Tragedi
Neoholocaust
Haedar Nashir ; Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2015-2020
|
REPUBLIKA,
24 Desember
2017
Masih ingat Adolf Hitler?
Sejarah dunia melahirkan tragedi paling kelam dan mengerikan akibat ulah
brutal Sang Fuhrer dari Jerman itu. Hitler-lah sosok paling berperan dalam
mengobarkan Perang Dunia Kedua sebagai prahara abad modern.
Hitler berambisi besar
membangun orde baru hegemoni Jerman
yang absolut di Eropa serta menjadi kekuatan adidaya di jagat raya. Dia
dirikan Nazi (Nasional Sosialisme atau Nationalsozialismus), partai politik
totaliter berhaluan ekstrem kanan dan
rasisme. Inilah mesin partai politik paling ganas, yang menjadi alat
kekuasaan mengerikan saat itu.
Kanselir Jerman 1933-1945
ini sosok psikopat ultrarasialis yang menggelorakan kredo Jerman “Uber Alles”. Tentang kedigdayaan
kaum Jermanik sebagai bangsa Arya terunggul dibanding bangsa non-Arya yang
dianggapnya rendah dan musti dimusnahkan. Nazi menjadi kekuatan raksasa yang
menyebar teror dan kekejaman masif berbuah genosida.
Kekejaman Hitler dan Nazi
telah mengakibatkan kematian sekitar 50 juta orang selama Perang Dunia II. Di
dalam tragedi itu 6 juta kaum Yahudi dan 5 juta etnis "non-Arya"
mengalami pmbantaian dan pemusnahan sistematis. Tragedi sejarah ini dikenal
dengan Holocaust, yakni bencana pembunuhan dan pemusnahan massal di belahan
Eropa yang meninggalkan trauma sejarah hingga saat ini.
Dalam tragedi Holocaust
(bermakna “Seluruhnya terbakar”), jutaan orang sebagian besar umat Yahudi,
dibunuh secara kejam oleh pasukan Nazi yang ultrakejam. Dalam peristiwa ini,
termasuk ladang pembantaian di kamp
konsentrasi Auschwitz pada musim panas 1944 di kawasan barat daya Krakow
Polandia, yang di kemudian hari dikenal sebagai tragedi kemanusiaan paling
mengerikan dalam sejarah dunia modern.
Hasrat
angkara kolonial
Warga dunia semestinya
menjerit dan berteriak keras agar Holocauts, Auschwitz, Nazi, dan Hitler baru
tidak dihadirkan dan direproduksi di abad ke-21 ini. Jangan ada Hitler baru,
Nazi baru, dan Holocauts baru apapun
bentuknya, siapapun aktornya, dan di negeri manapun terjadinya. Tutuplah
lembar sejarah hitam itu agar tidak menjadi tragedi baru yang lebih nestapa.
Samar maupun terbuka
tindakan-tindakan agresi ala Zionis Israel plus ambisi politik ultraradikal
Presiden AS Donald J Trump, jika tak terbendung muaranya akan mendaur-ulang
tragedi Perang Dunia II yang mengerikan. Akankah dianggap wajar perilaku
ugal-ugalan, gegabah, dan sewenang-wenang para petinggi Israel didukung AS
dalam banyak peristiwa di jalur Gaza dan Palestina demi mengukuhkan hegemoni
di Jerusalem dan Timur Tengah?
Perserikatan Bangsa-Bangsa
jangan membiarkan tragedi demi tragedi itu terus terulang. Termasuk penetapan
Jerusalem sebagai ibukota Israel oleh Trump dan Kongres AS sebagai kotak
pandora menyumbat damai dan memicu bara konflik baru di negeri para Nabi itu.
Tebuslah kesalahan tahun 1947 ketika PBB menyetujui dua negara yakni Israel
dan Palestina di kawasan Laut Tengah dan Laut Mati itu sebagai awal bencana
bangsa Palestina. Negara Israel makin kokoh, sementara Palestina terus
terpinggirkan hingga suatu saat mungkin dimusnahkan di muka bumi.
Pertaruhan politik
ugal-ugalan itu bukan sekadar nasib Jerusalem dan kawasan penuh gejolak di
Timur Tengah yang telah berlangsung puluhan tahun itu. Tetapi sekaligus
pertaruhan jiwa jutaan manusia, peradamaian, kemanusiaan, dan peradaban umat
manusia. Bara perang terus mengancam kawasan Timur Tengah itu. Semestinya bangsa
Yahudi sendiri belajar dari sejarah kelam mereka, darah dibayar darah,
pengusiran dibalas pengusiran, dan agresi dengan agresi itu apa untungnya?
Memang salahnya bangsa Palestina apa hingga harus menanggung beban derita
yang mahaberat.
Jika Holocauts, Auschwitz,
Nazi, dan Hitler bagi bangsa Yahudi menjadi hantu dendam kolektif maka jangan
lampiaskan ke bangsa Palestina yang tak berdosa. Juga tidak pada kaum
Muslimin dan Kristiani yang hidup di kawasan Jerusalam berabad-abad lamanya
bersama bangsa Yahudi hingga kawasan bersejarah itu dikenal sebagai kota tiga
agama. Kenapa Palestina dan Timur Tengah harus menanggung beban sejarah
padahal bangsa Yahudi yang terusir dan kini menempati kawasan Zionis Israel
itu menderita karena ulah Naszi dan Hitler di Jerman sana?
Negara-negara di Eropa
perlu ikut bertanggungjawab atas tragedi Holocauts, Auschwitz, Nazi, dan
Hitler agar tidak dicopy-paste ke kawasan dan benua lain, termasuk di bumi
Palestina oleh Zionis Israel dan sekutu pendukungnya. Tidak-kah cukup negeri-negeri
Barat menginvasi, mengagresi, dan menduduki negara atau wilayah yang bukan
haknya terhadap bangsa Asia-Afrika dan Amerika Latin pada masa kolonialisme
ratusan silam. Termasuk bangsa Indonesia yang dijajah ratusan tahun oleh
Belanda berseling Portugis dan Jepang di era penjajahan yang penuh nestapa.
Amerika Serikat juga
semestinya belajar pada sejarah kemerdekaan mereka dari belenggu Inggris.
Para pemimpin dan warga negara AS, lebih khusus Donald Trump dan anggota
Kongres, mestinya merasakan betapa menderitanya menjadi bangsa dan negeri
koloni. Presiden AS dan anggota Kongrs AS bersama seluruh rakyatnya
semestinya empati atas nestapa bangsa Palestina yang puluhan tahun terus
diagresi Israel, bukan malah terus mendukung negara Zionis itu secara membabi
buta. Bangsa Palstina itu untuk mempertahankan hidup di wilayah miliknya
sendiri sungguh tak mudah, apalagi harus melawan keganasan Israel dengan
dukungan AS yang superperkasa.
Kenapa anggota Kongres AS
dan Trump masih mau bereksperimen dengan menentukan secara ilegal dan
unilateral Jerusalem sebagai ibukota Israel, yang konsekuensinya bukan hanya
menutup jalan damai tetapi membuka pandora konflik masif. Apakah tidak permah
merasakan betapa malangnya menjadi koloni dari negara lain? Di mana sebenarnya
denyut nadi jiwa demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip
kemerdekaan bangsa modern yang selama ini dijunjungtinggi di negeri Paman Sam
itu? Untuk diri sendiri atau hanya untuk orang lain?
Inggris dan AS serta
sebagian negara Eropa lainnya memang telah berbuat kesalahan fatal ketika
mendukung dan menjadikan negara Israel di kawasan Palestina tahun 1948.
Padahal khususnya Inggris juga telah berpengalaman dalam melakukan ekspansi
penjajahan di kawasan Asia-Afrika. Tidak cukupkah hasrat kolonial itu untuk
segera diakhiri demi masa depan peradaban umat manusia sejagat yang damai,
demokratis, adil, makmur, bernartabat, dan berdaulat sebagaimana menjadi
jargon hidup negara-negara Barat yang konon pro hak azasi kemanusiaan
universal di era modern!
Akhir
dunia modern
Kaum Yahudi tentu sangat
menderita akibat Holocauts. Selain itu mereka yang terusir dari Eropa harus
mencari tempat teraman hingga sayangnya sampai harus ke tanah Palestina yang
kemudian mendirikan negara Israel secara sepihak. Mereka merasakan derita
akibat ulah Hitler dan Nazi yang biadab. Namun jika bangsa Israel atau Yahudi
Israel mau belajar “passing over” untuk merasakan derita yang sama, maka
semestinya mereka tidak menimpakan penderitaan itu ke bangsa Palestina.
Kaum Yahudi dalam klaimnya
merasa berhak hidup di tanah Palestina sebagai keturunan bangsa Yahuda dengan
“tanah yang dijanjikan Tuhan”. Namun kenapa tidak memilih jalan hidup damai
dengan bangsa Palestina dan menghentikan agrsi dan ekspansi yang tak
berkesudahan? Zionis Israel bahkan terus melakukan pembantaian dan pemusnahan
terhadap rakyat Palestina, sehingga menciptakan Holocauts baru atau
“Neo-Holocaust” yang sama nestapanya. Karena Israel plus dukungan AS dan
sekutu lainnya kuat segalanya, tentu jangankan mengagresi, bahkan memusnahkan
Palestina pun bisa mereka lakukan. Tapi untuk apa? Apakah ingin meniru Nazi
Jerman yang membantai keturunan mereka
di masa lalu!
Inggris juga tidak boleh
kepas tangan. Dengan kuasa “Mandat Britania atas Palestina” negeri Ratu
Elisabeth ini telah dengan sepihak mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948.
Mandat Inggris itu mandat kolonial, bukan sesuatu yang luhur. Kolonialisme
jangan didaur-ulang dan diabadikan. Apakah Inggris tidak meras bersalah atas
segala kolonialismenya di India, Malaysia, Afrika Selatan, dan negara-negara
Sahara dan Timur Tengah di masa lalu? Maka,
hentikan keganasan Israel dan jangan terus mendukung, karena korbannya
justru Palestina yang tak bersalah. Cegah pula Trump agar membatalkan
keputusannya yang sewenang-wenang. Cukuplah Holocauts terjadi sekali dalam
sejarah, jangan lahir Holocauts baru.
Holocauts dan Auschwitz
sebagai proyek brutal Nazi dan Hitler bagi pemikir posmodern seperti
Jean-Francois Lyotard adalah wujud kegagalan proyek modernitas, yang
menunjukkan dunia yang “irasional” atau nir-rasional. “Kejahatan
nasional-sosialistik yang sangat nyata itu
ternyata sekali-kali tidaklah rasional”, ujar Lyotard. Bahkan, setiap ideologi totaliter di manapun selalu
mengandung kontradiksi yang membawa kehancuran. Anehnya, Inggris, Amerika
Serikat, dan negara-negara sekutu Israel tidak mau belajar pada sejarah kelam
Eropa yang antara lain melahirkan Holocauts itu.
Pembantaian dan pemusnahan
jutaan manusia itu sungguh mengerikan karena dilakukan secara terprogram dan sistematis
oleh pemimpin psikopat yang otaknya penuh dengan segala ambisi kacau dan
melampaui batas. Menurut sejarawan Jerman, Eberhard Jäckel, belum pernah ada
sebelumnya bahwa sebuah negara dengan
pemimpin yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk memutuskan dan mengumumkan
pembunuhan terhadap sekelompok manusia tertentu, termasuk wanita, anak-anak,
dan bayi. Semestinya di era modern abad ke-21 jangan menciptakan area perang
baru dan tragedi Holocauts di bumi Palestina serta kawasan lain.
Maka menjadi sangat ironis
jika di era abad ke-21 saat ini masih bercokol manusia-manusia ala Hitler dan
negara gaya Nazi yang haus tanah, kuasa, dan darah. Ironisnya, dunia
posmodern saat ini justru melahirkan perangai haus agresi dan invasi yang
berdampak pada pembantaian dan pemusnahan bangsa lain sebagaimana peoyek
ambisiusnya para pemimpin Zionis Israel seperti Simon Perez, Golda Mier, Netanyahu, yang memperoleh dukungan politik
Donald Trump sang Presiden AS saat ini. Semua warga dunia wajib menolak nafsu
kolonialisme baru dan Holocauts baru (Neoholocaust) di jazirah Palestina dan
di bumi manusia mana pun. Perserikatan Bangsa-Bangsa jangan terdikte oleh
negara adidaya itu demi tegaknya perdamaian dunia dan menghentikan
neokolonialisme dan Holocauts baru.
Sunggyh, Neo-Holocaust dan
Neo-Auschwitz bersama Neo-Nazi dan
Neo-Hitler seakan menjelma dalam beragam petualangan politik yang
menghancurkan bukan saja terhadap sebuah bangsa lemah seperti rakyat
Palestina. Kekejaman dan agresi pemusnahan yang buadab itu sekaligus
mengancam masa peradaban umat manusia yang semestinya hidup damai, aman,
merdeka, dan berdaulat.
Nalar rasional serendah
apapun sulit mempercayai bahwa di era mutakhir masih ada ideologi, alam
pikiran, dan sosok-sosok yang menebar nafsu angkara kolonial dan tragedi
Holocauts yang memusnahkan kehidupan. Di sinilah akhir dari nalar dan
peradaban modern yang dibangun di atas ideologi humanisme-sekuler dan proyek
raksasa liberalisme, karena yang menyeruak ialah hasrat merah menyala untuk
menginvasi dan memusnahkan kehidupan. Cukuplah nestapa kemanusiaan modern
berhenti pada tragedi Holocauts 1933-1945, jangan direproduki di abad ini dan
ke depan oleh para Hitler dan kekuatan Nazi baru dengan Tragedi Neo-Holocauts
di jantung bumi ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar