Perilaku
Politik Warga Jakarta
Bagus Takwin dan Niniek L Karim ; Pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Pengantar Redaksi:
Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 11
Juli 2012 merupakan momentum penting untuk perbaikan Ibu Kota lima tahun ke
depan. Untuk itu, ”Kompas” bekerja sama dengan tim pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia melakukan sejumlah penelitian dan peliputan. Hasilnya
dipublikasikan secara berturut-turut mulai Sabtu (23/6) ini hingga Sabtu pekan
depan.
Keberhasilan dan kemajuan masyarakat banyak
bergantung pada perilaku warganya. Pemimpin tentu punya pengaruh besar, tetapi
tanpa relasi memadai antara pemimpin dan pengikutnya, masyarakat tak dapat
berkembang menjadi lebih baik.
Untuk memahami kepemimpinan yang sebaiknya
dijalankan di Jakarta, perlu pemahaman perilaku politik warga Jakarta. Kami
memaparkan tergolong jenis pengikut macam apa warga Jakarta dan bagaimana
perilaku politik mereka.
Robert Kelley (1992) menjelaskan, followership (kepengikutan) menggunakan
dua dimensi kualitas pengikut: independen dan berpikir kritis versus dependen
dan berpikir tidak kritis; tingkah laku aktif versus pasif. Orang independen
dan pemikir kritis berpikir lebih tajam, dalam, dan luas. Mereka tak terpaku
pada panduan dan prosedur, menyadari dampak tindakan, berkehendak kreatif dan
inovatif, serta menawarkan kritik konstruktif.
Orang dependen dan pemikir tidak kritis tidak
menyadari kemungkinan lain, tak berkontribusi terhadap pengembangan kreatif masyarakat.
Mereka menerima ide pemimpin tanpa berpikir, terpaku prosedur atau instruksi.
Orang aktif terlibat penuh dalam masyarakat,
berinisiatif memecahkan masalah, berinteraksi dengan orang dari berbagai level,
dan mau mengerjakan lebih dari tugas yang diwajibkan. Sebaliknya, orang pasif
selalu memerlukan pengawasan dan dorongan dari pemimpin. Keterlibatan dan
interaksi mereka terbatas pada apa yang diinstruksikan dan menghindari tanggung
jawab lebih dari tugas yang diwajibkan.
Interaksi dua hal itu menghasilkan lima jenis
pengikut, yaitu pengikut terasing: independensi tinggi dan keterlibatan rendah;
pengikut konformis: independensi rendah dan keterlibatan tinggi; pengikut
efektif atau teladan: independensi dan keterlibatan tinggi; pengikut pasif: independensi
dan keterlibatan rendah; serta pengikut pragmatis: independensi dan
keterlibatan sedang.
Survei terhadap 808 warga Jakarta dilengkapi
data kualitatif dari focus group
discussion dan wawancara, menunjukkan kebanyakan warga Jakarta tergolong
pengikut pragmatis (59,03 persen) (lihat Grafis).
Kebanyakan warga Jakarta tergolong pengikut
pragmatis. Sebetulnya, pengikut pragmatis memiliki kualitas dari keempat jenis
yang lain, tetapi jenis yang ia tampilkan tergantung situasi. Orang tipe ini
sedikit mirip ”politikus”, tergantung angin dan menggunakan gaya kerja apa pun
demi memuluskan agenda sendiri dengan risiko minimal.
Sisi positifnya, saat masyarakat mengalami
masa sulit, pengikut pragmatis dapat berkontribusi karena tahu cara
mempekerjakan sistem untuk menyelesaikan persoalan. Sisi negatifnya, mereka
memainkan politik, aturan, dan regulasi serta melakukan penyesuaian demi
keuntungan pribadi. Mereka dinilai tak mau pasang badan, mencari kemudahan,
bekerja setengah-setengah, tidak antusias, dan medioker. Mereka mengikuti
aturan pemerintah sejauh bermanfaat bagi mereka.
Sebagai pengikut pragmatis, kebanyakan warga
Jakarta memilih berada di ”tengah jalan”. Sesekali mengkritik pemerintah dengan
tidak terlalu terbuka. Mereka menampilkan tugas yang diwajibkan, tetapi jarang
lebih dari yang diharapkan; hidup dengan slogan, ”lebih baik selamat daripada
menyesal”.
Tipologi Budaya Politik
Daniel J Elazar (1984) menjelaskan perilaku
politik individu berdasarkan pengaruh budaya. Budaya politik adalah sikap,
nilai, keyakinan, orientasi, dan opini terhadap pemerintah dan tanggung jawab
sosial yang berfungsi dalam masyarakat. Ada tiga kategori budaya politik
dominan: moralis, individualis, dan tradisionalis.
Tipe moralis mengukur pemerintahan dengan
komitmen untuk kepentingan publik dan kepedulian terhadap kesejahteraan
masyarakat. Tipe individualis fokus pada kepentingan pribadi, membatasi
keterlibatan dalam politik. Tipe tradisionalis, didasari budaya politik
tradisional, cenderung mempertahankan aturan dan praktik politik yang sudah
berlangsung. Ada juga tipe campuran yang menganut tiga budaya itu.
Kebanyakan warga Jakarta (53,1 persen) adalah
tipe campuran. Mereka menganut ketiga budaya itu sekaligus, tetapi kapan
perilaku yang didasari budaya tertentu ditampilkan tergantung lingkungan sosial
mereka. Situasi ini cukup umum di sejumlah negara. Malah, jarang ditemukan
sebuah negara dengan satu budaya politik saja yang dominan (Elazar, 1984).
Tipe dominan lain di Jakarta adalah moralis
(26,2 persen). Subkultur moralis kuat pengaruhnya di Jakarta. Mereka memandang
kekuatan komunal akan mempromosikan perubahan positif dan memberikan kewajiban
moral kepada pejabat publik.
Orang dengan tipe individualis pun cukup
banyak (14,1 persen). Budaya individualistis mewarnai pemerintahan. Pemerintah
(gubernur dan DPRD) mengatur distribusi bantuan yang dikontrol partai politik.
Sementara warga berusaha sendiri menjadikan diri lebih baik secara sosial dan
ekonomi. Pemerintah dan banyak warga meyakini individu merupakan pemegang
kendali dan inisiatif.
Sementara orang yang mendukung budaya
tradisionalis ada 6,6 persen. Mereka ingin mempertahankan aturan dan praktik
politik yang berlangsung, berusaha mempertahankan tatanan sosial dengan
hierarki mapan yang ada, menjaga agar mereka yang di atas tetap mendominasi
politik dan pemerintahan; mengecilkan partisipasi publik yang dinilai dapat
merusak masyarakat.
Budaya politik Jakarta secara keseluruhan
campuran tiga budaya itu sehingga kompleksitasnya tinggi dan menuntut
pengelolaan khusus. Pluralitas, stabilitas politik, dan pilihan kebijakan yang
memuaskan warga perlu penanganan khusus.
Untuk mengubah pengikut pragmatis menjadi
pengikut teladan, pemimpin Jakarta perlu merancang dan mengembangkan program
yang memotivasi mereka terlibat lebih aktif dan mau berpikir kritis.
Pemimpin Jakarta juga perlu membangun
kepercayaan dan dapat menunjukkan adanya kesempatan, menggugah dan
menginspirasi mereka dengan visi masa depan. Agar lebih efektif, pemimpin
Jakarta juga perlu melibatkan pengikut teladan yang persentasenya 15,7 persen
agar warga pragmatis menjadi lebih terlibat serta menyumbangkan pikiran kritis
dan inovatif.
Jakarta yang memiliki warga dengan beragam
budaya politik membutuhkan pemimpin yang mampu menampilkan respek terhadap
berbagai perbedaan (ras, jender, etnis, disabilitas, orientasi seksual, usia,
karier, gaya, dan opini).
Pemimpin Jakarta harus menghindar dari
perilaku dan bahasa diskriminatif atau menyerang. Ia perlu meminta opini
sebanyak mungkin pihak dengan perspektif berbeda, menghargai perbedaan saat
membuat keputusan, serta berpegang pada kebijakan yang menentang pelecehan dan
kekerasan. Gubernur DKI Jakarta harus dapat mempromosikan kerja sama di antara
warga dan membuat mereka bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar