Untuk Apa Pemerintah
Ngotot Menyelamatkan Garuda Indonesia Opini
Tempo
: Redaktur Majalah
Tempo |
MAJALAH
TEMPO, 9 Juli 2022
TIDAK semestinya
Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengambil risiko besar dengan
menyuntikkan modal baru ke PT Garuda Indonesia, yang sempat nyaris bangkrut.
Apalagi jika langkah tersebut semata bertujuan memenuhi kebanggaan semu
memiliki maskapai penerbangan pelat merah dengan mengorbankan rasionalitas bisnis. Pemerintah akan
mengucurkan dana segar senilai Rp 7,5 triliun ke Garuda yang sedang mengalami
tekanan berat keuangan. Suntikan itu berasal dari cadangan pembiayaan
investasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 yang dialokasikan dalam
bentuk penyertaan modal negara. Penambahan modal akan menaikkan porsi
kepemilikan pemerintah di Garuda dari 60,54 menjadi 65 persen. Langkah pemerintah
memaksakan diri membantu Garuda bakal memberi risiko besar bagi keuangan
negara. Sebab, sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah mesti siap-siap
menanggung kerugian yang timbul di masa mendatang. Apalagi kondisi keuangan
maskapai itu dalam kondisi remuk redam dan sempat berada di jurang
kebangkrutan. Total utang Garuda setelah menjalani restrukturisasi sebesar Rp
75 triliun, susut dari sebelumnya yang sempat menyentuh Rp 142 triliun. Operasi penyelamatan
Garuda ini makin kental sebagai keputusan politis jika dibandingkan dengan
kebijakan negara tetangga mengurus maskapai mereka yang bermasalah.
Pemerintah Thailand sudah sejak empat tahun lalu menyatakan tidak akan
menginjeksi Thai Airways, yang terbelit utang hingga Rp 100 triliun, dan rela
tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas. Pemerintah Malaysia pun
berhenti mengguyurkan modal baru bagi Malaysia Airlines, yang juga terpuruk
dalam kubangan utang. Sebelumnya, pemerintah negara jiran itu berkali-kali
menyuntikkan modal, tapi tidak memberi dampak perbaikan, bahkan bertambah
parah. Sejak 2020, Kementerian Keuangan Malaysia menyerahkan sepenuhnya nasib
Malaysia Airlines kepada Khazanah Nasional Berhad, pemegang saham
mayoritasnya. Wajar kemudian muncul
kekhawatiran bahwa langkah Kementerian BUMN menyuntikkan modal baru bagi
Garuda bakal seperti menggarami air laut. Terlebih masalah fundamental di
Garuda dan banyak perusahaan negara lain, yakni buruknya tata kelola
perusahaan, tak kunjung bisa diselesaikan. Kementerian BUMN juga
mengabaikan fakta bahwa status maskapai pelat merah telah menimbulkan banyak
mudarat. Garuda menjadi tidak sehat karena dipaksa menjalankan sejumlah
penugasan dan mengakomodasi berbagai kepentingan yang justru menjadi sumber
korupsi dan main mata. Dari kontrak pengadaan pesawat yang tak wajar sampai
penyelundupan sepeda motor dan sepeda mewah. Ketimbang menjadi beban
jangka panjang, pemerintah harus menjadikan suntikan modal baru Rp 7,5
triliun untuk Garuda sebagai yang terakhir. Sembari terus melakukan
perbaikan, pemerintah perlu menyiapkan rencana menjual seluruh kepemilikan
Garuda kepada pihak lain. Itu langkah yang lebih baik ketimbang anggaran
negara makin terperosok karena terus-menerus menanggung beban Garuda. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar