Menanti
Kejujuran Setnov
Jabir Alfaruqi ; Koordinator KP2KKN
tahun 2008-2010
|
SUARA
MERDEKA, 20 Januari 2018
AGAK mengejutkan ketika Setya Novanto
(Setnov), mantan ketua DPR nonaktif mengajukan diri secara resmi untuk
menjadi justice collaborator (JC)
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi E-KTP. Publik
terhenyak, sandiwara apalagi yang mau ditampilkan Setnov.
Hal ini mengingat masih segar dalam ingatan
kita, bagaimana drama yang dipertontonkan terdakwa ketika komisi antirasuah
tersebut hendak menjemput paksa dirinya. Drama itu kini telah terungkap
dengan jelas lewat ditetapkannya Frederich Yunadi dan dr Bimanesh Sutarjo
(pengajacara Setnov dan dokter RS Medika Permata Hijau) sebagai tersangka
pihak yang berperan menghalang- halangi penyidikan terhadap Setnov. Peristiwa
ini menjadikan publik ragu, apa benar Setya Novanto punya iktikad ingin menjadi
justice collaborator? Bukankah itu hanya akal-akalan untuk mendapatkan
keringan hukuman nanti?
Tidakah KPK akan tertipu kedua kali bila
mengabulkan permintaan tersebut?
Keraguan publik tidak bisa dipungkiri
karena latar belakang yang begitu jelas pada awal proses hukum pada Setya
Novanto yang sangat berbelit- belit dan licin. Mulai dari julukan yang serius
seperti sosok yang kebal hukum, sosok penakluk penegak hukum, negositor ulung
dan lain-lain. Begitu juga dengan bentuk-bentuk lelucon, satir, humor atau
olok-olok misalnya kalau Setya Novanto mencuri ayam ketangkap yang dihukum
ayamnya, kalau menabrak tiang listrik maka tiang listrik yang akan jadi
tersangka dan sebagainya. Semua ini menunjukkan betapa hebat dan licinnya
sosok mantan ketua DPR tersebut. Namun publik juga perlu berpikir jernih
bahwa segala sesuatu bisa berubah, termasuk sikap manusia dalam menghadapi
suatu masalah atau kasus.
Setya Novanto bisa saja bersandiwara dan
membikin sejuta skenario, tetapi kalau semuanya hanya sia-sia atau bahkan
menjerumuskan dirinya ke pidana yang lebih berat, mungkin saja akan berpikir
ulang. Pada saat masih berpikir bahwa jabatannya di DPR, ketua umum Golkar
masih bisa digenggam, penegak hukum masih bisa dinegosiasi, maka berkelit,
bungkam dan menutup rapat-rapat kasus korupsinya adalah suatu kewajban.
Ketika tiba waktunya bahwa ternyata semua itu tidak bisa digapai bahkan
semakin memojokkan dirinya, untuk apa bertahan dalam kebohongan? Tidak
menutup kemungkinan sikap Setya Novanto yang berubah seratus delapan puluh
derajat itu terjadi setelah menyadari bahwa semua skenario yang diterapkan
tidak berhasil. Orang-orang yang dipercaya sudah tidak bisa membantu, orang
yang mesti ditutup-tupi sudah tidak lagi mampu memberi perlindungan.
Pilihannya adalah apakah dia akan sengsara sendiri, mendekam di penjara,
sedangkan yang lain hidup nikmat, selamat dan naik pangkat?
Justice
Collaborator
Menganalisis dan mempelajari kisah sukses
pemberantasan korupsi di banyak negara, salah satu andil besar kesuksesan
tersebut adalah adanya kemauan pihak-pihak pelaku yang bukan pelaku utama
untuk mengungkap siapa pelaku utama dan siapa saja yang terlibat dalam sebuah
kasus korupsi. Sebaliknya, kasus korupsi akan terungkap di permukaannya saja
selama para pelaku melindungi dan menutup akses informasi lewat kesaksian
yang diberikan. Berangkat dari fakta ini sebaiknya KPK perlu mengapresiasi
keinginan Setnov tersebut. Atau bahkan lebih jauh membantu Setnov untuk
membuka semua pelaku, dokumen dan fakta-fakta yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan
kasus korupsi E-KTPsecara tuntas.
Penuntasan kasus mega korupsi itu penting
bagi KPK. Sebab selama ini KPK banyak menangani kasus besar namun tidak
tuntas seperti kasus Bank Century, Hambalang, suap perpajakan dan sebagainya.
Publik bertanya-tanya kenapa kasus korupsi yang dipersidangan dinyatakan
terbukti lewat putusan pengadilan itu tidak bisa dituntaskan?
Masyarakat sering menanyakan, mana buktinya
saat KPK menyatakan bahwa kasus yang ditangani merupakan mega korupsi tetapi
pelakunya yang diproses hanya sedikit dan itu pun bukan pelaku utama. Kasus
proyek E-KTP yang sering disebut sebagai salah satu kasus korupsi mega proyek
ini juga sudah mulai dipertanyakan publik, jangan-jangan kasus ini juga
nantinya tidak tuntas seperti kasus-kasus korupsi besar lainnya.
Bila dalam dakwaan Setya Novanto dinyatakan
memiliki andil mengintervensi terjadinya mega korupsi E-KTP, dan di belakang
hari dia menyatakan masih ada pelaku utama selain dirinya, maka sebenarnya
dia mengakui secara terang-benderang bahwa kasus tersebut benar adanya dan
mengetahui siapa saja sebetulnya yang terlibat kasus korupsi tersebut.
Sebetulnya, kelengkapan informasi dan fakta inilah yang dibutuhkan KPK saat
ini. Keterbukaan seorang Setya Novanto ini akan menjadi kunci penerang bagi
kasus besar tersebut.
Setnov hanya berkewajiban menyampaikan apa
yang dia tahu dan dia kerjakan tidak lebih dan tidak kurang. Bila tugas itu
sudah dikerjakan dengan baik maka selesailah amanah sebagai justice
collaborator. Langkah yang ditempuh Setnov secara resmi mengajukan sebagai JC
sudah benar. Tetapi sebaiknya, Setnov tidak perlu menambatkan harapan
dikabulkan sebagai JC. Tanpa jadi JC pun bila dia ingin mendorong penuntasan
kasus tersebut bisa dilakukan. Tanpa harus menjadi JC pun sebaiknya fungsi
dan tugas JC bisa dilakukan. Dengan demikian iktikad baik itu akan dihargai
oleh masyarakat antikorupsi. Dalam konteks inilah, publik menanti keberanian
dan kejujuran Setnov. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar