Ekonomi
Sirkuler dan Persampahan Bambang PS Brodjonegoro ; Guru Besar Universitas Indonesia |
KOMPAS,13 September 2021
Sampah
merupakan hasil dari ekonomi linear “take-make-
dispose”, di mana material diambil dari alam, diolah, dan digunakan dalam
kehidupan manusia. Namun
terkadang penggunaan ini hanya untuk waktu yang singkat. Dan kemudian
berakhir menjadi sampah. Dalam
ekonomi sirkuler, sampah yang dihasilkan dari setiap aktivitas ekonomi akan
selalu kembali ke dalam feedback loop untuk menjadi bahan baku atau energi.
Ekonomi sirkuler tak berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi, justru membawa
peluang agar Indonesia bisa menjadi negara maju sebelum ulang tahun
kemerdekaannya yang ke-100. Agar
bisa keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle-income trap)
sebelum 2045, ekonomi Indonesia butuh tumbuh minimal 6 persen per tahun.
Tentu ini butuh sumber daya bahan baku dan energi tak sedikit. Estimasi
Bappenas, pada 2019 kita menghasilkan sampah 117,6 juta ton untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi 5,02 persen. Jika berdasarkan skenario business as usual
(BaU) volume sampah yang dihasilkan akan meningkat 56 persen menjadi 184,7
juta ton pada 2030. Tentunya
kita tak menginginkan sebuah trade-off antara menjadi negara maju dengan
gunungan sampah di kota-kota besar. Sebagai catatan, Tempat Pengelolaan
Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang menerima 7.500 ton sampah per hari
dari DKI Jakarta, diperkirakan akan penuh di 2021 ini. Lalu,
apa yang bisa kita lakukan? Cukupkah dengan melaksanakan prinsip 3R (reduce,
reuse, recycle)? Prinsip
5R muncul dengan menambahkan dua tahapan, menjadi refuse, reduce, reuse,
recycle, and recovery. Refuse, untuk mencegah sampah masuk ke dalam aktivitas
ekonomi kita, misal dengan menolak pemakaian kantong plastik. Prinsip 5R
harus mengikuti hierarki tahapannya. Artinya, kita harus telah mengupayakan
daur ulang (recycle) lebih dulu sebelum melakukan tahapan pemulihan
(recovery) energi dan material dari sampah. Pengolahan sampah dalam ekonomi
sirkuler Sampah
perkotaan di Indonesia bersifat heterogen, karena pemilahan jenis sampah di
hulu masih sangat terbatas. Oleh karena itu, sebelum berakhir di TPA
(landfill), sampah sebaiknya melewati proses mechanical-biological treatment
(MBT) untuk memilah mana sampah yang bisa didaur ulang (recyclable),
didegradasi (degradable), dan dibakar (combustible). Fraksi
degradable dalam sampah kota, umumnya didominasi sisa makanan rumah tangga,
restoran, supermarket, dll. Jenis sampah ini memiliki kadar air dan klorin
tinggi, dengan nilai kalor rendah. Sampah perkotaan yang tiba di TPA,
rata-rata didominasi fraksi ini, 40 - 60 persen. Jika
hanya dibiarkan menggunung di TPA, proses degradasi sisa makanan ini akan mengeluarkan
biogas yang berisi gas metana dan karbon dioksida selama proses
penguraiannya. Studi Environmental Protection Agency AS menunjukkan per satu
ton sisa makanan akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 595 kg
ekuivalen CO2. Ini sama dengan emisi mengendarai mobil bensin sejauh 3.000
km. Atau setara pemakaian listrik rumah tangga sebesar 700 kWh. Di
sini pentingnya tahap recovery. Untuk fraksi degradable, proses biologis
seperti anaerobic digestion bisa mempercepat proses dekomposisi sehingga
biogas yang dihasilkan lebih kaya metan, sehingga bisa dikonversi jadi
listrik, panas, CNG, atau bahkan hidrogen. Proses biologis lain seperti
composting bisa mengubah biomassa jadi kompos cair atau padat untuk
menyuburkan tanah. Fraksi
recyclable biasanya berupa plastik (PET, HDPE, PP, LDPE), aluminium, dan
besi. Namun, teknologi daur ulang punya keterbatasan dan butuh input material
berkualitas tinggi dengan tingkat kontaminan rendah. Ini yang menyebabkan
persentase sampah plastik yang didaur ulang, bahkan di negara maju seperti AS
sekali pun masih sangat rendah, hanya 9 persen dari total sampah plastik yang
dihasilkan. Proses daur ulang juga menurunkan kualitas ikatan polimer dalam
plastik, sehingga plastik hanya bisa didaur ulang sebanyak 2-3 kali sebelum
berakhir di TPA. Lalu
apa yang bisa dilakukan bagi sampah yang tak mencapai kriteria daur ulang
atau telah mencapai maksimum gunanya, agar tak berakhir di TPA? Teknologi
MBT, memilah fraksi combustible dari sampah dan mengolahnya jadi material
yang lebih homogen dan lebih mudah dibakar (refuse-derived fuel/RDF). RDF
kemudian bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif (co-firing) pada
cement kiln dan di PLTU batubara, atau sebagai bahan bakar utama dalam
pembangkit listrik RDF. Dalam
pembakaran co-firing baik di kiln (tanur) maupun di PLTU batubara, fraksi
sampah yang telah diolah jadi RDF atau Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJB) ini
dibakar bersama-sama dengan batubara, sehingga diharapkan menurunkan emisi
rumah kaca. Di Cilacap, 120 ton sampah kota setiap harinya sudah diolah
menjadi sekitar 40-60 ton RDF yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif
batubara pada cement kiln milik PT Solusi Bangun Indonesia. Uji
coba untuk co-firing RDF di PLTU batubara telah dilakukan PLN di beberapa
PLTU. Sayangnya, jika bahan baku RDF dari sampah kota, butuh pengolahan lebih
rumit agar memenuhi standar kualitas BBJP. Ini karena material organik fraksi
degradable sampah kota memiliki sifat jauh dari batubara. Pilihan
lainnya, pemusnahan sampah kota secara langsung dengan teknologi termal. Jika
yang dimusnahkan sampah campur, teknologi termal disebut insinerator, dan
jika yang dimusnahkan RDF, teknologi ini disebut RDF Power Plant. Meskipun,
banyak kekhawatiran bahwa teknologi berbasis termal menghasilkan buangan
berbahaya, seperti SOx, NOx, dioksin, furan, timbal, atau merkuri, namun
dengan penerapan sistem pengendalian emisi udara yang tepat, gas buang ini
dapat dikendalikan. Swiss,
Denmark, Jerman, Luksemburg dan Singapura mengandalkan teknologi termal dalam
pemulihan energi dari sampah yang tak bisa didaur ulang. Pengolahan sampah menjadi energi
listrik (PSEL) Jerman,
sebagai champion daur ulang di dunia, mendaur ulang 65 persen sampahnya.
Apakah sisanya langsung berakhir di TPA? Ternyata tidak. Landfill avoidances
rate di Jerman mencapai 99,12 persen atau hanya 0,88 persen sampah berakhir
di TPA. Caranya, dengan menghancurkan sampah secara masif melalui teknologi
termal sehingga abu yang tersisa sangat minim. Perkembangan
teknologi termal juga membuat emisi yang dihasilkan kian ramah lingkungan.
Dioksin bisa dicegah pembentukannya dengan merancang ruang bakar untuk
mendapatkan kondisi pembakaran sempurna pada suhu dan turbulensi yang tinggi. Sebagai
tahapan final, untuk meminimalkan risiko terlepasnya dioksin yang mungkin
terbentuk kembali akibat proses pendinginan, gas buang dinetralkan dengan
injeksi karbon aktif dan zat-zat lain sebelum disaring melalui proses
pembersihan gas lain seperti catalytic converter dan wet/dry scrubber. Proses
panjang pembersihan gas buang ini memastikan bahwa, emisi dari insinerator
tak melebihi baku mutu yang dipersyaratkan, sehingga bisa diterima di
negara-negara yang tuntutan lingkungannya tinggi seperti Swiss, Denmark, dan
Luksemburg. Teknologi
termal lainnya adalah gasifikasi. Selama proses gasifikasi, sampah dipanaskan
dengan jumlah udara yang minim, sehingga struktur kimianya terdegradasi.
Proses degradasi kimia ini menghasilkan synthetic gas (syngas) yang memiliki
suhu dan tekanan rendah. Syngas ini berisi hidrogen dan hidrokarbon yang kaya
energi, dan bisa digunakan untuk menghasilkan listrik melalui turbin uap, ICE
(internal combustion engine), atau turbin gas. Pembangkit
listrik dengan gasifikasi memiliki efisiensi konversi listrik yang lebih
tinggi dan emisi yang lebih rendah dibandingkan insinerasi. Syngas juga bisa
diolah lebih lanjut jadi biofuels, seperti metanol, etanol, BBM, dan
hidrogen. Dalam
aplikasi sampah, teknologi gasifikasi merupakan teknologi pengolahan sampah
yang bersifat emerging, menjanjikan ke depannya, dan membutuhkan
penyempurnaan akhir. Saat ini gasifikasi telah diterapkan dalam PSEL Surabaya
dan PSEL Kota Solo. Tantangan
utama PSEL adalah biaya investasi masih mahal. Melalui Perpres No 35/2018,
pemerintah berusaha memberikan insentif bagi proyek PSEL agar dapat menjual
listriknya lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik lain. Meski demikian,
insentif dari sisi pembangkitan listrik saja tak pasti dan tak memadai untuk
PSEL. Ini mengingat kualitas sampah yang jauh dari kualitas batubara,
sehingga listrik yang dihasilkan juga akan mengikuti kualitas itu. Fungsi
utama PSEL adalah pemusnahan sampah, sebagai bagian dari kewajiban pemda
untuk menyelenggarakan pengelolaan sampah (UU No 23/2014 tentang Pemda, UU No
18/ 2008 tentang Pengolahan Sampah, dan Perpres No 97/2017 tentang Kebijakan
Strategis Nasional di bidang Persampahan. Pada
2019, Pemprov DKI mengeluarkan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun untuk
pengelolaan TPST Bantargebang dan berbagai kompensasi yang diberikan pada
Pemkot Bekasi, atau Rp 440.000 per ton sampah. Angka ini di luar biaya untuk
memobilisasi sampah dari Jakarta ke TPST Bantargebang, serta biaya
rehabilitasi dan pemeliharaan yang wajib dibayar Pemprov DKI selama 30 tahun
setelah TPA ini tidak lagi digunakan. Angka
itu juga belum menyertakan seluruh biaya eksternalitas dampak negatif akibat
gundukan sampah, seperti dampak ekonomi akibat pencemaran air tanah, emisi
gas rumah kaca, rusaknya kesehatan karena dioksin jika TPA terbakar (seperti
terjadi di 2015 selama berminggu minggu), dan turunnya nilai ekonomi lahan di
seputar TPA. Sayangnya,
dari 12 kota yang disebut dalam perpres percepatan PSEL, baru PSEL Benowo di
Surabaya yang telah berhasil beroperasi. PSEL ini mengolah 1.000 ton sampah
kota tiap hari dengan metode gasifikasi untuk menghasilkan listrik sebesar 9
MW. Pengembalian investasi didapatkan dari hasil penjualan listrik ke PLN
dengan harga 13,5 sen dollar AS/kWh dan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah
(BLPS) dari Pemkot Surabaya Rp 170.000/ton. Dari
angka-angka ini, bisa dihitung bahwa biaya yang perlu dibayarkan untuk
memusnahkan sampah dalam PSEL Benowo setara Rp 520.000/ton sampah. Ini
tak jauh beda dengan biaya Pemprov DKI untuk menata sampahnya di TPST
Bantargebang. Hanya saja, sampah yang berakhir di PSEL Benowo tak menambah
gunungan sampah, sehingga menurunkan liabilitas jangka panjang yang dihadapi
Pemkot Surabaya akibat dari faktor-faktor eksternalitas. Sampah tanggung jawab siapa Persoalan
sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Kolaborasi semua pihak
dibutuhkan agar sampah tak diperlakukan keluar dari konsep ekonomi sirkuler.
Upaya percepatannya bisa dilakukan melalui, pertama, menggencarkan pemilahan
sampah dari hulu untuk meningkatkan efisiensi jumlah sampah yang didaur ulang
dan menurunkan peluang terjadinya kontaminasi. Kedua,
penerapan prinsip polluter-pays-principle. Jika dilihat data biaya
pengelolaan sampah di Jakarta dan Surabaya, dibutuhkan biaya pengolahan
minimal Rp 440-Rp 520/ kg sampah. Ketiga,
pemerintah perlu mendorong integrasi pendanaan untuk proyek PSEL. Bantuan
oleh pemerintah pusat saat ini melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-fisik
BLPS. Keterlibatan swasta didorong lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan
Badan Usaha (KPBU). Dengan KPBU, pemerintah pusat dapat memberikan dukungan
penyiapan proyek melalui Project Development Facility (PDF). Dukungan fiskal
juga bisa diberikan melalui Viability Gap Fund (VGF) agar proyek bisa layak
secara finansial, sehingga mampu menarik keterlibatan badan usaha investor. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/13/ekonomi-sirkuler-dan-persampahan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar