Akankah
Macron Berhasil?
Dani Rodrik ; Profesor
Politik Ekonomi Internasional
di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy,
Universitas Harvard;
Penulis Economics Rules: The
Rights and Wrongs of the Dismal Science
|
KOMPAS, 17 Mei 2017
Kemenangan Emmanuel Macron atas Marine Le Pen adalah
berita baik yang ditunggu-tunggu oleh siapa pun yang menginginkan suatu
masyarakat terbuka dan liberal demokratis ketimbang masyarakat yang nativis
dan xenofobia. Namun, perlawanan terhadap populisme sayap kanan masih jauh
dari kata selesai.
Le Pen mengantongi lebih dari sepertiga suara dalam pemilu
putaran kedua, meskipun selain partainya sendiri, yaitu Front Nasional, hanya
ada satu partai lain—partai Nicolas Dupont-Aignan, Debout la France—yang
memberikan dukungan pada pencalonan Le Pen.
Selain itu, tingkat partisipasi dalam pemilu turun drastis
dibandingkan dengan pemilu presiden sebelumnya. Ini mengindikasikan banyaknya
pemilih yang merasa tidak puas. Jika Macron gagal dalam lima tahun ke depan,
akan terbuka peluang lebar bagi Le Pen untuk bangkit kembali, demikian pula
kelompok nativis populis akan mempunyai lebih banyak pengaruh, tidak hanya di
Eropa, tetapi juga di belahan dunia yang lain.
Sebagai seorang kandidat pada era antikemapanan ini,
Macron terbantu oleh fakta bahwa dia tidak berasal dari partai politik
tradisional. Namun, sebagai presiden, hal ini tak menguntungkan bagi dia.
Gerakan politiknya, En Marche!, baru berjalan setahun. Dia harus mulai
membangun basis mayoritas di legislatif dari nol setelah pemilu parlemen
bulan depan.
Mewakili Eropa lama
Pemikiran ekonomi Macron juga tidak mudah untuk
dikarakterisasikan. Pada masa kampanye pemilu presiden, dia sering dituding
tak memiliki konsep yang detail.
Bagi banyak orang liberal dan ekstrem konservatif, Macron
adalah seorang neoliberal, yang kebijakannya tidak jauh berbeda dengan
kebijakan mainstream yang terbukti gagal di Eropa, yaitu penghematan, yang
menjadikan benua tersebut berada dalam kebuntuan seperti sekarang.
Thomas Piketty, seorang ekonom Perancis, yang mendukung
calon dari partai sosialis BenoÎt Hamon, menggambarkan Macron sebagai
seseorang yang mewakili ”Eropa lama”.
Pada kenyataannya, memang banyak program ekonomi Macron
yang bernuansa neoliberal. Dia telah berjanji akan menurunkan tingkat pajak
perusahaan dari 33,5 persen menjadi 25 persen, menurunkan jumlah pegawai
negeri sipil sebanyak 120.000 orang, menjaga defisit fiskal pemerintah di
bawah batas yang ditetapkan oleh Uni Eropa, yaitu 3 persen dari produk
domestik bruto, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja (istilah
halus dari memudahkan perusahaan untuk memecat pekerja).
Namun, dia juga berjanji untuk tetap memberikan tunjangan
pensiun, dan model jaminan sosial yang dia sukai tampaknya adalah flexicurity
yang diterapkan di negara-negara Skandinavia—yang merupakan kombinasi dari
jaminan perlindungan dari sisi ekonomi yang tinggi dan insentif berbasis
pasar.
Namun, tidak ada dari hal-hal tersebut—terlebih dalam
jangka pendek—yang akan mampu mengatasi tantangan utama pemerintahan Macron,
yaitu penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang ditulis oleh Martin Sandbu, lapangan kerja
adalah prioritas utama pemilih Perancis dan hal ini harus menjadi prioritas
utama pemerintahan baru.
Sejak krisis melanda perekonomian negara di zona euro,
tingkat pengangguran di Perancis tetap tinggi, yaitu pada angka 10 persen,
bahkan hampir 25 persen untuk angkatan kerja di bawah usia 25 tahun. Sama
sekali tidak ada bukti bahwa liberalisasi pasar tenaga kerja akan mampu
mendongkrak tingkat penyerapan tenaga kerja, kecuali terjadi peningkatan
agregat permintaan dalam perekonomian Perancis.
Program stimulus
Di sinilah peran komponen lain dari program ekonomi Macron
bisa memainkan peran. Dia telah mengusulkan program stimulus untuk lima tahun
senilai €50 miliar euro (54,4 miliar dollar AS), yang mencakup investasi pada
infrastruktur dan teknologi ramah lingkungan, serta perluasan pelatihan bagi
penganggur.
Namun, karena nilai program stimulus ini hanya sedikit di
atas 2 persen dari produk domestik bruto Perancis setiap tahun, kecil
kemungkinan program stimulus ini akan memberikan banyak dampak pada tingkat
pengangguran secara umum.
Gagasan Macron yang lebih ambisius adalah membuat lompatan
besar menuju integrasi fiskal zona euro, dengan satu lembaga perbendaharaan
dan menteri keuangan.
Menurut Macron, integrasi fiskal semacam itu akan
memungkinkan dilakukannya transfer fiskal secara permanen dari negara-negara
dengan perekonomian yang kuat kepada negara yang tidak diuntungkan oleh
diterapkannya kebijakan moneter tunggal di zona euro.
Anggaran zona euro akan dibiayai oleh kontribusi dari
penerimaan pajak negara-negara yang menerapkan sistem tersebut. Sebuah
parlemen zona euro yang terpisah akan melaksanakan fungsi pengawasan dan
akuntabilitas. Unifikasi fiskal ini akan memungkinkan negara seperti Perancis
untuk meningkatkan belanja infrastruktur dan meningkatkan penciptaan lapangan
kerja tanpa harus melanggar batas atas pagu fiskal mereka.
Integrasi fiskal yang didukung dengan integrasi politik yang
lebih dalam adalah hal yang masuk akal. Setidaknya, hal itu memberikan jalan
yang masuk akal terhadap permasalahan yang melanda Uni Eropa saat ini.
Namun, kebijakan Macron yang terang-terangan mendukung
persatuan Eropa tidak hanya menyangkut permasalahan politik atau prinsip. Hal
ini juga sangat penting untuk mendukung kesuksesan program ekonominya. Tanpa
adanya fleksibilitas fiskal yang lebih besar atau transfer dari negara-negara
lain di zona euro, sulit bagi Perancis untuk keluar dari permasalahan pengangguran
dalam waktu dekat.
Dan, hal ini membawa kita pada Jerman. Reaksi awal Angela
Merkel terhadap hasil pemilu Perancis tidaklah terlalu meyakinkan. Dia
memberikan selamat kepada Macron sebagai ”seseorang yang membawa harapan bagi
jutaan warga masyarakat Perancis”. Namun, dia juga mengatakan bahwa dia tak
akan mempertimbangkan untuk mengubah peraturan fiskal zona euro.
Bahkan, kalaupun Merkel (atau pemerintahan Jerman yang
baru kelak di bawah Martin Schulz) lebih terbuka untuk melakukan hal tersebut,
tetap ada persoalan dengan para pemilih di Jerman. Krisis zona euro tidak
digambarkan sebagai permasalahan interdependensi, tetapi sebagai permasalahan
moral—masyarakat Jerman yang hemat dan pekerja keras dihadapkan pada para
debitor yang boros dan curang—para politisi Jerman akan mengalami kesulitan
untuk meyakinkan para pemilih guna menyetujui proyek integrasi fiskal.
Mengantisipasi reaksi dari Jerman, Macron telah memberikan
bantahan: ”Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya sangat pro-Eropa yang kuat dan
globalisasi, tetapi menentang keras gagasan transfer union.” Hal itu, menurut
Macron, adalah sumber terjadinya disintegrasi dan politik reaksioner: ”Tanpa
adanya transfer fiskal, sama saja Anda mencegah mereka yang di pinggiran
untuk berkonvergensi dan itu akan menciptakan divergensi politik ke arah
ekstremisme.”
Perancis mungkin memang bukan kelompok yang terpinggirkan
di Eropa, tetapi pesan Macron kepada Jerman sangat jelas: apakah Anda akan
membantu saya dan kita akan membangun perserikatan yang sesungguhnya—yang
mencakup perekonomian, fiskal, dan pada akhirnya persatuan politik—atau kita
akan terlindas serangan dari para ekstremis.
Dalam hal ini, Macron memang benar. Demi Perancis, Eropa,
dan negara-negara lain di dunia, kita harus berharap bahwa kemenangan Macron
akan diikuti oleh perubahan dari pihak Jerman sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar