Menyoal
Pembatasan Kepemilikan di Perbankan
Sunarsip ; Ekonom
The Indonesia Economic Intelligence,
Pengajar
Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti
Sumber : KORAN
TEMPO, 15 Juni 2012
Bank Indonesia akan memberlakukan kebijakan
pembatasan kepemilikan saham di perbankan. Dari pemberitaan, setidaknya
kebijakan pembatasan kepemilikan ini akan dikaitkan dengan dua aspek: tingkat
kesehatan bank dan penerapan good corporate governance (GCG) di bank
tersebut. Bila bank terkait tidak mampu memenuhi tingkat kesehatan (termasuk
penerapan GCG) yang dipersyaratkan, seperti yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum,
pemilik bank harus melepaskan sahamnya hingga angka maksimal kepemilikan yang
ditetapkan BI. Pembatasan kepemilikan saham bagi bank yang tidak mampu memenuhi
ketentuan tingkat kesehatan yang dipersyaratkan terbagi menjadi tiga kategori.
Pertama, bagi bank yang dimiliki individu/keluarga, maksimal kepemilikan 20
persen. Kedua, bagi bank yang dimiliki lembaga keuangan, maksimal kepemilikan
40 persen. Dan ketiga, bagi bank yang dimiliki oleh lembaga non-keuangan,
maksimal kepemilikan 30 persen.
Berdasarkan ketentuan ini, pemilik bank yang
kini menjadi single majority tetap dapat mempertahankan share
kepemilikannya, sepanjang banknya terjaga dalam kondisi sehat. Kewajiban
mengalihkan saham baru akan berlaku bila bank yang dimilikinya tidak memenuhi
ketentuan kesehatan bank yang dipersyaratkan BI. Bank yang wajib mengalihkan
sahamnya kepada pihak lain adalah bank yang memiliki tingkat kesehatan dan GCG
dengan peringkat komposit 3 hingga 5. Sementara itu, bank dengan peringkat
komposit 1 dan 2 tidak akan dikenai aturan ini.
Berdasarkan PBI No.13/1/PBI/2011, terdapat
lima peringkat komposit untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank, yakni
peringkat komposit 1 hingga 5 dengan nilai terkecil merupakan tingkat kesehatan
yang paling tinggi, dan nilai tertinggi (komposit 5) merupakan yang paling rendah.
Bank dengan peringkat komposit 1 dan 2 mencerminkan bahwa kondisi bank secara
umum sehat sehingga pemiliknya tak perlu melepas kepemilikan sahamnya di bank
tersebut.
Saya berpendapat bahwa ketentuan pembatasan
kepemilikan ini positif untuk mendorong agar pemilik senantiasa menjaga tingkat
kesehatan banknya. Ketentuan ini juga menjadi tambahan pijakan bagi BI untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan ketika suatu bank berada dalam
kondisi tidak sehat, sebagaimana ketentuan bakunya telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan. Namun, bila kita kembalikan pada
wacana awal yang dikemukakan BI, kebijakan ini berpotensi bakal tidak sesuai
dengan ekspektasi publik.
Dari berbagai pemberitaan, saya menangkap
kesan bahwa BI sebelumnya memiliki keinginan kuat untuk mengatur kembali
komposisi kepemilikan di perbankan. Kesan ini dapat ditangkap, misalnya, kenapa
pada akhirnya BI tidak (belum) mengeluarkan izin atas akuisisi DBS terhadap
Danamon. Terlebih lagi, dari wacana yang berkembang, BI akan mengarahkan asing
“membagi” sahamnya di perbankan. BI menyebutkan bahwa sistem perbankan di
Indonesia adalah yang paling liberal di antara negara-negara anggota ASEAN
lainnya. Menurut BI, Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menganut
izin tunggal atau single license. Dengan demikian, jika liberalisasi
industri perbankan tidak dikendalikan, hal itu akan membuat perbankan Indonesia
tidak bisa bersaing.
Berdasarkan dinamika itulah, publik lalu
memiliki ekspektasi yang “lebih” terkait dengan kebijakan pembatasan
kepemilikan bank ini. Ekspektasinya adalah kebijakan pembatasan kepemilikan ini
dilakukan tanpa harus melihat bank terkait dalam keadaan sehat atau tidak
sehat. Publik memiliki asumsi awal (pre-assumption) bahwa BI akan
melakukan pembatasan kepemilikan, karena dominasi kepemilikan saham di suatu
bank bukanlah praktek yang sehat (tidak GCG). Di negara-negara seperti
Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Australia, kepemilikan saham
perbankannya menyebar ke banyak investor dan tidak ada investor yang menguasai
saham lebih dari 50 persen. Jadi, logikanya bukan dibalik: bank tidak sehat dan
tidak GCG dulu baru kepemilikan dibatasi, tetapi pembatasan kepemilikan
dilakukan untuk mewujudkan GCG dan mencegah bank masuk dalam kondisi tidak
sehat.
Saya bisa memahami mengapa akhirnya BI
terkesan “mundur” dalam soal kebijakan pembatasan kepemilikan bank ini. Jelas
tidak mudah bagi BI untuk memberlakukan kebijakan yang “retroactive”
(berlaku mundur) dengan “memaksa” pemilik bank untuk mengalihkan sahamnya
kepada pihak lain. Terlebih lagi, kehadiran investor yang kini menjadi single
majority (khususnya asing) adalah karena keinginan kita sendiri, terutama
untuk menyelamatkan perbankan kita dari krisis pada 1998/1999 lalu. Dan saya
kira, tidak fair bila setelah para investor (khususnya asing) ini ikut
membantu menciptakan stabilitas perbankan, kemudian kini “dipaksa”
mendivestasikan sahamnya. Toh, selama ini bank mereka tetap sehat, memberikan
kontribusi terhadap perekonomian, dan dapat menjalankan ketentuan GCG yang
disyaratkan BI.
Dengan kata lain, kebijakan pembatasan
kepemilikan yang akan diberlakukan BI bisa disebut sebagai jalan tengah untuk
mengatasi dilema tersebut. Meski demikian, yang perlu dilihat adalah apakah
kebijakan ini akan efektif bila konteksnya adalah untuk menyehatkan kembali
bank yang tidak sehat. Sebagai misal, bila suatu bank mengalami kondisi tidak
sehat, kemudian butuh injeksi modal besar, adakah investor baru yang berminat
bila kepemilikannya dibatasi maksimal 40 persen dan tidak bisa menjadi
pengendali?
Sesungguhnya terdapat hal yang tak kalah
penting dibandingkan dengan kebijakan kepemilikan perbankan ini. Sebagaimana
dinyatakan BI di atas, sistem perbankan kita memang sangat liberal, khususnya
dalam hal operasional bank. Sebagai contoh, kita tidak memiliki aturan
pembatasan pendirian kantor cabang, gerai, ATM, dan jaringan operasional bank
lainnya. Padahal, di negara-negara lainnya, ketentuan pembatasan operasional
ini diberlakukan. Di Singapura, izin operasional diberikan berjenjang dan
pembukaan kantor cabang serta ATM dibatasi. Malaysia memberlakukan pembatasan
maksimum 12 cabang serta tidak boleh menempatkan ATM-nya di luar kantor cabang.
Karena tidak ada aturan pembatasan
operasional bank inilah, kita menyaksikan bank-bank lokal tidak mampu bersaing
dengan bank besar (yang dimiliki asing). Karena itu, sudah saatnya Indonesia
memberlakukan kebijakan izin secara berjenjang (multiple license),
khususnya kepada bank-bank yang dimiliki asing. Penerapan multiple license
bank ini dijalankan sesuai dengan strata bank terkait. Misalnya, bank yang
memperoleh izin berada di strata 1 hanya menjalankan kegiatan yang dasar. Suatu
bank yang ingin masuk ke strata 2 (dengan kegiatan yang lebih luas) harus
mendapat izin baru lagi dari BI, sekalipun tidak harus memulai izin dari dasar.
Melalui ketentuan ini, bank-bank yang dimiliki asing perlu diarahkan untuk
menata kembali jaringannya, misalnya melalui relokasi kantor dan jaringannya.
Penataan ulang ini memang perlu dilakukan untuk
memperkuat bank-bank lokal dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN tahun
2015. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar