Mengurai
Diskriminasi Terlembagakan terhadap Ahmadiyah Nabhan Aiqani ; Peneliti Setara Institute |
KOMPAS, 14 September 2021
Riuh
kasus penyerangan kelompok orang yang menyatakan diri sebagai Aliansi Melayu
dan POM ke masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak,
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat, 3 September 2021, menyeret
berbagai regulasi dan kebijakan untuk muncul ke permukaan. Peristiwa ini
merupakan buntut dari keluarnya Surat Edaran Bupati Sintang tanggal 29 April
2021 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat di Kabupaten
Sintang yang disusul dengan penyegelan masjid pada 14 Agustus 2021. Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (SKB 3
Menteri) Nomor 3 Tahun 2008 dianggap sebagai dalih dan alas hak bagi
sekelompok orang untuk melakukan aksi represif kepada kelompok Ahmadiyah.
Kebijakan yang sejatinya bersumber dari pusat tak ayal menjadi dasar bagi
pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan turunan serupa. Karena itu,
acap kali dikapitalisasi sebagai bentuk pembenaran atas aksi represif dan
penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Tiga
tahun sebelum terbitnya SKB 3 menteri, meletus peristiwa Parung, Bogor, yakni
aksi penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap kegiatan Jalsah
Salanah (pertemuan tahunan) di Kampus Ahmadiyah. Peristiwa ini pula yang
kemudian menginspirasi terbitnya SKB 3 menteri akibat dari desakan berbagai
pihak. Pasca-SKB
tahun 2008, situasi tidak lantas stabil, serangan dan persekusi terhadap
Ahmadiyah masih saja terjadi. Temuan laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
(KBB) Setara Institute tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkat intoleransi justu
meruncing. Dari total 367 tindakan intoleransi di tahun 2008, lebih dari
setengah pelanggaran tersebut sebagian besar menyasar jemaah Ahmadiyah. Serangan
paling fenomenal dan menyisakan trauma mendalam adalah penyerangan terhadap
jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada tahun 2011. Lima orang terluka dan
tiga orang terbunuh saat menghadapi serangan ratusan massa yang dikobarkan
kebencian karena berbeda pandang dalam hidup beragama. Tidak
berhenti pada peristiwa tersebut, pemerintah daerah menerbitkan Peraturan
Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah di Provinsi
Jawa Barat. Ini semakin menyandera eksistensi dan membuka peluang persekusi
terhadap jemaah Ahmadiyah. Bisa
dikatakan, rentetan peristiwa yang menyasar kelompok Ahmadiyah merupakan akar
dari amburadulnya tata regulasi dan kebijakan. Setara Institute mencatat
total ada 35 produk hukum dan kebijakan, baik dari tingkat pemerintahan pusat
hingga daerah yang menyasar dan berpotensi mengangkangi hak dasar jemaah
Ahmadiyah untuk memperoleh perlindungan sebagai warga negara. Praktis, produk
hukum yang diterbitkan bermuara pada aksi ”diskriminasi yang terlembagakan”. Menilik SKB Sejatinya
poin dalam SKB 3 menteri tidak berbicara tentang keberadaan Ahmadiyah sebagai
aliran yang sesat. SKB tidak lantas menihilkan keberadaan dan eksistensi JAI
sebagai salah satu kelompok yang diakui secara sah sebagai organisasi
masyarakat. Poin
penting dalam SKB ini menyoroti tentang peringatan dan perlindungan.
Peringatan bersifat kepada internal Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran
dan kegiatan keagamaan. Sementara masyarakat umum, diminta untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan
melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI. Namun,
keberadaan SKB ini sering didistorsi dan disandarkan pada fatwa MUI tahun
2005 yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat. Karena itu, produk hukum SKB
dapat dikapitalisasi oleh sekelompok orang untuk membenarkan aksi persekusi
dan penyerangan yang mereka lakukan terhadap kelompok Ahmadiyah. Di
sisi lain, tafsiran-tafsiran dalam poin SKB 3 menteri sangat luwes dan mudah
sekali ditemukan celah untuk pembenaran terhadap persekusi. Misalnya, SKB
hanya menjelaskan tentang peringatan untuk tidak menyebarkan ajaran dan
kegiatan Ahmadiyah, tetapi tidak jelas batasan yang dimaksud untuk kedua
aktivitas tersebut. Logikanya
ketika jemaah Ahmadiyah membangun masjid dan hidup menghimpun di suatu
daerah, bukankah itu berarti mereka menjalankan praktik keagamaannya di
lingkup internal mereka sendiri. Ini juga menjadi cara untuk menutup peluang
penyebaran ajaran di luar dari kelompok mereka. Karena masyarakat akan lebih
mudah mengidentifikasi bahwa di daerah tersebut ada komunitas Ahmadiyah,
selanjutnya tergantung apakah orang itu mau ikut bergabung dan mempelajari
atau justru memilih tidak bergabung, sesuai dengan amanat SKB untuk melarang
penyebaran ajaran. Faktanya
yang terjadi justru semakin banyak aksi perusakan, penyegelan, dan pelarangan
pembangunan masjid Ahmadiyah. Praktik-praktik pelarangan tentu sangat
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya Pasal
29 Ayat (2) yang menegaskan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan
masing-masing”. Hak beragama dan berkeyakinan Pada
prinsipnya hubungan antara manusia dan Tuhan-nya bersifat imanen. Semua akan
sangat subyektif ketika dilihat secara parsial dan fanatis. Dua sikap inilah
yang akan bermuara pada paham radikal. Padahal, pemahaman tentang radikalisme
seharusnya mesti didekonstruksi. Pendapat
filsuf Slavoj Zizek dapat dijadikan rujukan dalam mengartikan radikalisme itu
seperti apa. Menurut dia, apabila seseorang telah berpikir radikal
(fundamental), ia tidak akan merasa terancam dengan kehidupan pihak atau
kelompok lainnya. Lanjutnya lagi, paham radikal diandaikan telah mendapatkan
kebenaran sejati sehingga tidak perlu khawatir dengan pemahaman dan keyakinan
kelompok lainnya. Memang,
Indonesia bukan negara sekuler terbuka layaknya Perancis, Turki, dan negara
Eropa lainnya. Tapi dengan memberi batasan dan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok yang mengalami subversi atas dasar keyakinan bahkan
menjurus pada praktik diskriminasi yang terlembagakan, sudah seharusnya
menjadi tugas bersama. Menerbitkan produk hukum tidak bisa menjadi
satu-satunya solusi untuk menciptakan tatanan yang baik di masyarakat.
Bukankah hukum itu dibentuk dari fakta di masyarakat (das seins). Dengan
demikian, sudah sewajarnya produk hukum SKB 3 menteri mesti dikaji dan
di-review ulang sesuai dengan konteks terkini. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/14/mengurai-diskriminasi-terlembagakan-terhadap-ahmadiyah/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar