Wawancara Direktur Utama Garuda
Indonesia Setelah Gagal Bangkrut Abdul Manan ; Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 9
Juli
2022
IRFAN Setiaputra
memimpin PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk setelah dikeluarkannya keputusan
rapat umum pemegang saham luar biasa pada 22 Januari 2020. Ia menggantikan
direktur utama sebelumnya, Ari Askhara, yang dicopot bersama direktur lainnya
karena tersandung kasus. Utang yang menggunung juga membuat badan usaha milik
negara (BUMN) ini digugat pailit oleh sejumlah kreditor dan menang dalam
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang disahkan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada Jumat, 17 Juni lalu. Krisis keuangan yang
dihadapi Garuda mendorong perusahaan ini melakukan perampingan jumlah pegawai
dan pemotongan gaji, di samping meninjau rute-rute penerbangannya. Jika
pemotongan gaji tidak dilakukan di tengah proses PKPU, maskapai ini bisa
tutup. “Gaji saya (karena pemotongan) lebih rendah daripada direktur utama
BUMN gurem. Dibanding petinggi ACT (yang sekitar Rp 250 juta), tidak ada
apa-apanya,” katanya kepada wartawan Tempo, Khairul Anam, Abdul Manan, dan
Aisha Sadra, di sebuah gerai makan di Pacific Place, Jakarta, Kamis, 7 Juli
lalu. Irfan menjelaskan
betapa keras dan alotnya perundingan Garuda dengan para kreditor, termasuk
proposal bisnisnya untuk memulihkan keadaan. Pria kelahiran Jakarta ini juga
optimistis Garuda bisa untung lebih cepat dari target tiga tahun. Dia juga
menginginkan perubahan budaya perusahaan agar Garuda tak lagi diguncang
skandal dan korupsi. Apa
saja yang dilakukan Garuda setelah PKPU ditandatangani? Setelah PKPU diketuk,
kami sebenarnya sudah sign-sign juga sama mereka (pemilik saham). Pada
dasarnya, dalam 30 hari ke depan, bagi mereka yang setuju, sudah (tinggal)
proses administratif. Bagi yang enggak setuju, mungkin agak menantang untuk
memperoleh keinginan mereka itu. Tapi, secara hukum, mereka mesti
mengikutinya. Kemudian, ya, tentu saja, kayak perbankan, BUMN mesti
diadendumkan kontrak-kontraknya, perjanjian pinjamannya, ekuitas (pengalihan
utang ke saham), dan new coupon bond. Kalau ekuitas mesti menunggu. Kami
mesti mengadakan RUPS dulu. Upaya
lain dalam opsi penyelamatan Garuda? Pada waktu mengajukan
permohonan restrukturisasi utang, kami pada saat bersamaan menegosiasikan
kontrak ke depan. Tapi dalam proses itu yang kami selalu kedepankan bukan
negosiasi tawar-menawar kayak di pasar. Ini, lho, kami (Garuda) ke depan.
Kami bilang, ini rencana bisnis kami, basis profitabilitasnya. Mereka memang
ada yang mengatakan, “Wah, kamu sign beggar (mengemis).” Bikin perencanaan
yang gampang. Saya bilang, saya dengan mudah bisa bikin perencanaan yang
agresif. Terus ngapain enggak dibuat? Karena itu omong kosong. Enggak ada
yang percaya juga. Yang paling penting, perencanaan kami menantang tapi masuk
akal untuk dikejar. Apa
lagi yang disampaikan untuk meyakinkan kreditor? Kami menjelaskan
berdasarkan profitabilitas. Kami akan berfokus pada rute-rute yang menguntungkan.
Entah bagaimana caranya dengan organisasi yang lebih ramping, dengan sistem
teknologi informasi, kami fokus ke ancillary (dukungan tambahan). Banyak lagi
turunannya. Tapi, saat bertemu lessor (penyedia jasa pinjaman) dan kreditor,
mereka bilang (rencana bisnis kami) masuk akal. Memang rencana bisnis itu
beberapa kali berubah. Justru itulah pentingnya negosiasi. Pada waktu
negosiasi, kami memang membuka ruang untuk mereka pertanyakan dan datang
dengan ide baru. Pertama, kami akan jadi lebih ramping. Tapi ujungnya begini:
jumlah pesawat lebih sedikit. Kami hanya akan terbang ke rute yang
menguntungkan. Selama
ini sebagian rute Garuda sifatnya penugasan atau permintaan dari BUMN,
kementerian, dan sebagainya? BUMN tidak pernah
meminta. Yang lain yang minta. Makanya saya berterima kasih sekali
teman-teman terus mengikuti dan menyampaikan ini. Menteri BUMN Erick Thohir,
Pak Tiko (Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo) di banyak forum selalu
berbicara juga. Jadi penugasan enggak bisa an sich penugasan. Penugasan mesti
punya justifikasi profitabilitas. Saya bilang, yang sering meminta rute baru
adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka, kan, kepentingan konstituen.
Wajar, dong. Saya juga sangat menghormati. Walaupun kadang-kadang, menurut
saya, tidak masuk akal. Ada dari DPR, para menteri, tentu saja dengan tugas
mereka masing-masing. Pak Sandiaga Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif), misalnya, kan mau mengembangkan pariwisata. Masak Garuda tidak
terbang (ke sana). Wajar, kan? Dan enggak ada yang enggak masuk akal.
Gubernur, bupati, wali kota, kelompok pengusaha, pengekspor, dan yang
terakhir duta besar untuk rute ke luar negeri. Ada duta besar asing yang
datang ke kami, “Bisa enggak ke negara saya?” Tapi (situasi) ini memberi kami
posisi yang kuat karena saya enggak dimandatkan untuk terbang ke mana-mana.
Saya bilang kepada beberapa teman, kami enggak bisa (memenuhi permintaan
itu). Sudah rugi. Mau lihat Garuda bangkrut lagi dan mau memasukkan duit lagi
di sini? Tapi ada beberapa diskusi. Pertama, ya sudah, Garuda enggak bisa,
Citilink oke enggak terbang ke situ? Kedua, ya, jangan cuma minta. Kalau mau,
partisipasi, dong. Misalnya, apa pun kejadiannya, bayar 60 persen. Asyik,
kan. Give and take, dong. Seperti
skema dalam penerbangan perintisnya? Ya, misalnya, bisa
saja mereka bilang, kawan (maskapai) sebelah terbang. Kalau sebelah terbang,
kenapa minta Garuda terbang? Kemarin mungkin mendengar soal Pak Presiden Joko
Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin (bertemu). Ada yang datang ke saya
mengatakan, “Terbang, ya, Moskow-Denpasar.” Saya sampaikan, “Lagi enggak ada
pesawat.” Jadi poin-poin saya adalah bahwa kami hari ini (kami) punya
kewenangan, saya khususnya, dalam menghadapi permintaan seperti itu untuk
nanti bilang, “Sorry, enggak bisa.” Jadi saya tidak diserang. Alhamdulillah,
semua orang akhirnya mendengar. Bagaimana
memastikan pemimpin berikutnya punya sikap seperti itu? Kami, kan, akhirnya
bisa membangun sebuah sistem tertentu, tapi pada akhirnya tergantung pada
pribadi, ya. Saya ingin membangun dan tidak ingin memberi beban kepada
pengganti saya soal (pembukaan rute baru) itu tercantum dalam rencana bisnis.
Dan itu harus menguntungkan. Kami sedang memakai konsultan untuk menghitung
terbang ke tempat mana yang bisa dikatakan untung. Jadi, kalau ada yang
ngotot, bisa kami buka dan katakan, “Kalau bapak mau ngotot terbang ke sini,
jumlah kelas ekonomi sekian, kelas bisnis sekian, harganya sekian, kargo
sekian, mari kita bicara. Mari kita cari solusi.” Jadi, salah satu solusinya,
pemerintah daerah juga terlibat dalam proses ini. Misalnya, dengan
menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kalau, menurut dia,
penting (membuka rute) untuk pembangunan daerah, kan, tidak ada salahnya.
Kan, saya tidak malingin duit itu. Berapa
rute yang nanti akan dipangkas? Rute sebisa mungkin
tidak kami pangkas, tapi mungkin frekuensinya diturunkan. Akhirnya tak bisa
tidak ada beberapa rute yang enggak kami layani. Tapi kami juga enggak zalim.
Kami ajak Citilink masuk. Contohnya Gunung Sitoli. Rute Gunung Sitoli bikin
kami babak belur. Citilink mau terbang ke sana sekarang memakai (pesawat
jenis) ATR yang sama. Apakah
Garuda akan meninggalkan sejumlah rute dan hanya akan terbang ke kota-kota
besar? Jangan dikatakan
meninggalkan. Tepatnya, kami menyeimbangkan. Saya tidak mau mengatakan (hanya
terbang) ke kota-kota besar. Saya ingin mengatakan (rute) yang memberi
keuntungan karena mandat. Masalah besar penerbangan di situ: terbang ke
mana-mana, punya pesawat apa saja, gagah perkasa, dan keren. Tapi, kalau pesawatnya
kosong terus, akan jadi beban berkepanjangan. Kan, jadi enggak pas. Kan, ada
yang mesti menutupi beban itu. Salah satunya rute yang untung yang
menutupinya. Tapi apakah sanggup begitu? Ini perusahaan, kan, harus
membanggakan bukan dari terbang ke mana-mana, tapi harus enggak ada lagi
skandal, enggak ada korupsi, dan menghasilkan untung. Ketika
nanti penyertaan modal negara (PMN) Rp 7,5 triliun masuk, saham pemerintah
jadi berapa? PMN yang masuk itu
akan dihitung di harga saham berapa? Penentuan harga saham yang paling benar,
kan, pakai evaluator. Tentu saja akan sangat dipengaruhi oleh pemegang saham
sekarang. Tapi pemegang saham sekarang, kan, ada yang masukin, ada yang
enggak. Yang enggak masukin kan terdelusi (penurunan persentase kepemilikan saham).
Tapi intinya adalah, sebelum duit itu (masuk), sudah terdelusi semua saham
sekarang, termasuk pemerintah. Dengan (PMN) itu masuk, termasuk mereka
(pemilik saham lain) yang masuk nanti, komposisi pemegang saham sekarang
adalah pemerintah, Chairul Tanjung, publik, dan kreditor. Sudah
ada penjajakan ke Etihad dan Emirates? Saya pergi
mendampingi Menteri BUMN Pak Erick. Kami ketemu Emirates, Etihad. Saya hanya
pendamping. Tidak pas saya yang bicara. Tapi memang semua orang tahu bahwa
negara sebagai pemegang saham. DPR sudah membuka kemungkinan untuk menjadi
investor baru. Kerja
samanya akan seperti apa? Masih asumsi, ya.
Investor ada yang kerja sama strategis, ada finansial. Pak Erick memang
berharap ke depan Garuda, selain dapat duit, juga dapat mitra. Tapi, kan,
bisa jadi nanti ketemu Qatar, Singapore Airlines, KLM. Ini akan ketemunya
maskapai level flag national carrier dan full services, enggak mungkin yang
LCC (penerbangan bertarif rendah). Tapi semuanya masih penjajakan. Dan kami
juga belum tahu diskusi dengan mitra strategis ini waktu yang baik apa enggak
hari ini. Nanti akhirnya akan diputuskan dan sangat menentukan setelah
putaran pertama. Kalau saya sebagai manajemen, (yang pas diajak kerja sama
adalah) siapa saja yang bawa duit. Dana
PMN itu apakah cukup untuk modal kerja Garuda? Enggak cukup. Rp 7,5
triliun itu mayoritas akan dipakai buat pemulihan pesawat. Buat menghidupkan
pesawat. Biar dapat melayani. Yang jelas enggak buat bayar utang. Kasus
korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, apakah
berpengaruh pada kinerja perusahaan? Capek. Saya
dipanggil-panggil kejaksaan. Di negara ini (kami) suka dicampurin. Chief
executive officer tugasnya ke depan. CEO menelan apa pun yang ada pada saat
itu dan tidak bertanya kenapa, lalu perbaiki. Begitu saya diganti, saya
berharap pengganti saya juga begitu. Terus bergerak maju. Betul, kami mesti
sekali-kali lihat ke belakang supaya kejadian tidak berulang. Tapi, kalau
melihat ke belakang terus, dengan postur tinggi badan saya ini, kalau saya
jalan lihat ke belakang, pasti terantuk. Sesekali saja lihat ke belakang
pakai kaca spion. Itulah tugas CEO. Bagaimana
mekanisme internal supaya kasus korupsi seperti itu tidak terjadi lagi? Berdasarkan
pengalaman governance mesti kami bangun yang benar. Yang paling penting
adalah budayanya mesti diubah. Anda tahu panggilan saya di kantor? DZ. Itu
kode untuk direktur utama Garuda di lingkungan internal. DW untuk komisaris,
DF untuk direktur keuangan, atau DO untuk direktur operasi. Kalau saya pakai
DZ, seluruh dunia aviasi tahu kalau saya direktur utama. Saya bisa beli
pesawat, bisa beli tiket murah. Budaya mesti dibangun bahwa dalam perusahaan
ini DZ tidak boleh bertitah. Orang tidak boleh minta arahan. Masalah di
Garuda, kan, itu. Dia (CEO) bilang A, enggak ada yang berani bilang lain.
(Budaya kritis) ini mesti dibangun. Apa syarat pertama? Kamu jangan panggil
saya Pak DZ. Secara mindset itu dewa. Omongannya enggak boleh dibantah. Orang
datang ke DZ minta arahan. Kalau ada apa-apa, saya yang salah. Yang kedua, jangan
minta arahan. Ini, kan, di BUMN terjadi. Ada orang datang meminta maaf. Saya
tanya, kenapa? Salah kamu apa? “Saya minta maaf mau minta sampaikan berita
ini.” Kenapa harus minta maaf? Kami sedang bangun ini. Ini mungkin lucu-lucuan,
tapi fundamental. Berbuat saja. Kalau salah, minta maaf. Yang ketiga, jangan
minta izin. Kalau kamu anggap penting buat perusahaan, lakukan. Ada banyak,
lah, formula yang kami bikin. Tapi poinnya adalah enggak boleh ada orang yang
begitu berkuasa sehingga bisa bilang, “Saya mau beli Bombardier CRJ.” Ya,
enggak bisa (begitu). Dampak
kasus korupsi terhadap mantan pejabat itu apakah ada pengaruhnya bagi operasi
Garuda? Apa tugas saya
sebagai direktur utama? Lihat ke depan. Oh, ada Bombardier CRJ. Saya tidak
mau tanya kenapa dibeli. Ini kayaknya mesti diberhentiin, enggak cocok. Ya,
kami berhentikan. Berapa
lama Garuda bisa kembali pulih seperti pada masa jayanya? Apa definisi jaya
Garuda? Saya tanya kepada orang Garuda, apa definisi kamu soal jaya? “Oh,
Pak, kita terbang ke mana-mana. Terbang ke Oman, Zurich, Milan.” Ngapain? Apa
target Anda untuk kembali menghasilkan laba tiga tahun ke depan? Tahun depan, lah.
Masak seorang Irfan menunggu tiga tahun? Saya sudah 61 tahun. Tua amat
direktur utama ini. Ini, kan, banyak anak muda cerdas, kasih (mereka)
kesempatan. Waktu saya akan segera habis. Sebelum itu mesti untung. Banyak
maskapai penerbangan nasional di luar negeri yang tidak diselamatkan oleh
negara. Kenapa Garuda perlu diselamatkan? Dalam hal Garuda,
pemerintah punya dua peran. Satu pemerintah, satu pemegang saham. Kalau
perusahaan lagi susah, di mana-mana pemegang saham turun tangan. Kalau enggak
mau begitu, ya, lepas (sahamnya). Negara, kan, kepentingannya memastikan ada
konektivitas, makanya mereka bangun Pelita. Jadi (jaga-jaga) kalau Garuda ada
apa-apa. Pun untuk mendapatkan PMN Rp 7,5 triliun, kan, syaratnya mesti
menang dulu di PKPU. Ada
pandangan bahwa adanya saham pemerintah dikhawatirkan Garuda banyak dicampuri
oleh titipan atau kepentingan politik? Itu pandangan, kan.
Ya, sudah. Saya tidak bisa bilang apa-apa. Orang bebas punya pandangan. Bagaimana
membuat Garuda tetap profesional meski ada saham pemerintah? Secara keseluruhan,
kami mesti bangun sistem, mekanisme, sehingga intervensi minimal. Kebetulan
sekarang ada saya di sini yang bisa bilang “tidak”. Tapi, kan, mesti dibangun
sistem dan ini saling checks and balances. Kalau nanti ada direktur utama
yang begitu, bisa saling mengingatkan. Saya kasih tahu mengapa maskapai
sangat menantang. Karena industri ini marginnya tipis. Tidak seperti batu
bara, minyak, bank. Kamu tidak boleh melakukan sebuah kebijakan yang salah.
Implikasinya panjang. Dan margin tipis ini goyangannya tinggi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar