Saipul
Jamil Hingga Pelecehan: Reputasi KPI Dipertaruhkan Verdy Firmantoro ; Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia |
REPUBLIKA, 12 September 2021
Reputasi Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dipertaruhkan. Sejumlah persoalan yang menerpa lembaga
independen negara itu berdampak memengaruhi pandangan publik. Alih-alih
eksistensinya diharapkan memberikan dampak signifikan, namun justru acap kali
kontroversial. Kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan (bullying) yang
melibatkan pegawai di lingkungan instansi tersebut menambah daftar panjang
citra buram KPI. Lembaga terhormat yang
diberikan mandat konstitusi mengawasi dan memberikan sanksi terhadap tayangan
menyimpang termasuk melarang muatan kekerasan. Bagaimana bisa justru diterpa
persoalan bertindak tidak mencerminkan yang diaturnya. Sebelum viral seperti
saat ini, kasus ini belum mendapat perhatian khusus di internal KPI. Kasus
ini memancing perdebatan publik untuk mendalami masalah yang sebenarnya
antara terduga pelaku dan korban perundungan. Di satu sisi, tantangan
penyiaran yang semakin kompleks mendorong peran dan fungsi KPI perlu lebih
kuat. Di sisi lain, melalui kasus ini semakin membuka mata publik bahwa KPI
sedang tidak baik-baik saja dan layak dievaluasi. Setidaknya ada tiga hal
yang patut ditinjau kembali, mulai dari sistem organisasi; kualitas SDM;
hingga kewenangan dan payung regulasi. KPI saatnya berbenah dengan membangun
tata kelola kelembagaan yang baik dan perlu lebih peka terhadap kondisi di
internal. Evaluasi
KPI KPI tengah mendapat
sorotan banyak pihak. Pasca sebelumnya memancing reaksi keras publik terkait
wacana pengaturan layanan Over-the-Top (OTT). Kini disangkutkan dengan
sejumlah isu yang viral, seperti kembalinya Saipul Jamil ke layar kaca dan
dugaan pelecehan seksual di lingkungan kerjanya. Ini ujian bagi KPI. Bukan
hanya melihat keputusan-keputusan yang diambil, lebih dari itu memotret
secara keseluruhan kinerja KPI yang belum optimal. Lebih lanjut, berkaitan
dengan pernyataan KPI melakukan pengawasan platform internet telah dibantah
oleh anggota komisioner KPI yang lain. Pernyataan itu dianggap belum mewakili
institusional, melainkan hanya personal. Artinya komunikasi organisasi di
tataran internal komisioner bermasalah. Selain itu, sikap KPI
terhadap tayangan Spongebob Squarepants sampai Shizuka di kartun Doraemon
menuai polemik. Publik menilai ada inkonsistensi sikap KPI terhadap
tayangan-tayangan yang lebih bermasalah justru luput dari sanksi KPI. Kini
KPI semakin diperbincangkan publik. Diperbincangkan bukan dalam arti yang
positif karena capaian prestasinya, namun justru sebaliknya. Dugaan pelecehan seksual
dan perundungan kali ini bukan sebagai tayangan yang diawasi, tetapi justru
diduga melibatkan pegawai KPI sendiri. Jika mengikuti kronologis peristiwa
ini dari narasi pelapor yang menyebutkan sudah terjadi sejak 2011/2012 dan
terjadi secara berulang. Sementara dari persoalan yang menahun tersebut pihak
KPI belum bersikap untuk memberi solusi. Artinya mekanisme sistem di internal
bermasalah, sehingga terkesan masalah seolah “harus viral dulu” baru
bertindak. Terlepas persoalan dugaan
pelecehan seksual dan perundungan telah masuk di kepolisian. Namun momen ini
menjadi pertaruhan bagi KPI. Jika KPI tidak mampu keluar dari krisis ini,
bukan tidak mungkin publik semakin resisten. Padahal, notabene keberadaan KPI
sebagai representasi publik untuk mengawal sistem penyiaran yang sehat. Pemapanan
Kelembagaan Eksistensi KPI diperlukan
mengelola sistem penyiaran sebagai instrumen publik. Undang-Undang No. 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi alas hukum keberadaan independent
regulatory body tersebut. Setidaknya sejak berdiri sampai saat ini, KPI pusat
sudah enam kali melakukan pergantian pimpinan atau ketua. Mulai dari Victor
Menayang (2003-2007); Sasa Djuarsa Sendjaja (2007-2010); Dadang Rahmat
Hidayat (2010-2013); Judhariksawan (2013-2016); Yuliandre Darwis (2016-2019);
dan Agung Suprio (2019-2022). Mekanisme pemilihan
komisioner KPI dilakukan oleh DPR. Keputusan KPI bersifat kolektif kolegial
yang terdiri dari sembilan komisioner. Dalam mengemban tugasnya, KPI dibagi
menjadi tiga bidang meliputi: kelembagaan, struktur dan pengawasan isi
siaran. Upaya memapankan
kelembagaan menjadi pekerjaan rumah tersendiri di sisa kepemimpinan KPI
periode 2019-2022. Belum lagi dinamika keorganisasian dan konflik kepentingan
juga tidak menutup kemungkinan menjadi tantangan terbesar. Dalam perspektif
komunikasi organisasi, upaya memapankan kelembagaan bukan hanya bicara
terkait struktur. Merujuk pandangan Elton Mayo dalam komunikasi organisasi
juga melibatkan pentingnya aspek psikologis maupun sosial. Artinya setiap
anggota atau komponen dalam institusi tidak saling berjarak baik relasi
dengan atasan (vertikal) maupun sesama rekan kerja (horisontal). Mengembalikan
Kepercayaan Publik Upaya mengembalikan
kepercayaan publik mutlak dilakukan KPI. Sempat beredar tagar #BubarkanKPI
yang tersebar di berbagai media sosial. Menanggapi hal tersebut harusnya KPI
bisa lebih responsif. Kritik-kritik yang dialamatkan ke KPI dapat menjadi
masukan konstruktif sekaligus dapat merombak tata kelola kelembagaan serta
perbaikan kinerja. Pertama, prioritas utama
KPI menghadapi persoalan dugaan pelecehan seksual dan perundungan di
lingkungan kerjanya dengan menjadi problem solving process facilitator. Dalam
konteks ini terduga pelaku dan korban berasal dari instansi yang sama
mengarahkan KPI perlu terlibat aktif. KPI perlu mengawal sampai kasus
tersebut mendapatkan penyelesaian hukum secara berkeadilan. Kedua, secara kelembagaan
KPI dapat memperbaiki komunikasi organisasi di tataran internal dengan
mengembangkan participative management system. Kepemimpinan KPI bersifat
kolektif kolegial, sehingga setiap keputusan yang disampaikan ke publik harus
dikoordinasikan di lintas komisioner. Selain juga penting membangun sistem
komunikasi dua arah antara organisasi dengan publik. Ketiga, untuk
mengembalikan kepercayaan publik secara menyeluruh perlu mendorong
kerja-kerja yang lebih substansial terkait tugas dan kewenangan penyiaran.
KPI harus fokus dan konsisten dalam menyelamatkan frekuensi publik. Tentu
fokus pada tugas makro sistem penyiaran, tidak melupakan self-control dalam
membangun kapasitas SDM yang memadai dan penuh integritas. Masa depan KPI
adalah masa depan penyiaran Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar