Menghindari
Jebakan Eskatologis Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI);
Mengajar Ilmu Politik di sejumlah universitas |
KOMPAS, 11 September 2021
Kenapa
badai meniup di Kabul, kupu-kupu mengepak di Jakarta? Apa sesungguhnya yang
diperjuangkan oleh mereka yang intoleran dan antidemokrasi? Ada apa dengan
mereka yang terus merindukan Piagam Jakarta? Mengalir
di mana-mana diskusi tentang dampak kemenangan Taliban di Afghanistan
terhadap revivalisme semangat dan ancaman radikalisme di Tanah Air. Dalam
sebuah diskusi terarah (FGD) yang diselenggarakan Divisi Humas Mabes Polri,
Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Densus 88), Martinus Hukom, menguak konsep eskatologi sebagai basis teologis
di balik perluasan aksi teroris dalam sejarah. Simpatisan Taliban, termasuk
semua pendukung teokrasi yang menginginkan negara berbasis kitab suci, tentu
memegang konsepsi keselamatan tertentu yang memicu lonjakan militansi dari
waktu ke waktu. Seperti
kaum teroris dan kaum radikal dari segala latar belakang (budaya, agama,
ekonomi, dan sebagainya), Taliban meyakini realitas sosial-politik hari ini
berada dalam cengkeraman Batara Kala sehingga perlu ada “aksi
penyelamatan”—meskipun mereka tak menyadari orang lain justru melihat aksi
mereka sebagai ancaman bagi ekosistem sosial-politik luas! Eskatologi
biasa dikenal sebagai “doktrin akhir zaman”. Dalam bahasa Yunani, ada kata
aeon yang artinya “akhir dari suatu fase sejarah”. Lalu, ada nosi eschatos
yang artinya “yang terakhir”. Eskatologi lumrah dikaitkan dengan teologi
agama-agama samawi seperti Yahudi, Islam, dan Kristen yang mengintroduksi
konsepsi keselamatan akhir zaman. Sebetulnya,
istilah ini tidak hanya terbatas pada konteks teistik. Dalam mitologi ataupun
cerita rakyat yang berkembang dalam beragam masyarakat, konsep eskatologi
juga berkembang. Ada yang menafsirnya sebagai akhir dari realitas duniawi
seperti kehancuran planet bumi. Dari akar katanya, eskatologi mengacu pada
akhir dari suatu periode zaman. Spektrum “periode zaman” ini beragam secara
kultural, sehingga “akhri zaman” juga konsep yang plural. Meyakini
adanya akhir zaman dan mengharapkan keselamatan kekal adalah pilihan personal
yang tentu baik. Namun,
harapan eskatologis terkadang memudarkan kesadaran tentang realitas hari ini.
Kita masih ingat tragedi di Uganda tahun 2000. Ada 700 jemaat “gereja akhir
zaman” membakar diri secara massal. Mereka menganut paham post-milenial dalam
doktrin akhir zaman bahwa pergantian milenium (1.000 tahun) adalah jejak
waktu Parousia atau kedatangan Yesus Kristus untuk kedua kalinya. Membakar
diri adalah aksi menyongsong keselamatan kekal. Kita
juga ingat, di awal penetapan kebijakan karantina dan jarak sosial (social distancing), banyak umat dari
berbagai agama menolak penutupan rumah ibadah. Penghayatan yang mendalam,
terkadang menjadi radikal, tentang keselamatan kekal acapkali membuat
sebagian orang mengabaikan masa kini. Realitas masa depan dan kekinian Eskatologi
adalah konsep yang cair. Tiap agama dan tradisi memiliki pandangan
tersendiri. Bahkan dalam satu agama atau tradisi tertentu muncul
kelompok-kelompok tafsir yang variatif tentang denotasi eskalotogi. Orang
merindukan datangnya keselamatan kekal itu. Biasanya, kerumitan realitas
hidup mendorong orang bertransendensi pada suatu realitas masa depan. Positifnya,
hal itu memupuk harapan dan menguatkan. Negatifnya, orang terjebak pada
harapan masa depan sampai gagal untuk berharap pada realitas kekinian. Inilah
yang saya sebut dalam tulisan ini sebagai “jebakan eskatologis”. Komunitas
teroris, kaum radikal kiri maupun radikal kanan, termasuk kelompok
anti-demokrasi lainnya melihat modernisme, globalisme, termasuk praksis
demokrasi liberal sebagai kemunafikan melembaga yang harus didekonstruksi
secara menyeluruh. Negara
komunis sampai hari ini melihat keterkekangan warganya sebagai pilihan
terbaik untuk menghindari keburukan modernisasi dan globalisasi. Wahabi,
termasuk ISIS, berkembang luas setelah Musim Semi Arab tahun 2010. Gagasannya
sama, bahwa demokrasi bukan jalan terbaik. Namun, mereka bukan komunis yang
anti-agama. Mereka hanya ingin mendirikan negara berdasarkan ayat suci
sebagai bentuk operasionalisasi dari harapan eskatologis yang diterjemahkan
ke dalam praksis politik. Di
Eropa Barat, setidaknya dalam catatan Michael Minkenberg (2000), radikalisme
sayap kanan terus menguat. Neo-fasisme berkembang di Jerman, dari Munchen dan
Dresden menuju Molln dan Magdeburg, dan di Perancis, dari Vichy ke Vitrolles. Tahun
2012, ketika kami masih berada di Jerman, ribuan neo-Nazi memadati Dresden,
dan sepanjang 2013-2014 aksi protes kelompok ini terjadi di Hamburg menyusul
kebijakan pemerintahan Angela Merkel yang membuka pintu bagi pengungsi Timur
Tengah. Bersamaan
dengan itu, sebagian radikalis sayap kanan di 2013 muncul dengan baju partai
politik Alternative fur Deutschland (AfD) yang sukses di semua parlemen
negara bagian pada pemilu 2014 dan memenangi 12,6 persen suara di pemilu
federal 2017. AfD kini menjadi oposisi terkuat terhadap pemerintahan koalisi
gemuk Angela Merkel. Dalam
sebuah wawancara media, bekas teroris yang pernah dibekuk Densus 88, Ustaz
Khairul Ghazali, berbagi kisah soal banyaknya ikhwan muda, yang dia lihat di
Sumatera Utara, mau mendaftar sebagai teroris karena tergerak oleh janji
bertemu 72 bidadari di surga nanti. Gagasan
eskatologi yang cair, dari dimensi waktu, membuat sebagian orang memegang
tafsir subyektif yang tentunya berpengaruh terhadap perilaku sosial di tengah
kompleksitas societal yang jamak dan luas. Paradoks demokrasi Di
zaman modern, demokrasi diterima sebagai sistem politik yang mendamaikan
harapan eskatologis dengan realitas kekinian. Demokrasi memungkinkan konsepsi
keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan hak individu memperoleh pewujudan yang
konkret—meskipun tesis ini justru menjadi perdebatan kekal karena paradoks
tak terhindarkan dalam praksis! Ketika demokrasi melahirkan paradoks, ada
yang mulai ragu dengan demokrasi, tetapi tetap menerimanya sebagai sistem
minus malum. Sedangkan
yang lain berusaha membangun sistem alternatif seperti mengusung konsepsi
khilafah. Mereka menolak dalil “kedaulatan rakyat” dan menghendaki negara
yang berdasarkan “kedaulatan Tuhan”. Dalam sejarah politik, memang dikenal
konsep itu sebagaimana halnya konsep “kedaulatan raja” dalam monarki, atau
“kedaulatan negara” dalam sistem otoriter. Tak
ada realitas tanpa konflik. Itu sudah menjadi hakikat dari kehidupan sosial.
Antagonisme politik pun, mengutip Maurice Duverger (1972), sering kali
menjelma menjadi konflik. Demokrasi
sebagai tesis sejarah tentu mengandung antitesis yang melahirkan
pertentangan. Tetapi, hal itu tidak dengan sendirinya menyingkirkan seluruh
konten baik di dalam mazhab demokrasi. Maka, pilihannya bukan pada bagaimana
menghancurkan, melainkan bagaimana membenahi demokrasi. Pancasila sebagai lensa waktu Para
pendiri bangsa, founding fathers,
ini telah menyepakati demokrasi sebagai sistem politik yang terbaik. Mereka
tak memilih teokrasi, negara agama, meski itu hal yang sangat mungkin karena
Indonesia negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Bahkan ketika Piagam
Jakarta menjadi perdebatan sengit, para pendiri berjiwa besar untuk menerima
Pancasila sebagai dasar negara. Keselamatan
yang ditawarkan agama hanya mungkin diwujudkan dalam hidup duniawi melalui
penegakan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam suatu koeksistensi
membangsa yang menjunjung persatuan. Sungguh
dahsyat yang dikatakan Bung Karno, dalam pidato di hadapan Sidang BPUPKI 1
Juni 1945, bahwa mendirikan sebuah negara-bangsa bernama “Indonesia” adalah
“…mendirikan satu Nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung
Sumatera sampai ke Irian…”. Demokrasi
yang kita bangun bukan demokrasi impor, melainkan sistem yang beradaptasi
dengan kontekstur lokal yaitu “musyawarah dalam mufakat” demi keterwujudan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jelas
sekali tercatat, Pancasila sebagai Weltanschauung mengandung makna implikatif
bahwa Pancasila merupakan (a) lensa waktu untuk kita menatap masa kini dan
masa depan sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka, yang dengannya kita
bisa memiliki kacamata yang sama sebagai satu entitas kebangsa -an, dan (b)
sebuah pandangan dunia atau falsafah yang mendasari seluruh sistem berpikir
dalam mengatur diri sebagai negara-bangsa. Dengan
redaksi lain, Pancasila adalah fondasi eskatologis untuk kita bisa berharap
akan keselamatan di masa depan dengan menghargai dan memaknai hidup hari ini
dalam kebersamaan sebagai satu Indonesia. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/menghindari-jebakan-eskatologis/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar