Spanyol,
Kaya tetapi Miskin
Sindhunata ; Wartawan;
Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Siapa mencintai sepak bola indah, dia harus
memuja kesebelasan Spanyol. Jika dia mematok keindahan jadi normatif, dia harus
rela Spanyol jadi juara. Dan dia harus ikhlas pula untuk mengacungkan jari,
bahwa Spanyol-lah penemu sepak bola baru di awal abad ini.
Memang, siapa tak kagum akan tiki-taka?
Teknik gemilang khas Spanyol ini bisa benar-benar membuat tegang saraf lawan.
Mereka bisa menguasai bola dalam ruang sesempit apa pun. Operan bola-bola
pendek Xavi, Iniesta, dan kawan-kawannya begitu cermat dan tak terduga, sampai
lawan sulit memperkirakannya. Ya, Spanyol dengan tiki-takanya seakan
mendegradasikan lawannya menjadi orang yang kurang mampu bermain bola.
Tapi sekarang masihkah Spanyol seampuh dulu?
Tidak! Di Piala Eropa 2012 ini, lebih-lebih ketika melawan Kroasia, Spanyol
belum berhasil mengembangkan permainannya yang khas. Di sana sini tiki-takanya
macet dan, lebih parah lagi, mandul.
Malah, hampir saja mereka terjungkal.
Koran-koran Spanyol mengakui hal itu, dan menulis, untung mereka diselamatkan
ketidakcermatan wasit Stark, yang seharusnya menghadiahkan dua penalti bagi
Kroasia.
Tulis koran Marca: Siapa mau jadi juara Eropa,
dia harus menderita. Tak pernah Spanyol gemetar seperti ini walau seperti
biasanya mereka selalu menang. Dan tulis harian As: ”La Roja” seperti Barca
tanpa Messi: banyak kontrol bola, unggul di atas lawan, tapi nyaris tanpa
peluang gol.
Dalam babak pertama Piala Eropa ini, Spanyol
seperti telah kehilangan aura ketakterkalahannya. Kendati menang atas Kroasia,
pemain-pemain Spanyol meninggalkan lapangan tanpa selebrasi berlebihan, seperti
biasa dilakukan tim yang lain karena kegembiraannya. Ini seakan sebuah indikasi
bahwa mereka bermain jauh di bawah target yang mereka inginkan.
”Tim-tim lain tampak gembira, saling
berpelukan, tapi kami tidak. Kami beranjak dari miskin menuju kaya dengan
terlalu cepat dan kami tidak bisa menghargai apa yang kami miliki,” kata
Vicente del Bosque.
Kiranya Del Bosque mengiaskan dengan baik
kondisi Spanyol saat ini. Memang sekarang Spanyol seakan menjadi korban dari
kesuksesannya sendiri. Setelah mengamati kembali permainan pemainnya ketika
melawan Kroasia, Del Bosque berpendapat, sesungguhnya permainan mereka tidaklah
jelek.
Tapi Del Bosque sadar, permainan sekadar itu
bukanlah khitah Spanyol. Bermain tak sesuai dengan khitah itu, walau menang,
berarti kegagalan. Mereka seperti orang kaya yang tak bisa menghargai kekayaannya.
Mungkin karena mereka jadi kaya dengan terlalu cepat. Ini ada benarnya, sebab
baru dalam dekade terakhir ini Spanyol meraih prestasi luar biasa. Sebelumnya,
mereka selalu kandas dalam percaturan dunia bola.
Para pemain asuhan Del Bosque berharap lawan
memainkan dan mengembangkan permainannya sehingga mereka juga bisa leluasa
memainkan tiki-takanya. Ternyata, menghadapi Spanyol, tim lawan hanya berusaha
bagaimana membela diri agar Iniesta, Xavi, dan kawan-kawannya tidak sampai
mengobrak-abrik pertahanannya. Maka, melawan Spanyol, Kroasia yang adatnya
ofensif menjadi tim yang lebih mengandalkan serangan balik.
”Rasanya seperti seluruh dunia melawan
Spanyol,” kata Iker Casillas. ”Menghadapi kami, lawan-lawan kami melakukan apa
yang tidak pernah mereka lakukan,” tambah Casillas. Singkatnya, ”melawan
Spanyol, kamu tak lagi memainkan yang kamu inginkan, tapi yang dapat kamu
lakukan”.
Itu juga diakui Pelatih Kroasia Slaven Bilic.
”Melawan juara dunia, kami tidak dapat mengharap bahwa kami akan menciptakan lima
atau enam kans. Jika kami maju ke depan, kami membuat diri sendiri terbuka.
Kuncinya, kami harus membela diri baik-baik. Kami harus melakukan penetrasi
secepatnya, tapi itu pun tergantung keberuntungan,” begitu Bilic merumuskan
taktik yang akan diterapkannya.
Kroasia kalah, tetapi mereka dianggap
berhasil. Spanyol menang, tapi dianggap gagal. Tim lain boleh bertahan habis
dan bermain defensif. Tapi kalau Spanyol melakukannya, mereka dianggap
berkhianat terhadap khitahnya, tiki-taka. Kalau Spanyol menang, tapi tidak
bertiki-taka secara maksimal, mereka pun dianggap bermain dengan menderita.
Kalau mereka total bertiki-taka, tapi miskin gol, mereka pun dikatakan Barca
tanpa Messi. Begitulah, Spanyol harus diukur dengan skala ukuran yang sama
sekali berbeda dari ukuran yang normal. Dalam arti itulah mereka disebut
menjadi ”korban dari kesuksesannya sendiri”.
”Kami dapat menjadi contoh bagi lawan-lawan
Spanyol,” kata pemain Kroasia, Danijel Pranjic. Dan Pelatih Perancis Laurent
Blanc mengakui itu. ”Kroasia telah menunjukkan bagaimana orang harus menghadapi
Spanyol,” kata Blanc. Blanc sendiri mengatakan, Spanyol datang terlalu pagi
bagi Perancis. Ia sadar, menghadapi Spanyol, Perancis akan sulit menguasai
bola.
Apalagi, untuk sampai ke perempat final ini,
Perancis harus berjalan tertatih-tatih. Siapa mengira mereka digebuk Swedia
0-2? Sekarang pun Blanc masih prihatin karena lini depan Perancis sangat
tumpul. Mereka kurang ofensif. Umpan-umpan dan pasing-pasing bolanya tidak
jitu. Nasri dan Benzema tak banyak menciptakan peluang, malah cenderung bermain
individualistis.
”Tapi hari demi hari kami makin percaya
diri,” kata Blanc. Buat Blanc, rasanya tak ada cara lain untuk melibas Spanyol
kecuali memakai resep Kroasia: membuat Spanyol gagal dalam kesuksesannya, miskin
dalam kekayaannya, tak percaya diri dalam tiki-takanya. Tidakkah di luar bola
Spanyol juga sedang krisis di dalam, walau tampak kaya di luar? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar