Kamis, 10 Juni 2021

 

Fetisisme Politik, Efek ”Oracle” dan Tanda Istimewa untuk Utusan Rakyat

Eko Wijayanto  ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia

KOMPAS, 08 Juni 2021

 

 

                                                           

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat kini memiliki pelat nomor kendaraan khusus, seperti halnya pelat nomor TNI dan Polri. Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni (Kompas.com, 21/5/2021), pelat nomor khusus ini akan berlaku untuk semua anggota DPR. Namun, saat ini belum semua memakai pelat nomor itu, baru beberapa anggota dan pimpinan komisi.

 

Seorang wakil rakyat (atau bisa disebut seorang utusan) mendapatkan kekuasaan dari rakyat, para pemberi mandat. Sang mandat yang memberinya kuasa untuk menandatangani atas namanya, bertindak atas namanya, berbicara atas namanya, dan memberikannya kekuasaan penuh, dengan kata lain berkuasa penuh untuk bertindak untuk dirinya.

 

Seorang delegasi yang diutus mempunyai mandat untuk memperlihatkan kesan dari seseorang atau dari sekelompok orang. Jika pengutus (yang memberi mandat) adalah untuk mempercayakan sebuah misi kepada seseorang, dengan menyerahkan sebuah kuasa kepadanya, kenapa seorang delegasi bisa memiliki kuasa terhadap orang yang memberinya kuasa? Hal itu dikarenakan jika seseorang dipercaya oleh banyak orang, orang itu bisa mendapat kekuasaan dari setiap individu yang mengutusnya.

 

Seseorang yang mewakili sebuah kelompok sebenarnya mempunyai hubungan timbal balik dengan kelompoknya. Seorang utusan (misalnya seorang wakil rakyat) terlihat menyuarakan aspirasi dari rakyat, padahal kenyataannya bisa saja dia hanyalah wakil dari kelompoknya (partai politiknya). Namun, seorang utusan ada karena kelompok yang diwakilinya ada dan timbal baliknya yaitu kelompok tersebut menjadikan seorang utusan ada sebagai perwakilan dari kelompoknya.

 

Di dalam perpolitikan, faktanya seseorang tidak dapat mengangkat dirinya sendiri. Karena itu, ada paksaan untuk membuat dirinya berbicara dan didengarkan, kecuali jika dia menempatkan dirinya sebagai pembicara. Seseorang harus mengambil risiko atas aliansi politik untuk bebas dari aliansi politik. Pada kenyataannya, antitomi semacam ini jadi nyata karena adanya dominasi.

 

Dalam perjalanan sejarahnya, mulai terjadi ”jarak” yang memisahkan antara makna di atas dan makna historis dalam kenyataan sejarah. Sang wakil rakyat malah menjadi atasan rakyat yang diwakili—di sinilah kata wakil dalam realitas politik menjadi ambigu. Maka, munculkan fetisisme politik.

 

Para fetisis politik adalah orang-orang yang terlihat berutang budi kepada dirinya sendiri atas eksistensi yang diberikan para agen sosial terhadapnya; mereka yang menciptakan utusan memuja ciptaannya itu. Pemuja politik terdiri dari fakta mengenai nilai yang ada di dalam kepribadian politik, yang merupakan hasil dari otak manusia, terlihat sebagai obyek misterius dari seseorang, pesona, kharisma.

 

Karena itulah, seorang utusan adalah cara dari kelompok mengambil alih dirinya dengan cara memberikan bantuan terhadapnya demi kepentingan kelompoknya. Sebuah kelompok diakui keberadaannya jika dia mampu membuktikan eksistensinya dengan seorang perwakilan yang dapat mewakili mereka.

 

Dapat dikatakan bahwa seorang utusan bertindak sebagai pengganti untuk kelompok yang memberinya mandat. Dengan kata lain, semua yang dilakukannya berasal dari dan untuk kelompoknya. Untuk mengidentifikasikan diri seseorang ke dalam sebuah kelompok seorang delegasi harus menyerahkan dirinya kepada kelompoknya sehingga dalam pengangkatan dirinya memberikan kesan rendah hati.

 

Tindakan kedua dari seorang delegasi, yang dirasa jauh lebih baik, adalah diangkat di dalam realitas sosial, contohnya adalah gereja. Gereja, melalui anggota-anggotanya, memiliki ”monopoli atas legitimasi keselamatan dari Tuhan”. Delegasi dalam hal ini adalah delegasi gereja yang memiliki kuasa untuk bertindak atas nama gereja.

 

Bourdieu mengutip Kant (dalam buku Religion within the Limits of Reason Alone) sebagai contoh kekuasaan simbolik; di mana ia menyadari bahwa gereja dibentuk berdasarkan kepercayaan tanpa syarat (bukan berdasarkan rasa percaya yang rasional), tidak akan memiliki pelayan (ministry), tetapi para petinggi (officiates) yang memberikan perintah dan yang menginginkan agar diri mereka dianggap sebagai interpreter (penerjemah) Naskah Suci terpilih, dan lalu mengubah layanan gereja (ministerium) menjadi dominasi anggotanya (imperium). Meskipun untuk menyembunyikan pengangkatan ini mereka memanfaatkan julukan yang rendah hati (menyebut dirinya ordinary). Hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang untuk menyita properti yang berkaitan dengan jabatannya selama ia menutupi dirinya sendiri.

 

Kuasa simbolik dan Nietzsche

 

Kuasa simbolik adalah suatu kekuasaan yang mengatasnamakan pengakuan (recognition) yang sebenarnya adalah kesalahan dalam pengakuan (misrecognition) kekuatan yang dikembangkan di dalamnya. Kekerasan simbolik petinggi ini bisa berkembang dengan adanya wewenang si petinggi melalui misrekognisi yang didukung dengan penyangkalan dari orang-orang yang dikenai kekerasan simbolik tadi.

 

Nietzsche menggambarkan hal ini di mana ia mencecar pendeta (berhubung pendeta adalah wujud delegasi), sifat hipokrit mereka, dan cara mereka mengangkat diri mereka. Tahap pertama yang dilakukan pendeta tersebut termasuk bagaimana caranya agar dirinya dianggap penting. Kant telah menyebutkan bagaimana exegesis (bentuk resmi pembacaan) dianggap penting.

 

Nietzsche mengatakan, seseorang tidak bisa membaca Gospel; terdapat kesulitan di balik setiap kata. Yang dimaksud oleh Nietzsche adalah untuk mengakukan diri seseorang sebagai interpreter, ia harus memerlukan produknya sendiri, untuk itu ia harus membuat tingkat kesulitan yang hanya dia sendiri yang mengerti dan bisa menyelesaikannya. Delegasi ini lalu melakukan transformasi yang menyucikan dirinya sendiri.

 

Delegasi dalam gereja adalah orang yang menugaskan tugas suci untuk dirinya sendiri dan berkesan penuh ilusi. Strategi kependetaan yang demikian berlandaskan pada kepercayaan yang buruk (dari istilah Sartre: berdusta pada diri seseorang, di mana pendeta menentukan nilai suatu hal dengan menyatakan bahwa suatu hal itu dikatakan baik jika ada manfaatnya bagi pendeta tersebut).

 

Menurut Nietzsche, hukum, kehendak Tuhan, kitab suci, dan sebagainya hanyalah kata-kata untuk menggambarkan kondisi di mana pendeta bisa berkuasa, mereka mengagungkan diri mereka dan sebagai akibatnya menciptakan batas antara mereka dan orang biasa. Hal seperti itu terdapat dalam sesuatu yang disebut oracle effect, yaitu keadaan di mana kepribadian individu (ego) melenyapkan dirinya untuk menjadi orang yang bermoral transenden.

 

Kondisi akses menuju kependetaan merupakan metanoia yang sah, sebuah konversi, di mana individu asli harus mati agar si pribadi moral terwujudkan, mati dan menjadi sebuah institusi (sebagai efek dari ritual penginstitusian). Secara paradoks, mereka yang menghilangkan jati diri mereka untuk menjadi segalanya bisa membalik hubungan dan menilai orang-orang ”biasa” (yang tidak mampu berdedikasi) dan mampu membuat mereka merasa bersalah.

 

Pendeknya, efek oracle ini merupakan fenomena di mana kita menipu diri sendiri untuk memercayai sesuatu yang kadang tidak kita sadari, misalnya saat seseorang menamai suatu obyek (menjadikannya seakan nyata) saat sedang menginterpretasi suatu hal. Seandainya efek simbolik ini diterapkan dalam politik setiap hari, si politisi dalam menyatakan sebuah pesan akan mengutarakan pesan itu sekaligus interpretasi pesan tersebut (meyakinkan dengan konsep je est un autre), bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Bentuk pengendalian di mana seseorang mampu berbicara ”atas nama…” memungkinkan perubahan dari indikatif ke imperatif.

 

Bourdieu membandingkan keadaan jika ia sendirian dan memberikan perintah, maka tidak ada yang menurutinya, dibanding keadaan di mana ia berada dalam kondisi konstitusional yang berkesan seakan ia bicara atas nama massa. Efek oracle ini memungkinkan si pembicara untuk berkuasa terhadap setiap anggota kelompok yang terisolasi. Seandainya pembicara merupakan perwujudan grup (kolektif) yang mendefinisikan pendengar, pendengar pun mau tidak mau menuruti perkataan pembicara.

 

Efek oracle ini adalah eksploitasi kesempurnaan dalam kelompok melalui satu individu yang berpengaruh dalam suatu kelompok hanya karena tidak ada orang lain yang mengajukan diri kecuali mereka membuat kelompok lain dan terpilih sebagai delegasi di kelompok barunya. Keanehan monopoli kebenaran kolektif ini merupakan sumber dari setiap masalah efek simbolik. Konsep ”saya adalah kelompok” mampu mengekang tseiap anggotanya karena ”saya” mampu memanipulasi grup atas nama grup itu sendiri.

 

Analisis linguistik dapat dipakai dalam strategi retoris yang diungkapkan pembicara (misalnya perubahan saya–kami) saat mengutarakan maksud. Saya (I) disamarkan menjadi kami (we) agar terkesan seperti yang ia ucapkan adalah maksud/ketertarikan kelompok, bukan perorangan. Secara umum, manfaat dari bahasa abstrak (abstract language) menurut Hegel menghasilkan fanatisisme dan terorisme (Jacobin), dan keseluruhannya berperan legitimasi jabatan delegasi.

 

Sosiolog ternama Pierre Bourdieu memberikan contoh perdebatan masalah populer, terutama teologi di mana sosiologi tidak bisa mendalaminya tanpa terjebak karena efek oracle. Contohnya realisme sosialis yang merupakan produk dari penggantian suatu individu di mana borjuis intelektual 2 yang ingin mengubah orde, terutama pada intelektual utama yang menguniversalkan dirinya dengan menyatakan dirinya sebagai orang-orang (people) dan analisis dasar realisme sosialis menunjukkan bahwa tidak ada yang populer (formalism atau bahkan akademisme) berdasarkan ikonografi alegoris (allegorical iconography).

 

Apa yang diungkapkan oleh borjuis kecil dan formalis ini cenderung menyangkal sosok asli orang—dalam wujud orang-orang yang bertelanjang dada, berotot, berkulit yang terbakar cahaya matahari dan optimis akan mengarah ke masa depan—merupakan filosofi sosial dan ideal bagi borjuis kecil tanpa disadari. Demikian juga kebudayaan populer; yang kita hadapi adalah kasus substitusi subyek.

 

Kependetaan (ini yang ditekankan Nietzche); pendeta, gereja, dan aparat setiap negara menyubstitusi pandangan mereka terhadap dunia (pandangan yang dirusak oleh libido dominan di mereka sendiri) dengan kelompok di mana mereka sendiri yang menjadi ekspresi kelompok. ”Orang-orang” ini yang dimanfaatkan pada zaman ini seperti ”Tuhan” dulu—untuk meyelesaikan urusan antarklerik (pendeta juga).

 

Kemudian dicontohkan pula sebagai hubungan antara delegasi (wakil rakyat/mandator) dan aparat (wakil delegasi). Aparat adalah bagian dari delegasi, yang merupakan simbol dari delegasi itu. Biasanya aparat adalah orang-orang yang muda dan tidak memiliki modal apa-apa kecuali jabatannya sebagai aparat tersebut. Delegasi dan aparat sama-sama memiliki kepentingan, tetapi kepentingan delegasi lebih utama daripada kepentingan aparat.

 

Delegasi biasanya berasal dari orang-orang yang memiliki jabatan dalam struktur fungsional (bisa juga disebut dengan jabatan kunci) dan telah memiliki modal. Delegasi tetap membutuhkan aparat, begitu juga sebaliknya, tetapi delegasi memiliki otoritas untuk mengganti aparat tersebut. Saat aparat tersebut sudah tidak lagi digunakan, ia tidak memiliki nilai atau identitas apa pun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar