Kotak
Pandora di Balik Hambalang
Donny Syofyan ; Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
SUMBER : KORAN
TEMPO, 12 Juni 2012
Kinerja secara keseluruhan Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Mallarangeng sejak menempati pos pada 2009 bisa dikatakan tidak
memuaskan, karena adanya dua kasus korupsi terkait dengan pekerjaannya, yakni
pembangunan perkampungan atlet untuk SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan,
tahun lalu serta dugaan praktek penipuan dalam pembangunan kompleks Olahraga
Hambalang di Bogor, Jawa Barat. Menanggapi kisruhnya proyek ini, Andi
Mallarangeng meyakinkan publik bahwa dia tidak tersangkut kasus tersebut, yang
kini tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia berdalih siapa pun
harus bertanggung jawab jika ada penyimpangan dalam proyek itu, baik selama
perencanaan maupun pelaksanaan.
Membongkar kasus Hambalang ini sebetulnya
membuka kotak Pandora yang sejatinya menyibakkan berlapis-lapis masalah tidak
terduga yang bakal menjadi bom waktu bila pengusutannya terlalu lambat dan
tidak tuntas. Kasus ini menjadi simalakama dan salto mortal terhadap harapan
publik yang menghendaki era transisi menuju demokrasi yang berorientasi
kesejahteraan masyarakat serta kedewasaan berpolitik. Lagi-lagi kasus Hambalang
ini hanya mengukuhkan bahwa reformasi yang tengah berjalan terseok-seok oleh
tiga sandungan besar yang masih berjalan di tempat.
Pertama, kegagalan reformasi birokrasi.
Sistem remunerasi yang selama ini digadang-gadang akan meningkatkan kinerja
aparat pemerintah--reformasi gaji, penghasilan berbasiskan kinerja, reformasi
sistem pensiun, atau penyesuaian asuransi kesehatan bagi layanan
publik--nyata-nyata tidak memangkas hasrat orang untuk semakin rakus dan
menyimpang. Paradoks yang muncul dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
adalah bahwa figur muda dan reformis ternyata tidak memiliki imunitas
berhadapan dengan tarikan finansial serta penyalahgunaan kekuasaan.
Tersandungnya tokoh-tokoh muda Demokrat,
semisal Angelina Sondakh, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, atau Andi
Mallarangeng, yang diharapkan publik sebagai lokomotif pemberangusan praktek
suap era Orde Baru meneguhkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia tidak
selalu berkelindan dengan berkurangnya korupsi di birokrasi. Ada kecenderungan
apa yang kini tengah terjadi tak lain reformasi setengah hati, yang masih saja
memproduksi korupsi gaya baru yang dilakukan oleh kaum muda. Tokoh-tokoh
tersebut jelas-jelas mewakili politikus berusia muda, di bawah 50 tahun.
Ada kekhawatiran reformasi birokrasi mulai
terdengar sloganistik, karena hanya merupakan wacana yang kembali dimunculkan
setiap kali korupsi menyerang lembaga-lembaga atau apa pun yang dibiayai oleh
uang pajak rakyat. Lebih lanjut, wacana reformasi birokrasi, terutama di
kalangan politikus muda, telah menjadi kartu truf untuk menghantam politikus
senior yang juga korup di satu sisi dan sekadar bahan kampanye untuk melicinkan
jalan mendapatkan kursi di Senayan di sisi lain. Gegap-gempita skandal korupsi
para politikus muda, seperti proyek Hambalang, memperlihatkan bahwa reformasi
birokrasi demi memerangi semua penyimpangan tersebut tak ubahnya iklan TV yang
dibayar rakyat, yang uangnya mengalir ke pundi-pundi politikus itu, alih-alih
melayani kepentingan publik.
Kedua, kegagalan kepemimpinan politik.
Kementerian Pemuda dan Olahraga mengkonfirmasi bahwa hingga Desember tahun
lalu, 47,33 persen dari total anggaran, atau Rp 536 miliar, telah dihabiskan untuk
pembangunan proyek kompleks Olahraga Hambalang di Bogor. Persoalan ini
menunjukkan dahsyatnya persoalan pengelolaan anggaran, sesuatu yang juga
terjadi selama persiapan SEA Games tahun lalu. Tak pelak gagalnya kepemimpinan
seorang menteri menyumbang terjadinya eskalasi inefisiensi anggaran negara.
Efektivitas pengawasan internal digugat karena ketidakseimbangan antara aspek
kontrol dan penguatan kinerja. Banyak yang berdecak kagum atas peningkatan
kinerja para birokrat, terutama yang terjadi di Kementerian Keuangan, sebagai
hasil reformasi birokrasi. Sayangnya, imbas di Kementerian Keuangan tidak
terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Hal ini terjadi bukan hanya karena
kuatnya politisasi lembaga tersebut, tapi juga ketiadaan kemampuan manajerial seorang
menteri yang juga politikus.
Persoalan lemahnya kepemimpinan ini terlihat
dari tersumbatnya reservoir komunikasi antara Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, serta masyarakat. Andi
Mallarangeng sendiri terhitung beberapa kali membatalkan rapat dengan Komisi X.
Tak kalah mencengangkan, seperti pernah diungkapkan oleh Dedy Gumelar, anggota
Komisi X DPR, bahwa pencairan dana tambahan proyek Hambalang itu belum
mendapatkan persetujuan DPR. Lebih lanjut ia menyatakan DPR tidak mengetahui
bahwa Kementerian Pemuda dan Olahraga meminta uang tambahan untuk proyek
tersebut selama pembahasan anggaran 2012.
Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah
Hambalang kerap enggan atau bahkan banyak yang tidak tahu apa-apa terkait
dengan pembangunan kompleks olahraga Hambalang ini. Padahal keterlibatan warga
sekitar sangat urgen, karena Hambalang bukan lagi sekadar desa dan akan menjadi
daerah yang lebih ramai di Citeureup, Bogor, setidaknya jika pembangunan
kompleks tersebut sukses.
Ketiga, kegagalan intelektual birokrat.
Melihat lanskap politik Indonesia hari ini seolah-olah menjustifikasi adagium
bahwa ranah intelektualisme dan politik bukanlah wilayah yang bisa disatukan,
sungguhpun beririsan. Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, sebagai misal,
adalah figur intelektual muda yang berperan besar mengawal jalannya reformasi
negeri ini lewat karya-karya tulis mereka ataupun lembaga demokrasi setelah
jatuhnya Soeharto, semisal Komisi Pemilihan Umum. Sungguh disayangkan, reputasi
intelektual mereka ternyata tidak berjodoh dengan arena politik tempat mereka
kini bergerak.
Agaknya kegagalan figur intelektual
mentransfer diri sebagai politikus dan birokrat terkait erat dengan minimnya
imunitas mereka terhadap perangkap kekuasaan. Begitu bermetamorfosis sebagai
politikus dan birokrat di kursi yang empuk, mereka kehilangan daya tahan
terhadap tekanan lingkungan yang korup, daya tangkal terhadap jebakan
penyalahgunaan wewenang, atau daya seleksi terhadap kekuatan serta kemandirian
mengambil tindakan yang visioner.
Kekuasaan yang berada di pundak mereka bukan
membersihkan, tapi malah menodai kaum intelektual ini. Jauh-jauh hari, ini amat
kentara di mata publik. Sebagai misal, banyak pihak mulai mengendus bau yang
tidak sedap sejak Anas Urbaningrum keluar dari KPU dan meninggalkan
kawan-kawannya dalam kasus korupsi di KPU.
Memang masih ada cermin bening dari para
intelektual yang sukses sebagai birokrat. Azyumardi Azra dan Malik Fadjar bisa
menjadi contoh. Sementara Azra berhasil mentransformasikan Institut Agama Islam
Negeri menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sehingga menjadi
pusat kajian Islam paling bergengsi di Asia Tenggara tapi tetap produktif dalam
berkarya, Malik Fadjar dikenal sebagai rektor bertangan dingin tatkala memimpin
Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mereka
seyogianya menjadi model bagi intelektual birokrat agar tidak terkotori oleh
lahan politik yang terkenal becek, seperti tarikan mentalitas shortcut
untuk memenangi kursi dan mempertahankan kekuasaan lewat korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar