Akar
Akustik Kebencian Kita
AS Laksana ; Menulis Cerpen, Esai; Tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 13
Maret 2017
SUARA paling menyenangkan yang saya dengar pada masa kecil
adalah suara yang muncul dari dasar sumur umum. Sumur itu terletak di kelokan
jalan sebelum tanjakan ke arah krematorium dan Kelenteng Sam Po Kong Gedung
Batu, Semarang. Di situ, orang-orang yang tinggal di daerah perbukitan
mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari.
Kami selalu mampir ke sana setiap kali melintasinya, tidak
untuk mengambil air karena sumur itu dalam sekali dan timbanya besar. Tidak
ada satu pun di antara kami yang kuat mengambil air dengan timba besar dari
sumur yang sedalam itu. Kami hanya melongokkan kepala di mulut sumur dan
menyapa.
’’Halooo!’’ teriak kami.
’’Halooo!’’ sahut sumur itu.
’’Kamu sedang apa?’’
’’Kamu sedang apa?’’
’’Siapa namamu?’’
’’Siapa namamu?’’
Ia selalu mengembalikan apa yang kami sampaikan. Salah
seorang teman, yang terbesar di antara kami dan paling berpengetahuan,
mengatakan bahwa di dasar sumur itu ada jin yang suka menirukan apa pun
omongan kami. Di sekolah, kami belajar tentang gema, tetapi kami percaya apa
yang dia katakan.
Seperti kebanyakan orang menyukai misteri, kami
kanak-kanak juga menyukai misteri. Ilmu pengetahuan bisa menjelaskan
bagaimana gejala alam seperti gema suara kami itu terjadi, tetapi jin
penunggu dasar sumur adalah sebuah misteri. Dan kami tetap percaya bahwa
suara kami dikembalikan oleh jin penunggu sumur umum.
Beberapa waktu lalu, saya membaca buku bahwa gema, suara
yang muncul akibat teriakan kami di mulut sumur umum, bukan melulu gejala
alam, tetapi ia juga gejala spiritual. ’’Ada bunyi yang menyertai setiap
tindakan,’’ kata Prabhat Ranjan Sarkar, yang dikenal dengan nama spiritual
Shrii Shrii Anandamurti. Buku yang saya baca adalah kumpulan ceramahnya,
diberi judul Discourses on Tantra.
Ada dua bab di dalam buku itu, yang berisi lebih dari lima
puluh ceramah, yang membahas tentang akar akustik (acoustic root) yang
menyertai setiap tindakan. Satu bab merupakan ceramah pengantar tentang akar
akustik, disampaikan pada 1979 di Taipei. Satu bab lainnya adalah ceramah
panjang dan lebih teknis tentang akar akustik aksara-aksara Indo-Arya.
Menurut dia, setiap tindakan kita selalu menghasilkan
bunyi. Kita mengetuk pintu dan bunyi yang muncul adalah ’’tok-tok-tok’’ jika
dituliskan dalam bahasa Indonesia, atau ’’knock-knock-knock’’ dalam ejaan
bahasa Inggris. Pada saat menangis, kita mengeluarkan suara tangis. Pada saat
tertawa, kita mengeluarkan bunyi hahahaha. Sekarang, berkat media sosial,
orang menulis bunyi tertawa lebih beragam, bisa wakakak atau wkwkwkwkwk atau
qqqqqq...
Benda-benda di alam semesta juga melakukan tindakan. Bumi
mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi, gelombang dan air sungai mengalir
dari satu tempat ke tempat lainnya. Semua mengeluarkan bunyi. Bahkan aliran
cahaya yang suaranya tak terdengar oleh telinga kita dan kucing yang
mengendap-endap mengintai tikus.
Dalam spiritualitas yang diimaninya, Anandamurti meyakini
–dan mengajarkan kepada para pengikutnya– bahwa pada dasarnya setiap suara
adalah suci; semua berasal dari sumber yang sama, yakni zat yang mahakuasa.
Akar akustik semesta, katanya, adalah suara-suara penciptaan, pemeliharaan,
dan penghancuran. Sama sucinya dengan suara semesta adalah semua bunyi yang
dihasilkan oleh ekspresi manusia, dalam bahasa apa pun.
’’Saya menghormati semua bahasa di muka bumi,’’ katanya.
’’Semua memiliki martabat yang sama.’’
Terhadap bahasa apa pun di muka bumi, ia menyebutnya
’’bahasa kita’’.
Rasa-rasanya saya tidak bisa sesaleh itu untuk menganggap
semua bunyi atau seluruh akar akustikdari setiap tindakan adalah suci. Saya
sulit menerima bahwa bunyi yang menyertai tindakan korup sama sucinya dengan
bunyi yang menyertai ungkapan belas kasih.
Sering juga saya marah mendengar ujaran-ujaran kebencian
dan caci maki, yang bahkan tidak ditujukan langsung ke saya. Dan itu
kemarahan yang menguras tenaga. Sebab, jika kita turuti, setiap hari kita
bisa mendengar ujaran-ujaran tunggal berisi kebencian dan caci maki. Dunia
politik kita mendorong banyak orang memproduksi ujaran-ujaran tunggal semacam
itu.
’’Pergilah ke pasar,’’ kata Anandamurti. ’’Di sana ada
banyak suara.’’
Di dalam pasar, Anda bisa mendengar suara orang menawar
daging, menawar tempe, atau suara pedagang yang minta dimaklumi karena
menaikkan harga, dan sebagainya. Mungkin juga ada teriakan orang kecopetan.
Lalu, jauhilah pasar itu. Anda tahu, semua suara itu tetap
ada, tetapi dari jarak tertentu kita tidak mendengar ujaran-ujaran tunggal.
Kumpulan semua ujaran di pasar itu berubah menjadi dengung, bagian dari bunyi
semesta yang, menurut Anandamurti, pada dasarnya suci –bagian dari
penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran.
Memang tidak mudah mengambil jarak dari ’’pasar’’.
Sialnya, hanya dengan membuat jarak itu kita bisa mentransformasikan
suara-suara kebencian dan apa pun menjadi sesuatu yang suci. Atau,
setidaknya, menjadi gaung yang menyenangkan seperti suara jin dari dasar
sumur.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar