Pilkada,
Kapan Bisa Bersih?
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Komisi Konstitusi
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 12 Juni 2012
Demokrasi di Indonesia masih dalam tahap in the making, kata seorang akademikus.
Itu berarti demokrasi kita masih mencari-cari bentuknya yang pas, belum solid
seperti demokrasi di negara-negara Barat.
Maklum, kita baru 10 tahun lebih melaksanakan
sistem demokrasi liberal, walaupun pendapat ini tidak benar. Pada 1950-an,
bangsa Indonesia juga melaksanakan demokrasi liberal dengan Pemilihan Umum 1955
yang tidak mengalami banyak permasalahan.
Jangan lupa, ketika itu bangsa kita baru
sekitar 10 tahun merdeka. Ibarat anak, masih berstatus “balita”. Tapi, kenapa
“balita” sudah mampu melaksanakan pemilu dengan cukup tertib dan hasilnya relatif
bisa diterima semua pihak?
Demokrasi kita dewasa ini sungguh sudah
tercemar oleh politikus-politikus yang bertabiat rakus kekuasaan. Mereka oleh
Plato dijuluki politicians full of
corruption. Ya, mereka hanya politikus yang punya kepentingan kekuasaan
semata, tetapi untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Fulus, dengan demikian, menjadi sasarahn
utama politikus untuk berkuasa. Atau, kekuasaan semata-mata alat untuk
dikonversikan menjadi materi (baca: uang).
Ini terkait dengan sistem ekonomi Indonesia
yang neo-liberalistis. Dalam sistem kapitalisme murni, materi menjadi segala
tolok ukur kehidupan. Manusia pun tidak lebih dari sederetan angka yang status
dan martabatnya diukur materi.
Situasi ini kontras sekali dengan situasi
pada dekade 1950-an. Ketika itu, nasionalisme dan perjuangan untuk memajukan
bangsa dan negara amat tinggi. Pemilu 1955 menjadi ajang untuk melaksanakan
cita-cita kemerdekaan kita.
Partai-partai peserta Pemilu 1955 memang
mengincar kekuasaan, dalam arti bekerja keras untuk memenangi sebanyak kursi.
Namun, para pemimpin partai menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh, jika
menang, dipakai untuk memajukan bangsa dan negara.
Demokrasi sekarang yang, katanya, masih dalam
tahap in the making, mendorong para
kontestan—khususnya kelompok petahana—untuk “bermain kayu”. Dengan segala
tipu-daya, lawan harus dihancurkan, dan kekuasaan harus tetap “di tangan saya”.
Upaya “to maintain power” dilakukan
dengan segala cara. Untuk itu, moto Machiavelli—tujuan menghalalkan
cara—dikibarkan tinggi-tinggi.
Alhasil, pilkada mana selama ini yang
berlangsung bersih mulus? Tujuh puluh persen lebih pilkada bermasalah hukum,
kata Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, MK pun menjadi “korban”;
berkas peninjauan kembali hasil pilkada menumpuk di kantor MK. Sisanya,
yang 30 persen juga tidak berarti tidak bermasalah.
Anda masih ingat Pilkada Bupati di Tuban 2006
ketika pasangan petahana HeLi berhadapan dengan pasangan NonStop?
Berdasarkan pengumuman hasil rekapitulasi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tuban, Rabu 3 Mei 2006, HeLi memperoleh 327.805
suara dan NonStop memperoleh 305.560 suara dari total 846.514 daftar pemilih
tetap (DPT) yang tersebar di 1.708 TPS di 328 desa dan 20 kecamatan di Tuban.
Sedianya penetapan bupati terpilih dilakukan Jumat, 5 Mei di kantor KPUD.
Namun, sehari setelah pencoblosan, 28 April,
massa pendukung NonStop mulai gelisah. Kabar beredar bahwa pasangan HeLi bakal
menang.
Kecuali hasil perhitungan sementara
menunjukkan HeLi unggul dari lawannya, massa pendukung NonStop juga gelisah
karena ditemukan sejumlah pelanggaran di beberapa TPS dan dugaan konspirasi
bupati petahana dengan KPUD. Misalnya, KPUD Tuban tidak pernah memberikan
fotokopi DPT yang jumlahnya 846.514, yang sudah diminta resmi pasangan NonsTop.
Tanggal 29 April ketika kabar kemenangan
pasangan HeLi semakin santer, emosi massa pendukung NonsTop pun meledak.
Tiba-tiba saja mereka menyerbu, merusak, dan membakar pendopo dan Gedung KPU
Tuban.
Rumah pribadi Bupati Haeny Relawati juga
dirusak, termasuk perabotan yang ada di dalamnya. Tidak hanya itu, tiga unit
mobil di dalam garasi juga dirusak setelah dikeluarkan ke jalan. Massa
sebenarnya berniat membakar rumah tersebut. Namun, niat itu dibatalkan karena
khawatir api akan merembet ke bangunan milik warga lain di sekitarnya.
Menjelang Pemilu 2009, dugaan penyimpangan
DPT juga merebak di Jawa Timur. Hebatnya, yang pertama mengungkap permainan DPT
adalah Kapolda Jawa Timur. Namun, kasus ini dengan cepat ditutup, dan sang
Kapolda pun dipecat.
Di tingkat nasional, kekacauan DPT sangat
merebak. Ditemukan jutaan nama yang ganda; bahkan orang yang sudah mati pun
terdaftar sebagai pemilih; belum lagi anak-anak di bawah umur.
Masalah DPT kembali mengguncang Pilkada
Gubernur DKI. Sejak awal tim sukses lima kontestan sudah berteriak, mencium
aroma penyimpangan DPT. Tim sukses Jokowi-Basuki menemukan sekitar 175.000
pemilih ”bermasalah”; sedangkan tim sukses Hidayat Nur Wahid-Rachbini menemukan
44.696 nama yang mencurigakan. Namun, temuan-temuan itu tampaknya tidak digubris
KPUD Jakarta.
Tanggal 2 Juni 2012 lalu, angka dalam daftar
pemilih sementara (DPS) yang sudah terkoreksi dan segera disahkan KPUD
berjumlah 6.982.179 orang. Namun, 6,5 jam sebelum diumumkan, jumlah itu
bertambah menjadi 6.983.692, yang kemudian disahkan menjadi DPT. Jadi, dalam
tempo 6,5 jam, data DPT bertambah 1.513 orang.
Pertanyaannya, setiap kali ditemukan
kecurigaan mengenai daftar pemilih, kenapa KPUD dan tim sukses semua kontestan
tidak duduk bersama untuk melakukan klarifikasi secara cermat? Waktu selalu
menjadi alasan utama.
Betul, pentahapan pilkada sudah jauh-jauh
hari ditetapkan KPUD, sehingga kelihatannya tidak bisa digeser. Jika digeser,
hari H bisa molor. Akibatnya, bakal terjadi kevakuman kepemimpinan jika pada
hari yang sudah ditetapkan belum ada pemenang yang diumumkan.
Alasan sama juga dikumandangkan pada
Pemilihan Presiden 2009. Tanggal 20 Oktober 2009, presiden definitif sudah
harus diambil sumpahnya oleh MPR. Untuk itu, tanggal sekian pemenang pilpres
sudah harus disahkan KPU.
Kalau tidak, Indonesia tidak punya presiden
pasca-20 Oktober 2009. Apa boleh buat, demi mengejar target jadwal, rintangan
apa pun harus dilabrak, termasuk rintangan kemungkinan permainan curang oleh
pihak-pihak tertentu.
Hal ini berarti, bagi demokrasi Indonesia
sekarang, hasil lebih penting dari proses. Padahal, demokrasi sustansial
mengajarkan proses jauh lebih penting daripada hasil. Jika proses demokrasinya
cacat—entah cacat hukum atau cacat manipulatif—hasilnya harus dibatalkan.
Pemilu harus diulang, apa pun ongkos yang harus dikeluarkan!
Pilkada Gubernur DKI semakin dekat. Minggu
depan sudah dimulai masa kampanye; pencoblosan 13 Juli 2012. Sejak awal,
berbagai dugaan kecurangan sudah kelihatan sekali. Jadi, jangan harap Pilkada
DKI kali ini pun bisa berlangsung ”jurdil”.
Bersiaplah para kontestan kelas ”kecil” untuk
kalah atau tersingkir, sebab pilkada hampir dipastikan berlangsung kotor dan
penuh intrik serta akal bulus.
Itulah ongkos politik yang mungkin harus
dibayar bangsa ini karena demokrasi yang masih berstatus ”in the making”. Kita masih butuh puluhan tahun untuk membalik
status ”in the making” menjadi ”solid democracy”! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar