Mencari
Manusia Suci
Jannus TH Siahaan ; Analis Sosial Keagamaan
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
Ketika
Presiden Joko Widodo akhirnya menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung,
banyak orang terenyak. Jagat politik kembali bergemuruh setelah sempat ”adem”
karena ketegangan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat
mulai mereda. Para
aktivis hak asasi manusia (HAM) bertanya-tanya. Beberapa politisi PDI
Perjuangan merasa iri. Partai Nasdem mendapat jatah empat kursi di Kabinet
Kerja, persis jumlah kursi yang dijatahkan untuk PDI Perjuangan.
Di
pundak mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) ini, janji-janji
Jokowi soal penegakan hukum dan perlindungan HAM dipertaruhkan. Pedang Dewi
Keadilan akan dilepas dari warangkanya. Namun, Jokowi bukan semata Prasetyo.
Jokowi memiliki demikian banyak pertaruhan di tangan begitu banyak para
pembantunya, paling kurang untuk lima tahun ke depan. Keberhasilan Jokowi
akan sangat ditentukan kinerja para pembantunya.
Selalu tarik-menarik
Keberhasilan
kinerja para pembantunya sangat bergantung pada kepemimpinan Jokowi. Untuk
itu, Jokowi telah memetakan prioritas dan program kerjanya.
Prioritas-prioritas itulah yang telah membuatnya terpilih menjadi Presiden.
Penegakan hukum, perlindungan HAM, dan pemberantasan korupsi masuk dalam
prioritas dengan skala tertinggi. Karena itu, ketika jabatan Menteri Hukum
dan HAM dipercayakan kepada ”orang partai”, banyak yang berteriak.
Meski
agak kecewa, masyarakat, para relawan, serta para pendukung dan pemilihnya
masih bisa berharap kali ini Jokowi benar. Dalam arti, Jokowi akan
mendudukkan orang berjiwa ”malaikat” di kursi Jaksa Agung. Namun, setelah
hampir satu bulan pembentukan Kabinet Kerja berlalu, dan situasi batin rakyat
dalam tanda tanya, kecemasan itu akhirnya terbukti. Jaksa yang sudah pensiun,
prestasi yang ”seadanya”, dari kalangan parpol pula, telah ditetapkan Jokowi
sebagai Jaksa Agung.
Jauh
sebelum nama Prasetyo ditetapkan, pihak Istana sudah mengingatkan bahwa tidak
mudah bagi Presiden untuk memilih di antara yang terbaik. Bahkan, demikian
Andi Wijayanto—Sekretaris Kabinet—mengonstatir, calon Jaksa Agung yang
diinginkan derajatnya setingkat dewa. Namun, kita tidak tahu apakah tokoh
pilihan Jokowi ini sudah setingkat dewa. Dalam terminologi kepemimpinan
profetik, manusia setingkat dewa dan manusia setengah malaikat adalah puncak
nilai-nilai adiluhung.
Mestinya
memang ”malaikat” yang duduk di wilayah-wilayah kepengurusan umat manusia.
Bukan ”sembarang” orang. Bukan manusia-manusia semenjana. Untuk problem
sebesar ini, hanya orang-orang ”besar” pula yang kita butuhkan. Hanya
orang-orang terpilih, manusia-manusia dengan kualitas tinggi, sosok-sosok
yang sudah ”selesai” dengan dirinya, yang pantas menjadi pelayan untuk bangsa
Indonesia.
Mungkinkah?
Mestinya mungkin. Dalam keyakinan banyak agama, malaikat adalah sosok makhluk
penuh misteri. Ia tidak bersosok, tidak berkelamin, tidak makan, tidak minum,
dan tak butuh tempat tinggal karena alam semesta adalah rumahnya. Makhluk ini
diciptakan dengan satu unsur tunggal: cahaya. Tugas mereka semata mengabdi
dan berkhidmat kepada Tuhan. Mereka hanya mengenal kata patuh dan taat
sebagaimana mereka tak mengenal kata menentang, apalagi membangkang.
Mereka
datang dari alam malakut—asal kata malaikat. Di seberang sana adalah
sosok-sosok yang berkebalikan. Iblis dengan segala bala tentaranya. Setan
termasuk di antaranya. Mereka tak mengenal alam malakut. Mereka hanya
menentang dan membangkang. Berbeda dengan malaikat yang dibekali kekuatan
ilahiyah, para iblis melekat dalam diri mereka kekuatan satanik. Inilah dua
kekuatan positif dan negatif yang selalu tarik-menarik. Satu pengabdi Tuhan,
satunya penentang Tuhan.
Di mana
posisi manusia? Dalam diri manusia ada unsur malakut sekaligus unsur satanik.
Jika hatinya mampu mengendalikan nafsunya, manusia bisa semulia malaikat.
Namun, jika manusia dikendalikan oleh nafsunya, mereka akan lebih cenderung
jadi laskar kejahatan.
Ketika
Presiden Jokowi memilih para pembantunya, sejatinya beliau tengah menyediakan
bagi mereka kesempatan untuk menjadi manusia-manusia suci. Mereka adalah
calon-calon makhluk yang punya kesempatan mencapai tingkat malaikat. Mereka
seharusnya sudah selesai dengan diri dan golongan mereka, kelompok mereka,
partai politik mereka, apalagi dengan kepentingan sempit mereka. Sebagaimana
Presiden, mereka punya kesempatan mengabdi kepada 250 juta penduduk
Indonesia.
Mestinya,
Prasetyo adalah sosok yang dipercaya Presiden untuk jadi manusia setengah
dewa atau manusia berderajat malaikat. Kepada dirinya disematkan amanat
menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. ”Menjadi”
malaikat adalah amanat Tuhan kepada semua makhluk hidup, utamanya manusia.
Sebab, mereka dibekali cahaya ketuhanan agar dapat selalu meneriakkan suara
ketuhanan di tengah kehidupan.
Manusia suci
”Menjadi
malaikat” adalah sebuah keniscayaan.
Keniscayaan bagi siapa? Bagi orang-orang, anak bangsa ini, manusia
yang diberikan amanat kemanusiaan. Bukankah manusia terbaik adalah yang
paling banyak guna dan manfaatnya untuk manusia lainnya? Tidak sembarang
orang punya kesempatan mengabdi kepada sebanyak 250 juta jiwa selain
presiden, wakil presiden, dan anggota kabinetnya.
”Anda tidak bisa menyelamatkan dunia hanya dengan
sebuah sistem,” kata Thomas Merton, penulis Mysticism in the Nuclear Age. ”Anda
tidak bisa dapatkan harmoni tanpa manusia suci, kaum mistikus, dan para nabi.
Tidak ada satu sistem, teori, ideologi, atau apa pun namanya, dapat
menyelamatkan dunia dari krisis. Kita butuh manusia suci yang dengan cahaya
rohaninya menyinari kasih sayang dan menerangi kegelapan. Kita lebih butuh
kehadiran manusia suci daripada manusia nalar.”
Untuk tercapainya cita-cita kemerdekaan, tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, kita
sungguh-sungguh tengah membutuhkan presiden suci, wakil presiden suci. Juga
politisi, menteri, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, agamawan,
pendidik, dan manusia-manusia suci. Merekalah pengabdi kemanusiaan dan
penentang kedurjanaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar