Mengubah
Politik Hukum Kita Hamid Awaludin ; Menko Polhukam RI (20 Oktober 2004-8 Mei
2007), Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar |
KOMPAS, 11 September 2021
Nurani
kemanusiaan kita kembali terusik, menyaksikan 43 orang mati terpanggang api
di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang. Mereka tak kuasa menyelamatkan
diri, menunda panggilan Ilahi. Lalu, sebagian di antara kita, mulai membangun
berbagai hipotesa tentang kejadian serupa di beberapa lapas sebelumnya. Ahli
penologi AS, Robert Johnson, sudah lama mengingatkan, kehidupan dalam
penjara, di mana pun, adalah refleksi dari kehidupan di luar penjara.
Dinamika dan segala keribetan hidup di luar tembok penjara, secara otomatis
terekam dan terjadi pada kehidupan di lembaga pemasyarakatan (Johnson, Hard
Time). Dinamika
pertumbuhan penduduk di luar, pasti serta- merta diikuti oleh pertumbuhan
narapidana, yang sekaligus berarti, pembengkakan populasi warga binaan. Maka,
sangat tidak adil bila setiap kejadian dalam lembaga pemasyarakatan/tahanan,
kita menolak dan mencibiri alasan over populasi sebagai, antara lain, penarik
pelatuk masalah. Ini fakta yang sangat pelik untuk membantahnya. Kelebihan
dan kepadatan populasi membawa aneka masalah dalam berbagai aspek, misalnya
keamanan, kesehatan, perilaku, pembinaan dan seterusnya. Bila
kita runut secara kronologis, pembengkakan populasi narapidana kita, terutama
15 tahun terahir, kontributor utamanya kejahatan narkotika. Mengurai benang kusut Bagaimana
mengurai benang kusut masalah lembaga pemasyarakatan kita? Ini tidak sekadar
mengubah kebijakan dan kiat-kiat menyelesaikan soal. Hulu penyelesaian
masalah ada pada politik hukum negara. Paradigma penegakan hukum kita sudah harus
berubah total. Sudah
tiba saatnya kita berpikir dan berprinsip bahwa hukuman atas perbuatan yang
melanggar hukum, tak identik, dan tak harus dengan mengerangkeng badan
pelaku. Cara pandang seperti itu, digelitik oleh motif pembalasan (revenge),
bukan pembinaan. Pada
saat kita menggunakan motif pembalasan dalam kaitan penegakan hukum, saat itu
jugalah dunia pemasyarakatan kita tak pernah lagi menjadi tempat pembinaan.
Kita akan menjejali terus dengan orang-orang yang hendak kita jadikan obyek
pembalasan demi hukum. Selama
paradigma dan prinsip menegakkan hukum identik dengan penjara tetap kita
pakai, selama itu pula gemuruh masalah lembaga pemasyarakatan kita tidak akan
pernah berakhir. Masalahnya, kepadatan populasi warga binaan adalah sumber
berbagai masalah. Membangun
lembaga pemasyarakatan baru, berapa pun banyaknya, tetap tidak memecahkan
masalah secara jangka panjang. Hanya menunda masalah secara jangka pendek.
Apalagi, dengan kemampuan negara yang ada, tak mungkin bisa melakukan
pembangunan lembaga pemasyarakatan secara masif. Hukuman
badan bukan satu-satunya bentuk hukuman untuk menegakkan keadilan. Untuk
jenis dan tingkat kejahatan tertentu, tidak perlu dihukum badan. Sebagai
alternatif, bisa saja negara menghukum mereka dengan community services (kerja sosial). Jenis
hukuman ini memberi dampak langsung kepada masyarakat karena pelaku kejahatan
yang tidak disenangi oleh masyarakat, bisa membayar kesalahannya dengan cara,
memberi pelayanan sosial untuk kemaslahatan masyarakat yang disakitinya.
Semacam remedies atas kesalahannya. Tentu
ada yang mengatakan, hukuman alternatif seperti itu, tidak akan membawa efek
jera. Saya berbeda pendapat dengan itu. Hukuman kerja sosial justru bisa
membawa efek jera karena pelaku kejahatan tidak mau diketahui oleh publik
secara terbuka bahwa dia berbuat kesalahan. Bila mereka masuk bui, mereka
justru menganggap masyarakat luas tidak mengetahui di mana mereka berada, Dalam
konteks ini, polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut, sudah
saatnya melakukan reorientasi penegakan hukum. Paradigmanya harus berubah.
Yang kita saksikan sekarang, justru lembaga-lembaga ini sangat piawai dan
terampil menegakkan hukum lewat pendekatan hukuman badan. Kita
lihat, misalnya, pemakai obat terlarang. Undang-undang sudah jelas mengatakan
bahwa pemakai cukup dihukum dengan rehabilitasi. Tetapi faktanya, banyak yang
dimasukkan bui. Apakah masalah selesai karena sudah jera? Ternyata tidak.
Mereka semakin menjadi-jadi dalam bui kita. Tak
jarang juga kita jumpai, kasus perdata murni, seperti hibah antara anak dan
ayah saja, bisa dengan enteng dijadikan kasus pidana, yang berujung pada
pemenjaraan. Hal-hal seperti inilah yang membutuhkan keseriusan negara untuk
membenahi dunia pemasyarakatan kita yang cenderung selalu menggemuruh. Berikutnya,
ada baiknya pemerintah mulai menyiasasti kepadatan populasi dengan kebijakan
terobosan. Misalnya, untuk warga binaan dengan usia lanjut, anak-anak,
perempuan yang memiliki anak kecil di luar, warga binaan yang memiliki
penyakit tak bisa disembuhkan, dan sebagainya, setelah menjalani sekian
persen masa hukumannya, sebaiknya dikeluarkan saja dan diserahkan ke
keluarganya untuk pembinaan. Masa
asimilasi membutuhkan hitungan waktu yang panjang sehingga tidak bisa
diharapkan mengatasi masalah populasi yang kian membengkak. Kebijakan seperti
ini memang tidak populer, tetapi demi kemanusiaan, sebaiknya segera
dilakukan. Masalah infrastruktur Belajar
dari kejadian Lapas Tangerang, saya yakin, kasus seperti ini bakal terjadi
lagi. Masalahnya, banyak rumah tahanan dan lapas kita, sudah lapuk termakan
usia. Maka, instalasi listrik mereka pun pasti mengalami pelapukan. Belum
lagi populasi yang kian menumpuk, membuat kebutuhan listrik kian banyak.
Kapasitas listrik yang tersedia tidak sebanding dengan kebutuhan, menyebabkan
pemaksaan peningkatan pemakaian. Akibatnya, instalasi-instalasi listrik
mengalami masalah. Ujungnya, kebakaran. Jalan
keluarnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebaiknya segera bekerja sama
dengan PLN atau pun perusahaan swasta di bidang kelistrikan, untuk meminta
bantuan audit-pemeriksaan mengenai instalasi-instalasi listrik di semua rutan
dan lapas. Kejadian Lapas Tangerang, hanya soal waktu saja tidak menular ke
lapas-lapas dan rutan-rutan lainnya. Dan
yang paling penting, setiap lapas dan rutan, ada staf yang memang dididik
khusus untuk menangani masalah kelistrikan. Selama ini, staf kita lebih
banyak difokuskan menangani masalah keamanan (warga binaan tidak berantem,
tidak memberontak, tidak lari, tunduk pada aturan internal yang ada dalam
lapas dan rutan, dan sebagainya). Tidak ada yang ditugasi khusus mengenai
teknis kelistrikan. Searas
dengan ini, peralatan tentang sistem detektor asap/api, memang sudah
seharusnya dipakai di dalam rutan/dan lapas kita sekarang ini. Ini yang
sebaiknya diberi prioritas utama, terutama rutan dan lapas yang menampung
ribuan warga binaan. Ya, apa boleh buat, negara harus menyiapkan dana khusus
mengenai agenda ini. Pelibatan
swasta dalam pengelolaan lapas dan rutan, bukan sebuah ide ilusi, tetapi
layak dicoba. Swasta bisa efisien dan efektif dalam manajemen. Kreativitas
dan inovasi juga bisa dengan mudah diwujudkan dalam sektor swasta. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/11/mengubah-politik-hukum-kita/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar