Jangan
Lupakan Lapindo, Pak Rudi
Firdaus Cahyadi ; Knowledge Manager for Sustainable
Development, OneWorld-Indonesia
Sumber : KORAN
TEMPO, 15 Juni 2012
Akhirnya, DR Ir Rudi Rubiandini resmi menjadi
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Jabatan baru itu membuktikan
bahwa kapasitas seorang Rudi Rubiandini dalam persoalan energi dan sumber daya
mineral tidak terbantahkan.
Pak Rudi--begitu ia akrab dipanggil--selain
dikenal sebagai pakar di bidang perminyakan, dikenal pernah menjadi saksi ahli
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia saat menggugat Lapindo dalam persoalan
semburan lumpur di Sidoarjo. Dan Pak Rudi adalah salah satu ilmuwan Indonesia
yang meyakini bahwa semburan lumpur di Sidoarjo bukanlah akibat bencana alam,
melainkan akibat pengeboran.
“Semburan
lumpur panas di Sidoarjo cenderung dibiarkan,” demikian Pak Rudi menulis
dalam sebuah kolom di sebuah media massa nasional pada 2010, sebelum menjabat
Wakil Menteri ESDM. “Kita menyerah dan
menganggap sebagai fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur
Lapindo adalah bencana alam.” Dengan tegas di berbagai kesempatan, Pak Rudi
mengatakan bahwa semburan lumpur Lapindo murni human error (kesalahan
manusia), bukan bencana alam. Berdasarkan keyakinan itulah, Pak Rudi yakin
semburan lumpur Lapindo dapat dihentikan.
Dalam kasus Lapindo, keyakinan ilmiah Pak
Rudi jelas bertolak belakang dengan keyakinan pemerintah. Hingga kini
pemerintah meyakini bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, bukan
karena kesalahan pengeboran. Akibat dari keyakinan itu, triliunan rupiah uang
rakyat di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) digelontorkan untuk
penanganan kasus Lapindo. Sejak 2007 hingga 2012, sekitar Rp 6,2 triliun uang
rakyat di APBN digelontorkan untuk penanganan kasus semburan lumpur Lapindo.
Bahkan uang rakyat di APBN yang dipakai untuk
menangani kasus Lapindo ini akan terus membengkak. Sinyal akan bertambahnya
uang rakyat di APBN yang akan digelontorkan untuk penanganan kasus Lapindo
diungkapkan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Seperti ditulis oleh Koran
Tempo (5 Juni), Menteri Keuangan menyatakan bahwa kemungkinan akan ada
anggaran tambahan untuk penanganan kasus Lapindo.
Keyakinan pemerintah bahwa semburan lumpur
Lapindo adalah bencana alam tidak hanya berdampak pada dipakainya uang rakyat
di APBN. Keyakinan pemerintah itu juga berdampak terhadap model penyelesaian
kasus Lapindo yang sangat merugikan korban lumpur. Karena semburan lumpur
Lapindo diyakini sebagai bencana alam, model penyelesaiannya pun tidak
menggunakan mekanisme ganti rugi melainkan jual-beli aset tanah dan rumah
korban lumpur.
Karena mekanisme penyelesaiannya jual-beli,
yang diperhitungkan hanyalah luas tanah dan rumah. Persoalan kesehatan,
kehancuran lingkungan hidup, dan meningkatnya anak putus sekolah akibat
semburan lumpur tidak akan diperhitungkan. Artinya, terkait dengan dampak
semburan lumpur, korban lumpur Lapindo diminta menanggung sendiri akibat buruk
yang menimpa diri dan keluarganya di luar persoalan rumah dan tanah.
Bukan berhenti sampai di situ. Dengan
menggunakan mekanisme jual-beli aset, kasus Lapindo akan dianggap selesai
seiring dengan selesainya persoalan jual-beli aset. Dan itu artinya, bukan lagi
sebuah persoalan bila Lapindo ingin melakukan pengeboran migas (minyak dan gas)
kembali di Sidoarjo.
Selama lebih dari enam tahun ini kasus
Lapindo ini penuh dengan ketidakjelasan dalam penyelesaiannya. Satu-satunya
cara untuk mengakhiri salah urus penyelesaian kasus Lapindo, termasuk
dipakainya uang rakyat di APBN, adalah dengan membongkar keyakinan pemerintah
bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam. Dengan membongkar keyakinan
itu, kasus Lapindo dapat dibuka lagi. Dan jika itu terjadi, besar kemungkinan
salah urus kasus Lapindo dapat segera diakhiri.
Kehadiran Pak Rudi sebagai Wakil Menteri ESDM
tentu menimbulkan harapan baru untuk mengakhiri dagelan dari penyelesaian kasus
Lapindo selama ini. Hal yang harus dilakukan oleh Pak Rudi adalah mengusulkan
kepada pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh model penyelesaian kasus
Lapindo. Tentu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak akan keberatan,
karena itu merupakan janjinya saat kampanye pemilihan presiden tahun 2009.
Sebagai seorang ilmuwan, tugas berat Pak Rudi
sekarang adalah menolong pemerintah membongkar keyakinannya bahwa semburan
lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam. Ini sebuah pekerjaan yang berat,
karena keyakinan itu seperti dilindungi oleh kekuatan yang cukup besar agar
tidak diusik. Sebagai seorang ilmuwan yang tahu kejadian sebenarnya tentang
kasus Lapindo, suka atau tidak suka, tugas berat untuk membongkar keyakinan
pemerintah terhadap kasus Lapindo harus dilakukan oleh Pak Rudi. Itu adalah
kewajiban moral keilmuan dan kemanusiaan seorang Rudi Rubiandini. Namun
tiba-tiba, di sebuah portal berita KBR 68H, Pak Rudi tidak memasukkan
penyelesaian kasus Lapindo ini dalam prioritas kerjanya. Beliau memprioritaskan
pembangunan infrastruktur energi pada program kerjanya. Tiba-tiba Pak Rudi
seperti seseorang yang tidak pernah bersentuhan sama sekali dengan kasus Lapindo.
Apakah Pak Rudi telah “masuk angin”? Atau ada
kekuatan politik atau ekonomi yang membuat Pak Rudi seperti melupakan kasus
Lapindo? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Mungkin hanya Tuhan dan Pak Rudi yang
tahu mengapa penyelesaian kasus Lapindo, yang telah menyengsarakan ribuan orang
dan mengambil uang rakyat di APBN, tidak menjadi prioritas kerjanya sebagai
Wakil Menteri ESDM.
Namun tidak ada salahnya juga bila sekarang
publik mendesak Pak Rudi sebagai Wakil Menteri ESDM untuk melaksanakan
kewajiban moralnya dalam kasus Lapindo, seperti yang sering beliau ungkapkan
sebelum menjabat Wakil Menteri ESDM. Jika dulu Pak Rudi dengan idealismenya
berteriak bahwa semburan lumpur Lapindo bukan disebabkan oleh bencana alam
melainkan akibat pengeboran, kini saatnya beliau bertindak untuk menyelesaikan
kasus Lapindo berdasarkan idealismenya itu. Jangan
lupakan kasus Lapindo, Pak Rudi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar