3
Skenario Masa Depan Taliban Afghanistan dan Perang Barat Merve Seren ; Asisten Profesor di Universitas Ankara
Yildirim Beyazit |
REPUBLIKA, 14 September 2021
Serangan 11 September, serangan
teroris paling mematikan dalam sejarah AS, mewakili momen penting dalam hal
sifat strategis, kebijakan kontra-terorisme negara, doktrin militer, hukum
internasional, dan kemampuan aktor non-negara bersenjata, serta literatur
keamanan. Setelah serangan tersebut,
AS mendeklarasikan “Perang Global Melawan Terorisme”, di mana negara itu
menerima dukungan tidak hanya dari komunitas internasional tetapi juga hukum
internasional mengenai alasan (serta tujuan dan cara) melakukan perang ini. Setelah 9/11, Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan serangkaian
resolusi yang memberikan wewenang untuk membalas serangan (dan dengan
legitimasi aksi militer) yang memungkinkan mengambil tindakan atas nama
pertahanan diri bersama, di mana sebuah konsensus koalisi terbentuk. Selanjutnya, untuk pertama
kalinya dalam sejarah, NATO menggunakan salah satu pasal paling kritis dari
perjanjian saat organisasi itu didirikan (Pasal 5). Pakta Pertahanan Atlantik
Utara itu memutuskan untuk mengambil tindakan militer, untuk pertama kalinya
mempraktikkan prinsip-prinsip “pertahanan kolektif” dan “hubungan aliansi”,
atas dasar bahwa “serangan terhadap satu sekutu dianggap sebagai serangan
terhadap semua sekutu”. Faktanya, NATO mampu
mengambil keputusan sepihak seperti itu untuk pertama kalinya dalam
sejarahnya. Dengan demikian, AS menerima dukungan dari organisasi regional
dan internasional dalam perjuangannya melawan Al-Qaeda dan kolaboratornya. Pada 7 Oktober 2001,
“Operasi Enduring Freedom” diluncurkan terhadap Afghanistan sesuai dengan
semua hak dan kekuasaan yang diberikan kepada AS berdasarkan hukum
internasional, khususnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1373. Namun, Gedung Putih
mengambil konsep selangkah lebih maju dalam menanggapi tragedi 9/11, yaitu dengan
apa yang disebut sebagai strategi yang mengejutkan. Sementara, kebijakan
anti-terorisme baru AS yang dikonseptualisasikan sebagai “Doktrin Bush”
dirumuskan ulang untuk memiliki pendekatan pertahanan dan pencegahan, menjadi
topik diskusi baru dalam literatur hukum internasional. Tetapi, kebijakan
kontra-terorisme AS yang dilakukan dengan dukungan masyarakat internasional,
organisasi dan hukum, mulai mendapat reaksi keras dalam waktu singkat karena
perbedaan antara teori dan praktiknya. Selama kurun waktu yang
sama, kami mengamati bahwa status AS mulai berkembang pesat dari kekuatan
hegemonik – yang memerangi terorisme dalam skala global dan menjanjikan untuk
membangun perdamaian, stabilitas, dan demokrasi di seluruh dunia – menjadi
status “ekspansionis” dan "penyerbu". Dari status tersebut,
pertama, Amerika Serikat tidak menghormati prinsip “proporsionalitas” dalam
undang-undang yang mengatur penggunaan kekuatan. Kedua, AS telah
menyebabkan kerugian bagi banyak pihak, terutama korban sipil. Ketiga, AS
tidak memperlakukan kombatan dan tahanan dengan baik, yang digambarkan
sebagai “elemen bermusuhan”. Keempat, dengan pendekatan
“negara ekspansionis”, AS berupaya mewujudkan proyeknya membentuk “bangsa”
dan “negara” dengan memaksakan budaya, aturan, dan institusinya sendiri. Misalnya, serangan udara
besar-besaran yang digunakan secara tidak proporsional oleh AS yang
menyebabkan ribuan warga sipil yang tewas telah memicu ketidakpercayaan dan
kemarahan rakyat Afghanistan terhadap Amerika dan pasukan koalisi
internasional. Serangan udara tersebut
juga digunakan oleh Taliban sebagai retorika dan salah satu argumen terkuat
mereka untuk mendapatkan dukungan rakyat. Jumlah korban sipil antara
2016 dan 2020 saja adalah 3.977 orang, 40 persennya adalah anak-anak. Pasukan
koalisi internasional bertanggung jawab atas 62 persen dari jumlah total
kematian. Faktanya, saat AS menarik
diri dari Afghanistan, negara itu melakukan pembantaian lain yang menewaskan
10 orang, termasuk enam anak dari keluarga yang sama dalam serangan pesawat
tanpa awak yang dilakukan di Kabul terhadap cabang Daesh (ISIS) Afghanistan
pada 29 Agustus, 2021. Selain itu, meskipun
Presiden Bush mengklaim bahwa para tahanan di kamp penahanan Teluk Guantanamo
diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa, penjara militer AS di Kuba
tercatat dalam sejarah sebagai sumber rasa malu dan dikritik keras oleh dunia
internasional. Masyarakat menyaksikan
rekaman para tahanan yang ditahan di sana, meskipun tidak ada tuduhan
terhadap mereka, tapi mereka menjadi sasaran praktik tidak manusiawi, seperti
penyiksaan, mendapat liputan media internasional. Namun, setelah kesepakatan
damai yang ditandatangani pada Februari 2020, AS mengubah gerilyawan Al-Qaeda
dan Taliban yang disebutnya sebagai “tersangka teror” di Guantanamo menjadi
aktor politik, yang telah dilegitimasi oleh AS sendiri. Meskipun AS masih
menganggap Al-Qaeda sebagai “organisasi teroris”, tidak mungkin dapat
membedakan dengan jelas antara unsur-unsur Al-Qaeda dan Taliban di antara
ribuan tahanan yang baru saja dibebaskan. Selain itu, juga terungkap
bahwa sejumlah besar elemen Al-Qaeda termasuk di antara gerilyawan Taliban
yang dengan cepat memperluas kontrol teritorial mereka di Afghanistan utara
mulai musim semi 2021. Selain itu, salah satu
syarat paling kritis yang diajukan oleh AS dalam kesepakatan damai tersebut
adalah bahwa Paman Sam dan Taliban akan saling berperang melawan Daesh, yang
menunjukkan betapa pragmatis, tidak stabil, dan artifisial kebijakan
kontra-terorisme negara adi daya itu. Amerika melawan Taliban
dan al-Qaeda telah selama 20 tahun terakhir. Sikap AS ini telah memicu
perdebatan dan masalah besar tentang “siapa” yang perlu didefinisikan sebagai
organisasi teroris dan “siapa” sebagai aktor politik yang sah, serta “kapan”,
“dalam kondisi apa”, dan “bagaimana ”. Demikian pula, upaya AS
untuk secara paksa mengekspor demokrasi ke berbagai negara, serta
kesepakatannya dengan organisasi teroris yang mengintimidasi orang dengan
kekerasan dan secara kejam merebut kendali teritorial melalui kekerasan,
telah sangat merusak reputasi AS di mata masyarakat internasional dan
merupakan manifestasi konkret dari akhir kepemimpinan globalnya. Sedangkan alasan utama
kehadiran AS di Afghanistan adalah untuk menghilangkan ancaman Taliban dan
Al-Qaeda, serta untuk membawa stabilitas dan perdamaian ke kawasan dan negara
dengan membangun negara-bangsa dan membebaskan Afghanistan dari statusnya
sebagai “ negara gagal", "lemah", "rapuh" dan
"runtuh", Tahap yang dicapai pada peringatan 20 tahun tragedi 9/11
adalah menyaksikan penyerahan Afghanistan kepada Taliban. Meskipun melihat tindakan
masa depan Taliban akan menjadi pendekatan yang lebih tepat untuk menentukan
apakah organisasi ini telah berubah dalam dua puluh tahun terakhir atau
tidak, masa depan tampaknya juga tidak begitu cerah untuk Afghanistan. Alasannya, karena Taliban
tidak pernah terbuka untuk gagasan mengadakan pemilu secara demokratis selama
pembicaraan damai, sementara juga tidak memperhitungkan tingkat keterwakilan
kelompok etnis lain dalam model pemerintahan sementara yang dibangun. Skenario
potensial Ketika kita
mempertimbangkan keadaan dan aktor saat ini, kita dapat berbicara tentang
tiga skenario utama mengenai masa depan Afghanistan: Yang pertama adalah bahwa
Taliban akan mengadopsi sikap yang lebih berkompromi daripada pada 1990-an
yang memungkinkannya untuk berintegrasi ke dunia. Ini terutama karena
ketergantungan penuh negara pada bantuan asing. Afghanistan tidak dapat
mempertahankan dirinya sendiri kecuali negara-negara asing membantunya dengan
segala sesuatu mulai dari makanan hingga amunisi. Akibatnya, tampaknya
Taliban bermaksud untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan, setidaknya
untuk saat ini, melalui diplomasi dan penerapan mekanisme rekonsiliasi. Skenario optimis ini akan
membuat Taliban mendapatkan legitimasi dan pengakuan internasional dalam
waktu singkat. Skenario kedua adalah
bahwa aktor yang tidak ingin menyerahkan Afghanistan sepenuhnya kepada
Taliban akan mendukung aktor non-negara bersenjata lainnya dengan mempercepat
perang proxy. Akibatnya, Taliban akan menjadi tidak berdaya, tidak memiliki
kemampuan dan kapasitas untuk membela negara dan dengan demikian mengaktifkan
mekanisme perlawanan domestik. Dengan cara ini,
Afghanistan akan terseret ke dalam perang saudara, yang akan meletus dengan
pemberontakan kelompok-kelompok etnis yang ditolak haknya untuk diwakili, dan
harus menunggu intervensi dari kekuatan global lainnya. Skenario ketiga adalah
bahwa Taliban menyadari bahwa mereka tidak dapat menjadi satu-satunya aktor
dominan di negara tersebut dan dipaksa untuk berkolaborasi dengan aktor lain. Kerja sama yang dimaksud,
di sisi lain, akan memunculkan tiga kemungkinan alternatif: “model negara
konfederasi” tanpa adanya pemerintahan partisipatif, perubahan mekanisme
pemerintah daerah (sehingga gubernur, misalnya, akan dipilih), atau pembagian
negara menjadi dua seperti utara dan selatan. Namun, perpecahan seperti
itu akan menciptakan situasi geopolitik yang jauh lebih menantang dan genting
bagi kawasan tersebut. Pada peringatan kedua
puluh 9/11 dan invasi ke Afghanistan, Amerika Serikat terpaksa menarik diri
dari negara itu, yang pada gilirannya menimbulkan kerugian besar. Lebih buruk lagi, AS
melakukannya dengan menyerahkan negara kepada elemen-elemen yang telah
diperjuangkannya selama 20 tahun, sementara juga citra globalnya telah sangat
ternoda. Afghanistan sekarang
menjadi negara yang lebih rapuh daripada dua puluh tahun yang lalu. Kerapuhan
ini akan diperbaiki di era Taliban kedua atau Afghanistan akan memberikan
beban geopolitik yang lebih besar di wilayah tersebut. Meminimalkan beban ini
sepenuhnya bergantung pada keputusan Taliban untuk tidak memaksakan rezim
yang menindas dengan membentuk pemerintahan yang inklusif, serta pada
konsensus geopolitik negara-negara di kawasan itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar