Mengapa Membatasi
Turis Tak Cukup Menata Wisata Komodo Opini
Tempo
: Redaktur Majalah
Tempo |
MAJALAH
TEMPO, 9 Juli 2022
DAYA dukung dan daya
tampung lingkungan seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan
suatu kawasan. Namun, di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, kedua
hal itu hanya menjadi dalih alias alasan yang dicari-cari sebagai pembenaran
atas pengembangan kawasan wisata premium. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan baru-baru ini merilis rencana pembatasan jumlah wisatawan yang
mengunjungi kawasan wisata komodo. Pemerintah akan menyaring pengunjung
melalui aplikasi digital dengan dalih mengurangi tekanan terhadap populasi
kadal raksasa itu. Tahun lalu status komodo
dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) berubah
dari “rentan” menjadi “terancam punah”. Populasi hewan purba ini menyusut
antara lain akibat tekanan turisme dan pemanasan global. Akibat terlalu
sering “bergaul” dengan manusia, komodo juga ditengarai makin kehilangan
insting liarnya. Di area Taman Nasional
Komodo seluas 173.300 hektare, ada lima pulau utama yang dihuni satwa langka
ini. Pulau Komodo, pulau paling besar, dihuni 1.727 ekor komodo. Lalu Pulau
Rinca dihuni 1.049 ekor. Yang lain adalah pulau-pulau kecil dengan populasi
komodo di bawah 100 ekor. Pembatasan jumlah turis sudah diterapkan di Pulau
Padar, yakni maksimal 300 orang per hari. Studi daya dukung
lingkungan terbaru mencatat bahwa kunjungan ke Pulau Komodo kerap melebihi
daya tampung ekosistemnya. Menurut riset itu, maksimal kunjungan ke pulau ini
setahun sebanyak 219 ribu orang. Faktanya, pada 2019, jumlah turis mencapai
221 ribu. Sepintas kebijakan
membatasi jumlah wisatawan terkesan sejalan dengan tujuan konservasi:
mengurangi tekanan manusia pada keanekaragaman hayati tanpa mematikan potensi
ekonomi. Masalahnya, di balik pembatasan pengunjung itu justru mencuat
rencana pengembangan kawasan wisata premium alias tempat pelesiran khusus
dengan tarif selangit. Masalah lain, pengembangan
wisata premium diikuti rencana relokasi penduduk lokal, lagi-lagi dengan
dalih untuk menjaga daya dukung lingkungan. Padahal penduduk setempat sudah
turun-temurun hidup berdampingan dengan komodo tanpa mengancam kelestariannya. Demi pembangunan
berkelanjutan, pemerintah justru harus melibatkan masyarakat setempat. Soal
ini, pemerintah Presiden Joko Widodo perlu belajar dari kesalahan pemerintah
era Orde Baru. Kala itu pemerintah kerap menyerahkan urusan pengelolaan
lingkungan kepada investor, tanpa mereken peran penting masyarakat. Terbukti,
dalam berburu untung, investor kerap mengabaikan kelestarian lingkungan,
bahkan melanggar hak asasi manusia. Ujungnya, di banyak tempat, terjadi
kerusakan yang tak bisa dipulihkan. Kini bukan zamannya lagi
mengelola ekosistem dengan menghilangkan peran masyarakat. Demi kepentingan
konservasi, penataan wisata komodo haruslah memperhatikan aspek sosial,
ekonomi, dan ekologi. Dalam segitiga pembangunan berkelanjutan itu,
masyarakat di area dan sekitar lokasi Taman Nasional Komodo harus menjadi
penerima manfaat utama, bukan malah menjadi korban pengembangan kawasan. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/166374/mengapa-membatasi-turis-tak-cukup-menata-wisata-komodo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar