Apa Itu Gaya
Selingkung Eko Endarmoko : Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa
Indonesia |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
JANGAN terlalu terkejut
atau patah arang bila Anda tidak menemukan penjelasan “gaya selingkung” di
lema “gaya” dalam kamus bahasa Indonesia kita (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Coba carilah ke lema “selingkung”. Kata majemuk itu menjadi contoh, bukan
berupa definisi, dalam arti kedua “selingkung”, yaitu nomina yang diterangkan
begini: “terbatas pada satu lingkungan”. Jadi “gaya selingkung” kurang-lebih
berarti gaya yang dipakai terbatas pada satu lingkungan tertentu. Pengertian gaya itu tentu
saja tak selalu mesti bertaut dengan penggunaan bahasa. Saya punya ilustrasi
sederhana. Sekalipun logo namanya ditutup rapat, media seperti koran Kompas
atau majalah Tempo saya rasa masih dapat dikenali khalayak pembacanya,
misalnya. Perwajahan, tata letak, serta jenis, ukuran, dan warna huruf yang
dipakai kedua media itu unik dan khas, bahkan kemudian menjadi semacam
kepribadian atau warna mereka masing-masing. Warna, mungkin ini dapat kita
analogikan dengan suara seseorang yang kita dapat kenali tanpa melihat orang
itu. Dengan lain perkataan,
penyajian atau penampilan yang unik dan khas, yang punya kepribadian atau
warna sendiri, telah menegaskan—terkadang terasa nadanya agak
berlebihan—sebuah identitas. Pengertian gaya itu amat
mudah dihubungkan dengan bahasa. Sebab, kata “gaya” di situ paling mungkin
disandingkan dengan “bahasa”, diartikan sebagai “gaya bahasa”, bukan “gaya
berat” atau “gaya sentrifugal” atau “gaya tarik bumi”, umpamanya. Tapi ini
adalah gaya selingkung dalam arti sempit atau terbatas. Pengertian terbatas
inilah yang dimaksud dalam bagian pembicaraan seterusnya. Gaya selingkung dikenal di
dunia penerbitan, terutama buku dan jurnal, serta surat kabar dan majalah.
Gaya ini biasanya bertolak dari asumsi: “Bahasa kami bisa jadi agak berbeda
dari bahasa Anda, tapi kami berusaha menuruti kaidah bahasa yang berlaku”. Strategi
yang paling mudah ditempuh adalah memakai kata atau istilah “sendiri” secara
ajek. Pemakaian kata atau
istilah sendiri tampaknya menjadi unsur paling menonjol dalam gaya
selingkung. Seolah-olah gaya selingkung hanya berurusan dengan diksi.
Barangkali karena komponen ini lebih sempit, dan sebab itu lebih mudah
dikenali, daripada unsur tata bahasa yang lebih kompleks. Bersama majalah dan koran
Tempo, koran Kompas cenderung menggunakan bentuk “subyek” dan “obyek”—bukan
“subjek” dan “objek” sebagaimana disarankan oleh KBBI. Tapi pernah kata
“obyek” dalam satu tulisan saya berubah jadi “objek” [lihat “Mengomunikasikan
atau Menyampaikan”, Kompas, 6 Desember 2014. Setelah dimuat ke dalam buku
Remah-Remah Bahasa, Perbincangan dari Luar Pagar (2017), ejaan kata itu saya
kembalikan menjadi “obyek”]. Namun Kompas cenderung
menulis Perancis (dengan swarabakti), tapi mengeja Inggris. Ini berbeda dari
Tempo yang cenderung tanpa swarabakti, sesuai dengan saran KBBI: Prancis,
Inggris. Demikianlah. Tampaknya
gaya selingkung tidak serta-merta menunjukkan kehendak menyelaraskan bahasa
dengan ketentuan bahasa Indonesia yang berlaku. Yang agak mencolok buat saya
adalah keajekan Kompas menulis “Muslim”, bukan “muslim”. Dalam tulisan saya
“Bahasamu Kastamu” (Kompas, 7 November 2015), kata yang menurut ketentuan
berawal huruf kecil itu diubah menjadi huruf kapital. Seperti nasib kata
“obyek” tadi, setelah dimuat ke dalam buku Remah-Remah Bahasa, ejaan “Muslim”
itu saya kembalikan menjadi “muslim”. Ini lebih masuk akal, sebab “muslim”
berarti “penganut agama Islam”. Yang perlu huruf kapital di situ adalah
Islam, bukan muslim. Kita kemudian jadi
bertanya-tanya, seberapa penting sebenarnya bentuk bahasa baku bagi kita?
Sejak kapan dan bagaimana gerangan gaya selingkung menjelma jadi tempat
berlindung? ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166417/apa-itu-gaya-selingkung
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar