarga, dari generasi ke generasi. Anak yang lahir dari orang
tua yang terbiasa melakukan tindak kekerasan, ketika besar dan menikah tanpa
sadar anak-anak yang telah menjadi orang tua itu bertindak serupa ketika
menghadapi anak-anaknya yang dinilai nakal atau rewel. Maka itu, memutus mata
rantai kekerasan dalam keluarga merupakan agenda penting. Budaya kekerasan
dalam pendidikan anak perlu didekonstruksi, kemudian dikembangkan budaya baru
yang benar-benar ramah anak. Budaya nirkekerasan perlu
dikonstruksi sebagai bagian dari proses sosialisasi anak. Tak hanya negara,
ulama, tokoh masyarakat, kerabat, dan keluarga, membangun budaya nirkekerasan
dalam pengasuhan anak harus menjadi bagian dari membangun kepribadian bangsa.
● Sumber
: https://www.republika.id/posts/20109/anak-korban-kekerasan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar